Kejahatan dan Hukuman

Rizki Muhamad Fakih

5 min read

Malam masih terlalu larut untuk membangunkan orang-orang dari tidurnya. Pukul tiga dini hari, aku menyelinap masuk ke rumah mewah itu. Hari ini adalah hari Minggu, dan aku tahu betul bajingan itu sedang berada di rumah.

***

Semua bermula ketika kondisi keuangan keluargaku kacau balau. Kebutuhan hidup yang serba mendesak menjadikanku seorang pekerja keras yang tak kenal istirahat. Tapi dunia tak pernah adil. Aku mengetahui bahwa di atas sana orang-orang berjas necis masih bisa tidur ketika rapat di gedung DPR dan digaji selangit, sedang kami orang-orang kecil bekerja siang malam hanya untuk mendapat sesuap nasi. Mereka tentu tak pernah merasakan ludah mendarat di muka dan memar-memar akibat dipukuli ketika dengan kejamnya para penagih utang mendobrak paksa rumah kami yang reyot.

Tapi bulan lalu harapan datang. Seorang tuan tanah membeli rumah di kampungku, dia akan tinggal di sini. Dari desas desus yang kudengar, katanya dia akan mencalonkan diri sebagai bupati.

Terdengar masuk akal, sebab aku melihat sendiri kehidupannya yang serba cukup itu. Lihat saja rumahnya, besar dan mewah di tengah-tengah pemukiman kumuh masyarakat. Pemilik rumah itu dulunya adalah seorang pensiunan tentara yang pindah ke kota beberapa bulan belakangan. Warga kampung biasa memanggil tuan tanah itu Pak Has. Nama aslinya Hasan bin Ma’ruf. Dia terkenal ramah dan dermawan. Pernah suatu ketika dia bersedekah di masjid kampung ini sebesar sepuluh juta. Jumlah uang yang tak pernah sekali pun kumiliki. Dia punya kebiasaan pergi entah ke mana setiap Jumat sore, dan baru akan pulang pada hari Minggu. Orang-orang biasa berkunjung ke rumahnya pada hari-hari selain itu.

Dia banyak membantu warga yang kesulitan secara ekonomi dengan meminjamkan sebagian uangnya. Kehadirannya tentu merupakan angin segar bagi warga miskin dan terpinggirkan seperti aku. Beberapa kali aku meminta bantuan berupa pinjaman uang, selalu dapat. Tapi masalahnya semakin hari semakin banyak saja utang-utangku, belum lagi utang ke rentenir dan lain-lain.

Terdesak oleh kebutuhan, pikiran jahat tiba-tiba saja muncul. Bagaimana kalau aku curi saja sejumlah uang dari rumahnya ketika dia pergi? Bagi orang tajir macam dia, tentu saja kehilangan uang berjuta-juta pun bukan hal besar yang harus ditangisi. Maka ketika Jumat malam dan rumahnya kosong, aku menyelinap masuk. Ah, sungguh benar-benar megah rumah itu. Begitu luasnya, sampai-sampai aku kebingungan akan mencari uang atau barang berharga ke sudut mana. Sialnya, satu jam menyisir setiap ruangan, nihil. Tak ada laci yang berisi uang atau setidaknya perhiasan dan jam tangan mahal.

Percobaan pertama itu gagal. Lalu muncul pikiran bahwa mungkin saja aku harus menunggu dia ada di rumah. Mungkin uang-uang dan barang berharga yang dia punya turut dibawa setiap kali pergi. Maka, suatu malam aku kembali lagi ke rumah itu. Kali ini lebih hati-hati sebab pemiliknya ada. Tiba di depan pintu kamar utama, dalam gelap aku bisa mendengar samar-samar percakapan orang di dalam.

“Kau tahu, cukup sulit untuk meyakinkan orang-orang bahwa aku adalah calon pemimpin yang baik buat rakyat. Orang-orang miskin itu cukup menyulitkanku dengan meminta bantuan pinjaman uang. Untungnya dengan berlagak baik mereka percaya.”

