Rasanya aneh saat kematianku menjadi berita nasional dan tak henti-hentinya dibicarakan, bahkan setelah lewat sebulan aku ditanam dalam tanah. Sejak dulu, saat masih bernyawa, aku tahu orang-orang mati setiap harinya, tapi hanya segelintir yang diamati.
Pernah pamanku bercerita ia ingin mati saja daripada terus hidup kesepian dan penyakitan. Di tahun 2014 ia kabur dari rumah, melewatkan dua kali jadwal cuci darahnya, dan ditemukan mati di toko bunga. Dunia tidak ada yang peduli, dan keluarga dengan cepat melupakannya.
Penyebab kematian Paman ditulis karena sakit, menurut Mama, kakaknya itu mati bunuh diri, sedang menurutku sendiri Paman dibunuh anak-anaknya yang jarang pulang ke rumah. Aku hendak menanyainya perihal jawaban siapa yang benar, tapi mayat tak bisa bersaksi, dan murid-murid Yesus yang sakti tak ada yang tersisa untuk membangkitkannya. Aku hanya harus percaya kata dokter: Paman mati karena sakit.
Sejak kematian Paman yang lekas dan sunyi, aku mengira kematianku nantinya tak akan membekas juga. Bahkan mungkin akan lebih menghebohkan mati lampu ketimbang jika aku yang mati. Orang-orang berteriak saat mati lampu, merayakannya dalam kegelapan, sambil terus mencari tahu penyebab kematiannya. Saat aku mati nanti, dalam bayangku, hanya Mama dan Bapa saja yang kepikiran kenapa mereka tidak mati lebih dulu padahal mereka hidup lebih lama. Adik mungkin menangis paling lama dua minggu. Dan aku merasa bisa menerima kematian seperti itu.
Saat diterima masuk Sekolah Polisi Negara, aku ingat Mama menangis. Paman yang sempat kuceritakan adalah pensiunan polisi, dan pangkatnya mentok sampai Letnan Satu. Sebuah pangkat yang rendah untuk karir polisinya yang panjang.
“Paman pasti mendoakanmu sampai pangkat tertinggi, Mama juga. Pamanmu memang tak pernah dapat bintang, tapi setidaknya dia sudah sampai di Surga,” doa Mama saat mengantarku pergi. Bapa tak berkata banyak, sejak aku bisa mengenalinya sebagai orang tua ia memang sudah pendiam. Kurus, tinggi, dan pendiam, seperti bambu.
Setelah resmi jadi polisi, aku merasa peluangku untuk mati semakin meningkat. Aku paham banyak orang benci polisi, setiap aku mendekati mereka semakin mereka bertambah takut dan memikirkan kemungkinan terburuk. Orang-orang tanpa sadar mengakui kesalahannya, dan setiap saat aku merasa menjadi penjahat. Semakin banyak kebencian menyengat, semakin beragam caraku mati nanti.
Sebagai polisi aku bisa mati di tangan siapa saja, tapi tak pernah sekalipun aku bermimpi mati di tangan sesama polisi, karena itu akan menjadi komedi ketimbang tragedi. Bayangkan saja, aku sebagai korban adalah polisi, pelakunya polisi, dan pasti yang akan memeriksanya nanti adalah juga polisi. Skenario macam itu akan jadi bahan bagus untuk pergunjingan di gerobak sayur hingga warung-warung kopi.
Sungguh sayang, doa Mama saat mengantar kepergianku dulu tak diaminkan Tuhan. Jangankan bintang, menyusul pangkat terakhir Paman pun masih jauh. Karena aku keburu mati saat masih jadi Brigadir, otomatis Paman jadi satu-satunya polisi dengan pangkat tertinggi di keluarga kami, dan jika aku bertemu dengannya nanti, aku harus menuruti semua perkataannya.
Aku tak pernah mendengar Bapa banyak bicara, tidak juga setelah aku mati. Namun, saat peti matiku dikawal sampai ke rumah dan berakhir di depan kedua matanya, aku melihat Bapa menendang-nendang pelan sudut peti matiku. Aku mendengar gaung antukan kakinya dari dalam. Itu kebiasaan Bapa saat menahan marah agar tidak mengamuk. Ia akan menendang sudut-sudut lemari atau kaki-kaki meja, berharap setan di dadanya merembes ke dalam kayu. Kali itu aku merasakan amarahnya merembes sampai ke tulangku.
“Omong kosong,” ucap Bapa ke Mama dalam kamar mereka, “anak kita bukan orang gila pemarah.”
