NERAKA SENIN
06:00.
Di cermin buram wajahku retak,
separuh tertinggal di kasur jejak.
Sayap kupasang di gantungan pintu,
mimpi-mimpi jatuh, berserak di situ.
Air dingin memercik kepala,
menghapus dosa, tak semua, tak kala.
Sabun mengalir, membungkus semalam,
hanyut bersama sisa kelam.
Kutata diriku dalam kafan kain,
sepasang sepatu, dua nisan lain.
Jam berdetak, seperti palu,
menghakimi waktu yang membiru.
07:20
Kota bergetar, roda bergulir,
asap dan bising berpacu sabil.
Trotoar penuh dengan mayat berjalan,
didorong waktu, diikat beban.
Bus tua menelan doa,
gerbong kereta menggulung nyawa.
Di antara gedung, bayang menjulang,
seperti dewa tanpa suara hilang.
Di langit, matahari menggantung lelah,
tak lebih dari suluh yang salah.
Bulan dan tahun bertumpuk senyap,
sejarah berbaris, masa lalu gelap.
07:50
Di pintu besi langkah berderap,
seperti ratapan dalam gelap.
Jari mengetuk layar takdir,
namaku terpatri dalam absen getir.
Komputer menyala, berkedip terang,
dengan mata dewa yang kosong dan lapang.
Di atas meja secangkir kopi,
di permukaannya wajah sendiri.
Di luar jendela, langit diam,
waktu merayap, tak berulang.
08:00
Tuhan tersembunyi di kertas lusuh,
suara-Nya lenyap di angka yang runtuh.
Doa dipecah, dipadatkan gaji,
tertukar beban, dijual janji.
Di pasar, seorang ibu berkata,
“Berapa usianya, Pak, katakan saja?
“Tak lagi muda, tapi masih manis,”
jawab pedagang, menjual tangis.
Di meja kerja, angka berlayar,
terombang di lautan tak berpelabuhan.
Jam berdetak seperti petaka,
menghitung hidup yang hampa belaka.
Aku menyalakan neraka,
agar negeri ini benar-benar terjaga.
Setidaknya, aku benar-benar terjaga.
(2025)
–
Melihat-lihat Jalanan
aku dipeluk waktu yang bengkak,
tersandung di trotoar lengang,
di antara kelopak mata yang pecah dan lampu-lampu kota
menghunuskan dingin seperti belati perak,
menyepuh bayanganku menjadi siluet asing
yang melarikan diri dari tubuhnya sendiri.
esok adalah lipatan waktu yang koyak,
aku jatuh, menggelinding dari rumah ke stasiun,
kereta berangkat ke segala arah sekaligus—
rel-rel membelit kota seperti urat nadi tua,
dan jam di dinding berkedip
dalam bahasa yang lupa
sementara semangatku,
api terakhir di puntung rokok,
terus bergetar di jemari angin.
di balik kolam tenang mata,
selain masa depan dan ibu,
ada sesuatu yang bersembunyi
di balik kelopak,
pintu tanpa engsel di ujung jalan,
sebuah kota yang mengapung
dalam cahaya hijau
di mana hujan turun ke atas,
dan orang-orang berjalan
dengan kepala tertinggal di rumah.
di balik telapak tangan,
selain tanah dan lambaian yang lelah,
Tuhan melintas seperti kafilah sunyi,
mencatat doa-doa di jendela berembun,
menjual waktu dalam botol kaca,
dan menukar keabadian dengan
sekotak korek api basah.
di balik sepasang kaki,
selain serpihan roti dan warna-warni kematian,
malaikat berjongkok di gang sempit,
menghitung langkah-langkah
yang tidak akan sampai,
menyusun peta dari jejak kaki
yang terhapus hujan,
dan mengintip ke celah langit
di mana bintang-bintang
menetes seperti air mata besi.
dari kematian, kehidupan;
dari kehidupan, kematian—
dan di antaranya, kota ini terus berdenyut,
seperti jantung kuda yang dipacu tanpa jeda,
seperti ayat-ayat yang
tersesat sebelum tiba di mulut para nabi.
(2025)
–
Di Pinggir Kota
kehangatan bagai jaket lusuh,
dilucuti dingin yang mengendap di celah jari
menusuk tanpa belas kasihan,
merayap ke tulang, ke dada yang keras kepala,
tapi tetap saja gemetar dalam kecemasan murahan.
sepanjang jarak, sepanjang nasib
yang digantungkan
di seutas keyakinan yang mulai aus,
mata kita menelanjangi langit seperti gelandangan lapar,
mengais cahaya di antara neon
yang berkedip lelah,
dengan tali pengaman yang sudah longgar
meski langit tetap melubang, tetap menganga,
seperti mulut kucing jalanan yang tak mau mati.
di kejauhan, warung kopi berdiri seperti kuil tua,
menjamu para nabi mabuk
dengan gelas-gelas retak,
seorang lelaki menyesap hitam pekat,
mengaduk masa depan yang
mengendap seperti ampas,
dan malam, oh, malam…
hanya menertawakan kita semua,
seolah tahu betul betapa takdir
adalah lelucon murahan
yang terus diulang, malam demi malam.
(2025)
*****
Editor: Moch Aldy MA