Aku tak tahu si tuan tanah itu sedang berbicara dengan siapa, sebab yang diajak bicara tak mengatakan apapun. Atau mungkin dia sedang menelepon seseorang? Entahlah. Aku masih terus mendengarkan pembicaraannya.

“Aku cukup lelah dan banyak beban tanggungan. Untungnya, bapakmu bisa membantu aku dengan baik di kampung ini. Dan yang paling menyenangkan, ternyata anak gadisnya cantik sekali. Kau sudah siap?” Lalu terdengar suara gadis tertawa kecil.

Setahuku, orang yang biasa bantu-bantu di rumah ini adalah Tatang, tetanggaku. Memang dia punya anak gadis yang masih duduk di bangku SMA, tapi apa mungkin gadis di dalam kamar benar-benar anaknya? Dan setelah kupastikan beberapa saat kemudian aku yakin betul, dia memang benar anak gadis itu. Pak Has menyinggung soal sekolah dan langsung dijawab. Pencurian malam itu gagal lagi, sebab keinginan untuk mencuri uang dan barang-barang mewah teralihkan oleh ledakan emosi.

Esoknya aku mengawasi rumah Tatang. Pukul sepuluh malam dia dan anaknya ke rumah Pak Has, lalu keluar sendirian. Ternyata tak cuma Pak Has yang bajingan, Tatang pun begitu. Orang tua bajingan yang menjual anaknya untuk kepentingan pribadi. Ingin kuceritakan semuanya, tetapi tentu aku akan ketahuan masuk ke rumahnya diam-diam seandainya bercerita.

Beberapa bulan setelah kejadian itu aku kembali didatangi penagih utang. Tentu saja tetap dipukuli karena aku belum bisa melunasi utang-utangku. Istri dan anakku sudah lama hanya makan nasi dengan garam saja. Aku tetap tersenyum meyakinkan mereka kalau sebentar lagi aku akan mendapatkan uang, padahal dalam hati aku menangis. Keadaan yang tak kunjung membaik menuntutku kembali melakukan aksi jahat itu. Mungkin saja kali ini berhasil. Tapi ternyata, malam itu lebih mengejutkan dari aksi sebelumnya.

Si tuan tanah brengsek itu kembali bercumbu dengan seorang gadis, tetapi kali ini bukan anak si Tatang. Belum sempat mendengar pembicaraannya lebih jauh, sialnya aku ketahuan. Aku berlari dari kejarannya, bersembunyi di balik hutan belakang rumahnya. Esoknya istriku bertanya mengapa tanganku terluka. Aku tak mungkin menjawab luka itu karena jatuh di hutan sehabis menyelinap masuk ke rumah Pak Has, jadi kujawab saja terkena ranting pohon sewaktu mencari kayu bakar.

Butuh beberapa hari untukku benar-benar berani beraksi lagi. Membayangkan para penagih utang itu mengancam anak dan istriku membuatku semakin mantap melakukan aksi pencurian. Kali ini harus berhasil. Seperti biasa aku menyelinap masuk dengan mudah. Mengendap-endap melalui dapur, lalu naik ke lantai dua tempat kamar utama berada. Kali ini aku akan mencuri apapun yang bisa dijual kalau-kalau tak dapat uang tunai. Maka, sengaja aku datang pada hari Jumat saat Pak Has tak ada.

Tapi alangkah terkejutnya aku ketika kulihat dari lubang kunci, dia ada di dalam kamarnya. Lebih terkejut lagi ketika melihat perempuan yang sedang duduk di ujung ranjang adalah istriku. Amarahku serasa ingin meledak saat itu juga, ingin langsung kuhabisi tuan tanah bajingan itu. Tak cuma gadis-gadis yang dia tiduri, kini ibu-ibu paruh baya macam istriku juga disikatnya. Aku pulang dengan pikiran berkecamuk.

