Miracle in Cell No. 7, film remake dari Korea Selatan yang baru saja meluncur di bioskop Indonesia pada awal September ini sukses mendapatkan perhatian publik. Adegan demi adegan yang ditampilkan berhasil menghibur sekaligus menyayat hati penonton.
Miracle In Cell No.7 versi Indonesia ini memakai alur cerita yang tidak jauh berbeda dibandingkan versi aslinya. Namun, pendekatan yang diberikan Hanung Bramantyo sebagai sutradara terasa sangat lokal. Hal itu terlihat dari penggambaran karakter dan unsur-unsur budaya yang ditampilkan.
Vino G.Bastian sebagai pemeran utama berhasil memukau penonton dengan aktingnya. Bahkan chemistry-nya sebagai ayah-anak dengan aktris cilik Graciella Abigail juga berhasil mencuri hati penonton.
Tak hanya itu, bumbu-bumbu komedi yang ditampilkan tak terkesan dipaksakan. Apalagi, jajaran pemain yang ada dalam versi adaptasinya ini mayoritas aktor yang sering membintangi genre komedi, mulai dari Indro Warkop, Tora Sudiro, Rigen Rakelna, Indra Jegel, hingga Bryan Domani. Kehadiran para pemeran napi ini mampu menghibur penonton sepanjang film.
Film dengan durasi 145 menit ini berhasil membuat penonton seperti menaiki wahana roller coaster. Pada menit-menit awal, penonton disajikan kisah keluarga yang hangat dan saling melengkapi di tengah kekurangan, di menit-menit berikutnya nuansa berubah menjadi lebih serius dan dramatis.
Sinopsis
Miracle in Cell No.7 versi Indonesia berkisah tentang Dodo Rozak (Vino G. Bastian), pedagang balon dengan keterbatasan mental yang ingin jadi ayah terbaik bagi anaknya. Namun, pada suatu hari Dodo justru ditangkap atas tuduhan telah memperkosa dan membunuh seorang anak kecil. Dodo kemudian harus menjalani hukuman penjara pada sel nomor tujuh yang berisi para napi brutal.
Meskipun telah menonton versi Korea, film remake ini tak terasa membosankan. Akting dari para pemain mulai dari dialog, mimik dan latar suasana mampu membuat penonton tertawa dan berderai air mata.
Kelebihan dan Kekurangan
Miracle In Cell No.7 dapat dikatakan sebagai salah satu film remake terbaik Indonesia saat ini. Mulai dari penerapan dialog, alur, tata visual yang epik, penambahan unsur-unsur budaya Indonesia, dan inti permasalahan yang mudah dipahami, patut diacungi jempol. Meski demikian, terdapat beberapa adegan yang terkesan terlalu didramatisasi. Kekurangan itu sifatnya minor. Secara keseluruhan, film ini termasuk karya adaptasi yang sukses secara kualitas, dan mudah-mudahan juga berdampak pada kuantitas penonton.
Untuk itu, jangan lupa terus dukung Miracle In Cell No.7 versi Indonesia dengan menonton di bioskop, bukan bajakan!
***
Editor: Ghufroni An’ars