Sewaktu anak-anak, akses bacaan saya terhadap buku anak-anak terbilang minim. Bahkan bisa dikatakan nyaris tidak ada. Karena saya bersekolah di sekolah Katolik, satu-satunya bacaan yang paling sering bisa saya akses adalah cerita orang-orang kudus Katolik. Dunia anak-anak saya banyak diisi oleh tayangan serial atau film di TV. Ada juga film bioskop yang ditayangkan di TV. Film yang paling berkesan di benak saya waktu itu adalah Harry Potter.
Baca juga Karena Kita Bukan Cinderella
Melihat petualangan yang dilakukan oleh Harry dan berbagai macam sihirnya, saya terpukau dan kerap membayangkan bahwa dunia sihir itu ada. Jadilah masa SD saya diwarnai oleh film Harry Potter. Setelah melewati masa sekolah dasar, saya kemudian masuk di sekolah pastor yang fasilitas bukunya cukup lengkap. Sekolah Menengah saya ini bahkan meyediakan serial Harry Potter secara lengkap. Surga dunia!
Pada tahun pertama saya di SMP, saya menghabiskan waktu untuk membaca tujuh serial buku Harry Potter. Mulai dari The Sorcerer’s Stone sampai The Deathly Hollows. Karena saya telah menonton filmnya, imajinasi saya ke setiap tokoh dan suasana Hogwart (sekolah Harry) betul-betul terbangun. Beberapa kejadian seru bahkan saya rasa lebih hidup ketika saya membaca buku Harry Potter ini.
Kekuatan Ingatan
Yang saya idolakan dari semesta Harry Potter cukup berbeda dengan teman-teman saya dulu. Ketimbang mengidolakan Harry, Dumbledore, atau Hermione misalnya, saya malah tidak bisa lepas dari satu tokoh misterius Severus Snape. Meski tidak mendapat porsi cerita sebanyak Harry, perjalanan hidup Snape membuat saya sangat mengidolakan tokoh ini.
Severus Snape yang awalnya dideskripsikan sebagai sosok misterius dan tak berperasaan ternyata mempunyai masa lalu kelam dan cinta yang begitu besar ke Ibu Harry Potter. Sampai akhir hayatnya, dia bergulat dengan perasaan benci dan cinta setiap kali melihat Harry. Bayangkan saja, bagaimana perasaan kita ketika melihat anak dari mantan kita yang begitu kita cintai? Lagi pula, bagaimana bisa seseorang menyimpan perasaan yang begitu besar untuk sekian lama?
Baca juga Buku Anak tentang Problematika Kehidupan? Mengapa Tidak?
Selain sosok Severus Snape, yang paling berkesan untuk saya adalah mantra Expecto Patronum milik Harry Potter. Bukan karena kehebatan destruktifnya, tapi karena syarat dari keberhasilan mantra ini. Mantra ini digunakan untuk menangkal suatu monster penjaga penjara Azkaban, Dementor. Serangan utama dementor adalah menghisap dan membuat masa lalu kelam dan rasa sedih menguat. Ujungnya adalah penyerapan daya hidup dari seseorang. Penangkalnya adalah mantra Patronum. Keberhasilan mantra ini mensyaratkan adanya suatu pengenangan terhadap ingatan membahagiakan seseorang. Biasanya tampilan mantra ini akan mirip dengan ingatan bahagia orang tersebut.
Snape sendiri juga bisa menggunakan mantra ini. Menariknya, tampilan mantra patronum Snape adalah rusa. Tampilan yang sama dengan milik Lily Potter. Ingatan paling membahagiakannya adalah juga Lily. Sampai akhir hayatnya, Snape bahkan masih mengingat Lily. Ia mati di pangkuan Harry dan sempat mengatakan bahwa Harry memiliki mata Lily.
Iman Katolik
Salah satu alasan paling kuat saya untuk mengidolakan Snape adalah caranya mencintai. Dalam diam, tidak obsesif, sabar. Dan, paling penting, menyimpannya dalam ingatan dan setia. Sampai saat ini, Snape masih menjadi patokan saya dalam hal mencintai. Sesuatu yang belakangan saya kira bersumber dari masa lalu saya yang sering mendapat penolakan.
Meski demikian, dalam proses hidup saya, pemaknaan baru terhadap Snape dan mantra Patronum juga muncul. Ini diperkaya lebih-lebih dengan teologi katolik yang saya pelajari. Secara spesifik ini mengarah pada inti umat katolik yang utamanya terpusat pada ibadah utamanya, Ekaristi.
Secara teologis, Ekaristi adalah puncak perayaan iman orang-orang Katolik. Inti perayaan ini adalah pengenangan atas misteri wafat dan kebangkitan Yesus. Anamnesis atau kenangan. Begitu singkatnya. Keselamatan menurut teologi Katolik dengan demikian erat kaitannya dengan kenangan. Bukan pelupaan atau amnesia.[1]
Baca juga Kehendak adalah Derita
Pemaknaan teologis ini memberi saya pemahaman baru terhadap mantra Patronum. Di satu sisi, mantra patronum yang menjadi kuat karena kenangan bahagia mampu menyelamatkan orang-orang dalam dunia Harry Potter ketika melawan Dementor. Di sisi lain, keselamatan untuk orang-orang Kristen erat kaitannya dengan mengenang misteri wafat dan kebangkitan Kristus itu sendiri.
****
[1] Argumen ini juga pernah dipakai oleh Paul Budi Kleden dalam memaknai sejarah. Menurutnya, berusaha melupakan sejarah kelam tidak akan pernah membebaskan orang-orang yang tersisihkan dalam sejarah. Hal yang mesti terus dilakukan adalah usaha pengingatan terus menerus. Untuk mencegah hal yang sama terjadi lagi. Bdk. Kleden, Budi.(2018). Berani Berhenti Berbohong.