Pagi hari ketika aku terbangun sudah tersedia lauk pauk di meja makan, lengkap dengan sayuran. Istriku bilang, dia dapat uang karena menjadi buruh cuci di rumah Pak Has. Mungkin aku akan percaya andai saja tak menyaksikan kejadian semalam. Lagipula, tuan tanah itu tinggal sendiri, mana mungkin butuh buruh cuci. Sungguh tidak masuk akal. Aku hanya diam, tak kusentuh makanan itu. Malah aku melarang anakku untuk makan. Dia hanya melongo.

“Kenapa bang? Malu kamu jadi suami yang gak bisa cari uang?” Perkataan itu langsung menusuk hingga ke ulu hatiku.

“Apa? Mestinya kau sadar, dari mana semua ini kau dapatkan?”

“Maksudmu, aku mencuri?” Dia masih membela diri saja.

“Jika tidak, buktinya semalam kau ke mana?”

Kali ini dia benar-benar terdiam kehabisan kata. Kemudian aku pergi dan tak pulang beberapa hari. Ternyata, desas desus kebobrokan Pak Has mulai menyebar dan menjadi buah bibir. Sebentuk dendam dan kebencian membuatku memutuskan untuk membalas perbuatan tuan tanah bajingan itu. Tak perlu berharap pada penegak hukum. Di negeri ini, penegak hukum berpihak pada penguasa dan pihak-pihak berduit saja. Maka, aku akan menghukum Pak Has dengan caraku sendiri.

Minggu malam aku beraksi. Aku memakai baju tebal dan panjang warna hitam, persis seperti tokoh-tokoh pembunuh berantai dalam film. Pisau paling tajam milikku sengaja diasah berkali-kali sejak siang. Pisau ini harus menembus perutnya yang buncit itu. Aku mengendap-endap menuju kamarnya, mengintip dari lubang kunci. Pak Has hanya sendiri malam itu. Sepertinya dia memang ditakdirkan untuk mati saat itu juga. Dia masih tertidur lelap seperti seseorang tanpa dosa.

Aku mengayunkan pisau tepat di perutnya, menusuknya dengan tenang. Selanjutnya menutup wajah si bajingan itu dengan bantal, dan segera menusukkan kembali pisau di bagian wajahnya. Dia masih punya tenaga untuk meronta dan melawan, tetapi amarah selalu punya kekuatan lebih. Tangannya menggapai-gapai sesuatu, lalu jam beker di sebelah kanan mejanya terjatuh. Beberapa saat kemudian seorang lelaki masuk. Mungkin sopir pribadinya, entahlah aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Pukulannya membuat gigiku copot. Aku terhuyung. Tanganku yang berlumuran darah dan pisau tajam yang kupegang membuatnya sedikit takut. Beberapa kali aku mengayunkan pisau itu. Sebuah tendangan tepat mengenai perutnya. Dia lalu roboh. Kesempatan itu aku gunakan untuk berlari sekencang-kencangnya. Sialnya dia masih bisa berteriak meminta bantuan. Hening malam dengan mudah membuat suaranya terdengar ke mana-mana.

Saat aku keluar, beberapa warga melihatku. Mereka mengejarku. Aku berada cukup jauh di depan mereka dan hendak berbelok ke hutan untuk bersembunyi. Tapi sebuah batu seukuran tinju orang dewasa membentur kepalaku. Rupanya seorang warga melempar batu itu. Aku terhuyung, dan tak lama dari itu para warga berhasil mengepungku. Sekali lagi aku mengayunkan pisau ke segala arah. Mereka belum mengenaliku sebab topi dan masker yang kukenakan.

Tapi lama-lama mereka bertambah banyak dan aku kehilangan cara untuk menyelamatkan diri. Pukulan dan tendangan terus mendarat di sekujur tubuhku. Aku mulai tak sadarkan diri. Mungkin inilah akhir hidupku, dipukuli sampai mati setelah membunuh seorang bajingan yang kurasa lebih hina dari binatang.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Rizki Muhamad Fakih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email