Lahir di Kulon Progo, DIY. Biasa menulis novel, cerpen, dan puisi. Karya-karyanya dapat dijumpai di beberapa media daring, termasuk di laman Instagram-nya (@gibrantha).

Seni Membunuh Diri dan Puisi Lainnya

Muhammad Gibrant Aryoseno

2 min read

Seni Membunuh Diri

Kau membunuh dirimu dengan melanjutkan
hidup. Setelah ratusan malam jadi seekor
burung; hinggap di kepalamu dan bercerita
tentang keleluasaannya. Membayangkan
itu: hidup bukan lagi lorong bertembok-
tembok; hidup bukan benteng. Saat kau
juru selamat dirimu sendiri, bacaan
doa adalah harapan lain masa kecilmu.

Kausadari puisi bukan pahlawan, bukan
seseorang menepuk pundakmu di tepi
jalan dan bertanya kenapa. Tidak ada
puisi hari ini; puisi telah membunuh
dirinya sendiri. Puisi bukan seorang anak
memanggilmu ayah, puisi hanyalah
alasan lain kau terlambat menikah.

Bagaimana mungkin kematian
berubah menjadi sesuatu yang tidak
engkau takutkan? Sejak mati berubah
menjadi pernyataan bahwa kau
akan dikenang sebagai amatiran,
mari babak belur, katamu. Sekarang
kehidupan diselundupkan lewat saku
celanamu. Kau membeli segala kebutuhanmu,
menyiapkan hari kematianmu dengan
senyuman dan keyakinan bahwa kau
pernah.

Fakta Menarik

Tidak banyak orang tahu
sebenarnya harta karun
bajak laut omong kosong
belaka. Tidak banyak orang
tahu vibrator dipelopori
salah satunya oleh
Cleopatra. Tidak banyak
orang tahu UFO muncul
pertama kali dalam
sejarah tahun 1561 di
Nuremberg. Banyak
orang tahu gantung diri
adalah salah satu metode
hukuman mati. Tapi aku
pernah melihat seseorang
gantung diri (bukan maling,
bukan penyihir, bukan
pengkhianat) dan bertanya,
Dosa apa dia? Sungguh
dosa apa?

Sajak Urban

Dahulu aku tak senang sastra, sebab bapakku adalah pembakar buku.
Ia menembak pujangga dan menyembunyikannya di bawah bendera metropolitan.
Sebelum akhirnya kutemukan kau yang tampak kurus dan ringkih
telanjang bulat membacakan sajak urban di bawah bendera kebatinan.

Sarkasmemu menyeretku, tak bedanya seorang pecundang.
Sungguh, aku ini seburuk-buruknya perempuan.
Roman peradaban yang menyembul dari jiwamu dengan hati-hati
dan penuh percaya diri itu pecah dan tumpah di bibirku.
Ia mengalir dalam labirin mahataksa ragaku, menjadi sungai kepunyaan dewa.
Tapi aku yakin di kota ini tak ada yang serupa Nil—bersedia menafkahi
cendekiawan dan sastrawan yang jadi rakyat Cleopatra di Aleksandria.
Di tubuhku, roman itu menjelma kerak cinta bergaris-garis:
tumpukan sampah di trotoar, saluran air yang pampat,
dan aspal yang bergelombang seperti wajahmu.

Dalam desah sekaratku, kaubacakan lagi sajak urban itu
sambil nangkring di atap kafe dan mengembuskan asap pabrik.
Aku menodong kepalamu dengan pistol dari balik haribaan rindu.
Ia menyayangimu tanpa aba-aba dan langsung mengecup keningmu DOR!
Bunyi-bunyian muncrat dari kepalamu, darahmu dipenuhi tanda tanya.
Matamu seperti paragraf tanpa kalimat utama, tubuhmu novel yang tak purna.
“Satu pujangga tumbang, Pak.”

Di makam semiotika, tempatmu dikubur bersama pahlawan aksara,
aku menangis, merawat kasih, sambil mengulang-ulang sajak kehilangan.
Sesekali kau menimpali, “Gadisku, tarik obituarium surat kabar itu. Aku ini bunuh diri.”
“Hus! Orang mati harus bungkam! Nanti malah nambah-nambahi sajak urban!”

Rumah Busuk

Rumah yang busuk menghasilkan
anak-anak yang busuk pula.
Maka rumahmu perlu disaring
agar ia tidak sering diserang hama pusing.
Atau berikan obat sakit kepala
agar ia tidak melulu dihujani badai halu.
Sapa relung kamar tidurmu dengan lagu tidur
agar ia senantiasa sejuk di dalam peluk.
Bersihkan noda yang membandel pada cerminnya
agar sang empunya bisa lebih sering ngaca dan menerima.
Rawatlah tanggamu dengan ayat-ayat suci
agar tinggimu dianggap setidaknya
masuk akal oleh para tetangga.
Tumis kantuk di dapurmu
agar ia terus menjelma pundi-pundi rupiah
demi sesuap atensi dan citra diri.
Tutup aurat ubinmu yang mulus dan licin itu,
naikkan pandangan agar kau tenang
bersama lampu gantung
yang cantik melayang-layang.
Atau paling mentok
pintu gerbangmu diketok-ketok
agar bau harumnya matang
tercium—kembali seperti dulu kala.

Teman Dalam Cermin

/1/

Di ruang renung
gelap persidangan
diselenggarakan.

Duduk di kursi,
terborgol waktu.

Sepasang mata nanar,
sepasang mata getir,
dari wajah
yang hampir tak beda.

/2/

Sunyi bermetamorfosis
menjadi riang
Masa Lalu
yang lirih lagunya
terdengar perih
namun menyenangkan.

Ramai bermetamorfosis
menjadi sakit
Masa Depan
yang rantai-rantainya
membenamkan
dalam nestapa.

Meraungi Masa Depan,
ia kecewa.
Tak bisa berfungsi,
ia kecewa.

Sementara Masa Lalu
dilihatnya
dengan teduh,
dipeluknya
dengan renta.

/3/

Tatkala lembar cerah
bergegas dari timur,
Masa Depan terbunuh
bersama harapan-harapan.

Sementara Masa Lalu
terkubur pulas dalam kenang,
lembar gelap bergegas
menyapu barat.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Muhammad Gibrant Aryoseno
Muhammad Gibrant Aryoseno Lahir di Kulon Progo, DIY. Biasa menulis novel, cerpen, dan puisi. Karya-karyanya dapat dijumpai di beberapa media daring, termasuk di laman Instagram-nya (@gibrantha).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email