Bapa beranjak keluar dan menekan gagang pintu setengah, sebelum ia kembali menghadap peti matiku, ia berbisik, “andai kata benar kau berkelahi, pasti musuhmu yang mati.”
Di rumah itu tergantung fotoku menenteng senapan mesin ringan dengan peluru siap tembak. Saat di Pusat Pendidikan Korps Brimob dulu, hanya dua kali peluruku lolos dari sasaran tembak. Bukan hanya Bapa, aku pun merasa dilecehkan ketika salah satu pengawal peti matiku bilang aku kehilangan nyawa setelah baku tembak. Tujuh kali tembakan meletus dari pistolku dan semua peluru hanya bersarang di tembok. Sungguh sebuah penghinaan untuk reputasiku.
Pada akhirnya, Bapa dan Mama bersiasat untuk membuka peti matiku. Lebih dari keinginan untuk melihat terakhir kali wajah anaknya, aku tahu mereka ingin melihat kebenaran di baliknya. Mereka berdua berhasil menyaksikan wajahku, tubuhku yang telanjang dan rongsok, mengabadikannya dengan kamera ponsel, tapi mereka hanya melihat separuh kebenarannya. Bersamaan dengan kematianku, kebenaran itu selamanya hanya akan tersimpan dalam peti mati yang gelap.
Semua ini berawal semenjak aku ditarik menjadi salah satu ajudan seorang Jenderal bintang dua. Menjadi polisi memang membuat penghidupanku lebih aman dan bayangan masa depan lebih tertata, tapi tak pernah aku mengira pangkat Jenderal bisa mengubah seorang polisi jadi raja. Di kehidupanku sebelumnya, polisi dengan pangkat tertinggi hanya pamanku, dan kehidupannya terkesan sia-sia. Menjadi ajudan telah menyadarkanku betapa kecilnya hidup ini, setidaknya hidupku sendiri.
Aku akan jujur, orang-orang boleh membenci polisi sepertiku dan polisi-polisi lain, tapi aku adalah seorang profesional yang siap ditempatkan di mana pun, entah itu di simpang jalan berhadapan dengan knalpot, atau istana Jenderal berhadapan dengan semua kepala yang mengincarnya. Tidak ada perbedaan mencolok antara keduanya, aku masih sama-sama polisi dengan pangkat tak seberapa tinggi.
Ajudan hanyalah kiasan yang sering dipakai media. Kenyataannya, menjadi ajudan sama halnya menjadi pembantu. Aku diharapkan bisa melakukan segala hal dengan sempurna, dan dalam waktu bersamaan, tidak menjadi lebih mahir dibanding atasanku. Tembakanku harus sempurna, tapi tak boleh lebih tepat sasaran dari atasanku. Staminaku harus sempurna, tapi napasku tak boleh lebih panjang dari atasanku. Aku harus menggosok baju istrinya dan melipatnya dengan sempurna, tapi tak boleh lebih rapi dari atasanku.
Pernah suatu ketika aku menjemput istrinya seperempat jam lebih cepat, Bu Tri berkali-kali membanggakanku di hadapan suaminya, “Yos ini memang bisa diandalin Mas, gantian jadi ajudanku saja.”
Dua minggu setelahnya, Jenderal Somba memasrahkanku pekerjaan-pekerjaan remeh yang tak ada gunanya sama sekali dan hanya mengajak ajudan lain untuk tugas bersamanya. Lain waktu istrinya memintaku untuk menjemput, aku selalu datang lima menit lebih lama. Aku lebih senang mendengarnya menggerutu ketimbang suaminya.
Empat tahun dipercaya sebagai ajudan membuatku semakin tidak bisa membedakan antara polisi dan penjahat. Aku pernah membaca cerita tentang Kandata, seorang pria yang satu-satunya kebaikannya hanya menyelamatkan seekor laba-laba. Dosanya tak terampuni, tapi Buddha menjulurkan seutas benang laba-laba dari Surga, memberikan Kandata kesempatan terakhir keluar dari neraka.
“Benang ini hanya milikku!” teriak Kandata sambil memanjat dan menendangi siapapun di bawahnya. Tepat saat Surga sudah di depan matanya, benang itu putus, dan Kandata jatuh ke neraka. Buddha meninggalkannya di belakang sambil berkata, “sungguh manusia tanpa belas kasih.” Terkadang polisi bisa seperti itu, menganggap dirinya seperti penyelamat dan yang berhak memutuskan takdir siapapun. Dan setelah empat tahun dipercaya sebagai ajudan, Jenderal Somba melihat benang di atas kepalaku harus segera diputus. Ia jelas bukan Buddha, ia hanya seorang Jenderal Polisi bintang dua, bintang yang tak akan pernah dicapai olehku dan juga Paman.
