Kembalinya Tokoh-Tokoh dalam Buku yang Belum Dibuka itu
Juga gemerincing langit. Juga padang rumput yang tak pernah diketahui orang-orang namun sebenarnya terselip dalam serat-serat peta.
Juga malam hari yang ternyata hanya menyudahi kelelahan dengan memejamkan suara. Suara dan kehidupan-kehidupan di bawahnya.
“Seperti tenggelam,” kau bilang, “namun tanpa mengenal bernafas karena bernafas berarti terancam.”
Tapi di dalam sini dan di luar sana dan di bagian-bagian tertentu dalam cerita, kau tak ada.
Juga tengkorak yang mengambang di riak antariksa. Juga mimpi buruk tentang bersatu atau tentang sesuatu yang manis.
“Apa yang ada?” Sepi. Ketukan di pintu. Petang yang beku abadi.
Mysterium
Aku selalu ingin tahu
apa yang sedang kau pikirkan. Aku ingin tahu kata-kata apa yang kau pakai
ketika kau menyukai sesuatu ketika kau menunduk membangun tempat bagi wajahmu sendiri
ketika kau mengedip dan langit-langit merekah bersama matamu.
Ketika hujan turun, aku menunggu dan memperhatikan bagaimana hujan reda tanpamu.
Bagaimana awan-awan akan masuk ke ruang tamu menghanyutkan waktu yang pernah disimpan oleh orang-orang yang pernah melewatimu di pinggir jalan.
Orang-orang dengan wajah yang terus mencari bagian dirinya yang tidak berkata-kata seperti pagi yang sudah lama sekali berlalu.
Aku ingin tahu apa yang menyebabkan kau terlihat begitu kecil ketika aku melihatmu dari jauh. Begitu asing. Begitu sedih dan menjemukan.
Sesekali, aku bersandar di sebuah jembatan yang runtuh ke dalam kabut. Aku berkata-kata di antara jembatan-jembatan yang menimbun satu sama lain dan jatuh ke dataran sepi. Aku pulang dihantui kata-katamu yang tidak berbentuk.
Aku selalu ingin tahu apa yang sedang kau pikirkan. Aku ingin tahu kata-kata apa yang kau pakai untuk menenangkan diri dari menangis.
Kau jarang menangis. Aku memberikanmu sebuah ingatan mengenai suatu hari yang memuai dan membiarkanmu duduk di mana pun.
Kau duduk di ruang tamu memutar-mutar sebuah gelas kosong. Kau menjatuhkannya ketika malam tiba.
Aku ingin memelukmu ketika kota ini habis diurai badai salju seperti kau dan kata-katamu yang resah itu.
Wabah Putih
Kegelapan malam menguras pengenalanku tentang tempat-tempat tersembunyi yang terjangkar oleh tanda jalan: di lembah landai kesadaran kukejar langkah-langkahku yang telah kemarin; gema jantungmu menabrakkan detik-detik menjadi labirin tanpa ukuran.
“Apakah kau takut?” Aku takut kehilanganmu. “Tidak, kau takut pada kehidupan.” yaitu hutan usia yang tinggi, tak terlihat pucuknya.
Bayanganmu bagai tiang badai: tiba-tiba aku teringat betapa sepinya planet dan bintang, gedung-gedung bertingkat, wajah rezim dan mesin-mesin industri. Belum sempat kutanya waktu itu kau dari zaman yang mana.
“Kapan, lebih tepatnya?” lalu suaramu membias seperti rumah kaca
seperti deru petir yang segera hilang mendahului kedipan dan cinta berdenging panjang, tajam sekali
lebih cepat dari cahaya dan kelahiran para penemu: pada suatu hari, waktu adalah mayat kekal tak bernama.
Kecenderungan Mudah Celaka
Secarik nafas ditarik ke dalam mimpi
di mana sebuah ruangan
melayang memasuki
bayang-bayang suara
yang berada di belakang
ingatan mengenai kesendirian
mengenai hal-hal kecil
mengenai patung-patung padam
yang menyimpan pekerjaan-pekerjaan
yang tak bisa diselesaikan.
Seseorang berjalan
di tengah kota terbatuk-batuk
menerpa hampa dan warna-warna
menengadah ke arah bangunan-bangunan
tempat kekalahan ditemukan
dan benda-benda mati
jatuh pada tempatnya.
Apa yang kupikirkan mengenaimu
ternyata tak pernah datang
tak pernah menjadi batuk
yang dirahasiakan orang-orang.
Jika aku menyalakan lampu
tak ada bayanganmu.
Yang ada adalah bayangan
gedung-gedung tinggi
yang pulang dan tangga-tangga penyeberangan yang patah
seperti tulang-tulang tanpa nama.
Begitulah mimpi tadi malam
dan di malam-malam berikutnya:
Matahari tenggelam sangat dalam
Jalanan memerah
Kegelapan mengelupas di tempat parkir dan
kau sedang berjalan menembus kehadiran
menghela nafas di sebuah belokan
yang sayup-sayup bergeser
di permukaan tidur yang singkat.
Mungkin saja gempa yang datang
atau arwah kendaraan
yang tak berhasil melewati maut.
Sesekali petir menyambar.
Sesekali kerumunan orang berlalu
dipisahkan pintu-pintu masuk
dan pintu-pintu keluar.
Dan dingin.
Tetap dingin seperti ini.
Aku masih menunggu.
Sayup-sayup terdengar
di suatu tempat yang jauh
kau mengerang terjatuh
mematahkan satu lagi bagian
dirimu yang tak pernah kau mengerti.
Komposisi Kepulangan
Ada beberapa yang mengatakan bahwa tersesat adalah melihat cinta di kedalaman mata.
Tidak di matamu.
Cinta telah ditelan kesunyian samudera yang berdenyut meninggalkan tidur siapapun.
Dengan segenap kesadaranmu yang patah-patah dan menggantung di sepanjang jalan, kau terus menapaki dunia bersama atau tanpa bayangannya; Inilah kesepian.
“Kita gagal,” kataku kepadamu seraya menyaksikan manusia berjatuhan dari menara-menara dengan mulut dan mata tertutup rapat dari gedung-gedung gelap yang tak pernah menyimpan kenangan-kenangan.
Dari dalam genggaman lelah matamu bertanya: “Adakah tempat berteduh?”
Adakah yang lebih mati daripada malam di luar alam semesta?
Aku ingin berada di sampingmu beberapa saat lagi. Aku ingin mendengar kabar teman-temanmu yang lukanya tak pernah kudengar.
Aku ingin bermimpi mengenai tempat-tempat yang dijagai pohon-pohon dan dirangkum gunung-gunung dengan nama yang begitu terjal.
Aku ingin tahu apakah kau pernah menjadi orang-orang lain dalam ingatan kota-kota asing dan orang-orang yang kau tinggalkan.
Dari balik sisa-sisa jendela, aku melihat langit berakhir dan semua orang yang tak pernah mengenal kita pergi mencari peristirahatan terpencil;
Adakah yang lebih dalam dari hening malam hari selain ingatan yang tersesat di percakapan waktu?
“Ada.”
Jawab matamu.
Matamu yang bergemuruh. Matamu yang tak mampu menceritakan segala sesuatu.