Setelah Bapa dan Mama menyaksikan jasadku, aku kembali mendengar gaung antukan kaki Bapa di peti matiku dan suara tangis Mama yang tertahan. Menyaksikan dua pasang mata mereka yang nanar membuatku sadar, ini tak akan menjadi kematian yang lekas dan sunyi seperti kematian Paman. Mereka tetap saja tak akan menyaksikan kebenarannya, tapi mereka akan terus mengejarnya sampai mati. Jika mereka diberkati umur panjang, aku percaya Bapa dan Mama akan mendekati kebenaran itu. Aku akan bersaksi di sini tentang apa yang sesungguhnya terjadi, apa yang sesungguhnya telah membunuhku, walau aku tahu, polisi tak akan menuliskan kesaksian orang mati.
Jika aku masih hidup, tahun depan seharusnya aku tinggal bersama dengan kekasihku sebagai pasangan suami-istri. Aku selalu berkata kepadanya tak ingin membangun keluarga seperti Jenderal Somba dan Bu Tri. Mungkin karena rumah mereka yang terlampau besar, ruang-ruang kosong di sana membuat mereka semakin terasing. Tidak ada kebahagiaan dalam rumah yang masing-masing penghuninya tinggal setengah hati. Maka atasanku kerap mencari kebahagiaannya di tempat lain. Sebagai ajudan, aku hampir selalu tahu ke mana ia pergi. Aku harus selalu tahu karena aku adalah bayangannya. Aku adalah anjing yang harus selalu setia dan mengikutinya. Aku tahu perempuan yang selalu menemaninya tiap ia pamit keluar kota mengunjungi putranya yang juga merintis karir kepolisian, dan itu bukan Bu Tri.
Perempuan itu berambut sebahu dengan warna mata kelabu. Jenderal Somba bertemu dengannya saat perjalanan dinas ke luar pulau. Entah karena senyumnya yang teduh, atau aroma menenangkan yang menyeruak dari seragamnya, atasanku berakhir dengan membeli sebotol parfum yang ia baca di majalah pesawat. Mereka bertukar kontak dan terus berhubungan setelah kami mendarat. Atasanku tentu tertarik dengan kecantikan perempuan itu, dan jelas perempuan itu tertarik dengan apa yang dimiliki oleh Jenderal bintang dua. Aku bertemu kembali dengannya dua bulan setelah perjalanan dinas itu, saat mengantarkan dompet kulit Jenderal Somba yang tertinggal di bangku belakang.
“He, kau tak pernah lihat ini, paham?” maksudnya tentu perempuan berambut sebahu yang hampir tak berbaju di balik punggung sang Jenderal. “Paham?” aku sepenuhnya menangkap arahan atasanku untuk menutup mulut.
“Siap!” jawabku singkat dan tegas sebelum ia menutup pintu kamar hotelnya dengan agak keras. Aku benar-benar berlagak seperti tidak ada yang terjadi dan menutupi pengkhianatan itu tanpa jejak. Dan mungkin sejak saat itu Jenderal Somba melihat benang laba-laba di atas kepalaku memanjang sampai ke langit. Selama dua tahun, pengkhianatan Jenderal Somba menjadi kejahatan yang sempurna dan sepihak, begitulah pikirku. Sebelum datang Kamis celaka itu.
Setiap tahunnya, Jenderal Somba selalu merayakan ulang tahun pernikahannya dengan Bu Tri. Hari itu ia memilih merayakannya di Jawa Tengah, tepat di rumah singgahnya yang luasnya terasa sia-sia karena jarang ditempati. Ia membawa semua ajudannya untuk menenteng koper dan mengurusi segala persiapan acara yang tak patut dikerjakan seorang Jenderal bintang dua. Dan aku tak pernah bisa memaklumi, mengapa Bu Tri selalu membawa barang seperti ingin kabur dari rumah walaupun hanya berencana menginap semalam? Sungguh merepotkan.
Jenderal Somba tidak menginap malam itu, selepas merayakan pernikahannya yang seolah bahagia, ia segera pulang ke Jakarta. Beberapa ajudan ditinggalkan di sana untuk mengurusi istrinya, termasuk aku. Tak ketinggalan juga Kuat, supir pribadi nyonya besar ikut menginap. Dan rumah singgah itu masih terlampau luas untuk kami semua. Jika didatangkan kesebelasan kampung untuk menemani kami, masih banyak lagi ruang-ruang kosong yang akan tersisa. Seluas itulah rumah singgah Jenderal Somba, dan sebesar itulah kekayaan yang bisa diraih seorang Jenderal bintang dua.
Malam itu aku tidur sedikit larut, dan saat terbangun pada Jumat pagi, aku tak pernah menyangka itu menjadi pagi terakhir aku terbangun dari mimpi. Aku harus segera bersiap pagi itu karena rombongan kami harus segera kembali. Rumah singgah masih terasa sepi meski beberapa orang sudah tampak terbangun melengkapi nyawanya. Bu Tri masih belum terlihat, sudah pukul tujuh, dan aku harus mengemasi barang-barangnya ke dalam mobil. Pintu kamarnya masih tertutup rapat, tak ada suara sedenting pun kudengar dari dalam. Mungkin kelelahan setelah acara semalam, batinku. Aku kembali turun ke lantai satu dan mengambil sarapan.
Sehabis mandi dan dengan yakin memastikan semua jam di rumah singgah itu menunjuk pukul delapan, aku naik ke lantai dua karena belum ada tanda-tanda Bu Tri keluar dari kamar. Saat menapaki tangga aku mendengar rintihan dari arah kamarnya, dan semakin dekat ke pintu kian jelas suaranya bagiku. Rintihan itu terdengar menyakitkan, dan secara naluri aku mengira siapapun di dalam sana sedang butuh pertolongan. Aku segera menggenggam gagang pintu itu dan kebetulan ia tak terkunci dari dalam.
“Bu!” selorohku saat membuka pintu itu dengan gegabah. Di balik pintu itu Bu Tri belum sempurna memulas riasannya, hanya mengenakan kaos putih yang ketat, dan merunduk di pinggir kasur dengan celana dalam yang turun sampai mata kaki. Jari jemarinya merengkuh erat seprei yang setengah berantakan itu hingga berkerut-kerut. Di belakangnya berdiri Kuat, dengan sebelah tangan menjaga pinggang Bu Tri tetap naik dan yang lain menampung penuh belahan kiri payudaranya. Itu adalah sebuah kesalahan. Kami bertiga untuk sesaat bergeming mematung. Rintihan yang tadi kudengar sirna sudah. Tak ada inisiatif lain yang terbayang di kepalaku selain segera menutup pintu itu dan enyah dari sana.
Aku turun ke lantai satu lalu masuk ke kamar mandi dan entah apa yang ingin kulakukan di dalam. Aku hanya berkaca dan seperti melihat tubuhku telanjang bulat meski aku tak sedang mengkhianati siapapun. Pada saat itu aku bisa melihat seutas benang laba-laba merah di atas kepalaku sendiri. Suara Jenderal Somba menggaung di telingaku. “He, kau tak lihat ini, paham?” suara itu terus bergema menghantuiku. Pikiranku baru agak jernih setelah mengucuri kepalaku dengan air di wastafel berkali-kali. Saat keluar dari kamar mandi itu, aku bersikap seperti baru saja bangun dari tidur yang panjang.
Pukul sembilan lewat rombongan kami siap pulang ke Jakarta. Perjalanan pulang dari rumah singgah itu menyisakan banyak ketegangan yang tak terucap. Menjelang asar, tiga mobil yang mengiringi kepulangan nyonya besar sampai di Jakarta. Aku kembali menapaki rumah Jenderal Somba yang masih terasa besar, tapi kali itu sekaligus menyesakkan. Foto mereka berdua masih tersenyum di dinding dan aku merasa keduanya selalu mengawasiku dari dekat. Jenderal Somba sudah berada di rumah setengah jam sebelum kami, dan istrinya segera menarik tangannya naik ke lantai dua, ke dalam kamar mereka. Mataku mengikuti punggung mereka yang perlahan hilang di balik anak-anak tangga. Samar-samar kudengar mereka meributkan sesuatu tapi tak mampu kupastikan perihal apa.
Tak sampai setengah jam urusan mereka berdua rampung. Jenderal Somba turun lebih dulu dan segera memerintahkanku pergi ke rumah dinasnya dan menunggu di sana. Aku menurut. Empat tahun menjadi ajudan dan tak ada satu pun perintahnya yang pernah kulanggar. Andai saja aku tahu itu perintah terakhirnya untukku, aku pasti memilih pulang ke Jambi dan pensiun jadi polisi. Aku memang tak akan pernah mencapai bintang yang diidamkan Paman, tapi setidaknya hidupku bisa mencapai usianya, dan bisa menentukan kematianku sendiri.
Rumah dinas itu tidak lebih besar dari rumah pribadinya, di lantai dua aku bisa mendengar suara Kuat dan seorang ajudan lain, sedang aku menunggu seorang diri di bawah. Dalam penantian yang tak menentu itu, pintu terbuka dan Jenderal Somba muncul bersama ajudannya yang lain, seorang Brigadir Polisi Kepala. Dengan sekali panggilan keras, kedua orang yang menunggu di atas segera turun. Melihat Jenderal Somba datang dengan sarung tangan hitam, aku sepenuhnya sadar ia bertekad untuk memutus benang di atas kepalaku sore itu juga. Kami berlima tak sempat bercakap-cakap, tak ada basa-basi sama sekali. Jenderal Somba memakiku kesetanan, dan karena rasa takut telah menguasai tubuhku sepenuhnya, semua terdengar hening dan bergerak lambat.
“Ampun…” untuk pertama kalinya sejak 28 tahun hidup, aku berlutut selain kepada Tuhanku. Jenderal Somba menekan pistol ke pelipis ajudan yang belum genap berusia 25 tahun. “Woi kamu, tembak!” Ajudan muda itu sedikit bergetar dan sulit bernapas, wajahnya mulai berkeringat. “Ayo tembak!” Jenderal Somba semakin mendorong ujung pistolnya. Ajudan malang itu merogoh Glock 17 yang tersarung di pinggangnya dan mengarahkannya tepat ke dadaku. “Tembak woi! Tembak!”
Tembak!
Tembak!
Tembak!
Maut melintas di mataku. Seruan itu terus memantul menghantam kepalaku. Deru napas sang ajudan malang kian memburu. Tembak! Tembak! Tembak! Ia mungkin merasakan ujung besi di pelipisnya kian dingin dan nyawanya bisa berakhir kapan saja. Tembak! Tembak! Ia berteriak seperti hilang akal.
DOR! DOR! DOR! DOR!
Jenderal keparat itu menurunkan pistolnya bersamaan dengan badanku yang roboh membanting lantai. Sementara ajudan muda itu menangis, kawannya yang lain membuang muka, dan Kuat hanya mengamati darahku menggenang nyaris mengenai sepatunya. Aku mendengar tujuh tembakan lanjutan meletus tanpa jeda. Ketujuh peluru dari moncong pistol HS-9 milikku bersarang di tembok. Anjing! Harusnya pistol itu kubuang saja saat disita paksa Bripka. Aku bisa membayangkan Jenderal keparat itu memakai pistolku untuk tipu muslihatnya nanti. Sambil terbaring berlumuran darahku sendiri, aku bisa melihat sepatunya mendekati wajahku dan menghantam rahangku tanpa ragu.
Jari terkutuk Somba yang berbalut sarung tangan hitam itu menjambak rambut belakangku. Ia mengangkat kepalaku hingga kupingku cukup dekat dengan mulutnya, dan memastikanku mendengar sabdanya sebelum aku mati. “Kau tak jadi begini kalau menurut!”
Mendengar itu aku sadar, Jenderal keparat ini pasti mengira aku membocorkan perselingkuhannya dengan perempuan berambut sebahu itu. Sungguh kematian yang sia-sia. Untuk pertama kalinya sejak 28 tahun hidup aku ingin memukul perempuan. Andai saja Tri, perempuan celaka itu ada di sini, aku akan mematahkan hidungnya dengan lututku.
Somba menjatuhkan kepalaku seperti melempar balak enam. Saat meregang nyawa dan napasku nyaris pudar, ia berdiri dan menembakkan peluru terakhir tepat di belakang kepalaku. Aku masih bisa mendengar ajudan muda itu menangis dan terguncang. Sementara Somba melempar pistolku sembarangan dan menyuruh ketiga orang yang masih hidup di sana mengurus mayatku. Aku hanya bisa menduga-duga mengapa hidupku kandas tragis seperti ini. Namun, satu yang aku yakini, dari caranya menyeka bekas cipratan darahku di lehernya seperti menyeka keringat sehabis olahraga, jelas itu bukan kali pertama bagi Jenderal keparat itu.
Pamanku pernah berkata ada perbedaan jauh antara ingin membunuh dengan membunuh, antara pembunuhan pertama dengan yang kedua. Somba jelas telah menyeberangi batas-batas itu. Baginya, menghilangkan nyawa seseorang semudah memutus benang yang mengganggu. Entah mengapa aku teringat Kandata pada saat-saat terakhirku, dan mendengar Buddha berbisik, “sungguh manusia tanpa belas kasih.”
Jakarta, 2022
***
Editor: Ghufroni An’ars