“Jangan mau jadi kritikus buku, tapi TIDAK pernah menulis buku.”
“1000 komentar yang kita buat di dunia maya, tidak akan membuat kita naik pangkat menjadi penulis buku. Mulailah menulis buku, jangan habiskan waktu jadi komentator, mulailah jadi pelaku.”
Begitulah bunyi kutipan Tere Liye di bio Goodreads. Saya cukup terganggu dengan kutipan tersebut, kesannya Tere Liye jadi penulis yang antikritik dari pembacanya. Lalu dia menyarakan pengkritik untuk menulis buku daripada mengomentari, sebuah pernyataan yang membuat saya bertanya. Apakah seorang pembaca tidak boleh kritis? Tanpa berpikir kritis bisakah kita menulis? Sebuah pertanyaan yang menggelayut di benak saya.
Selama ini posisi penulis sering kali dianggap aktif dan di sisi lain pembaca dianggap pasif, menerima begitu saja apa yang dibaca. Seolah-olah buku bisa memengaruhi pembaca dalam sekejap, maka sering terdengar jika sedang baca buku komunis dengan mudah dicap komunisme, jika membaca buku ateis lalu dicap ateis, dan berbagai cap lainnya terhadap pembaca buku. Padahal sejatinya, pembaca memiliki peran aktif. Seorang pembaca bisa saja setuju dan tidak setuju atas argumen yang ditulis dalam buku, bisa saja suka dan tidak suka terhadap karya novelis. Bahkan seorang pembaca bisa memaknai berbeda atas apa yang dibacanya atau dinginkan penulis.
Salah satu penulis yang memuji kegiatan membaca adalah Eka Kurniawan, dia mengatakan bahwa membaca lebih sulit dibanding menulis, terutama membaca kritis. Seorang pembaca dihadapkan pada teks dan dirinya sebagai subjek, setiap pembaca memiliki pengalaman yang berbeda-beda, mulai dari kepribadian, jenis kelamin, usia, dan wawasan. Semua hal tersebut membentuk seorang pembaca ketika berhadapan dengan teks. Seseorang yang membaca buku yang sama bisa saja memaknai berbeda pada hasil bacaan.
Penulis tidak lagi menjadi pusat, dan pembaca tidak lagi menjadi pinggiran yang harus ikut saja kata penulis. Seorang pembaca yang jeli bisa dengan cermat mengkritis apa yang ditulis dalam buku. Maka dari itu, dalam sastra ada yang disebut kritikus sastra, para kritikus ini memiliki pengetahuan soal sastra, bagaimana cara menghadapi teks, struktur kalimat, teknik penceritaan, tokoh dalam novel, dan seterusnya. Pembacaan dari seorang kritikus sastra menjadi sebuah peta untuk memahami novel yang dibaca. Dan bahkan hasil tulisan kritikus sastra bisa saja dikritik kembali oleh seorang pembaca.
Tere Liye mungkin menjadi pongah karena sudah menerbitkan banyak buku dan berhasil mendapatkan banyak pembaca, sehingga melarang pembacanya berkomentar. Padahal di Goodreads terlihat ada pembaca yang kritis, terutama yang memberi bintang satu. Mereka mengemukakan pembacaan atas buku Tere Liye, ada yang berkomentar bahwa buku Tere terkesan datar, memaksa, bahasanya seperti diterjemahkan. Hal menarik lainnya, ada yang menyatakan bahwa buku Rembulan Tenggelam di Wajahmu serupa dengan buku Mitch Albom berjudul The Five People You Meet in Heaven, sungguh temuan yang menarik. Apakah Tere Liye mengambil ide dari buku tersebut, ya bisa jadi. Tapi itulah pentingnya komentar dari pembaca buku.
Seorang penulis yang menutup diri akan sulit berkembang, penulis buku populer seperti Tere Liye yang tidak mengindahkan kritik dan berargumen bahwa yang penting bukunya laris di pasaran, terlihat pongah. Padahal ketenaran tersebut tidak lepas dari toko buku populer yang memajang terus menerus bukunya, hingga banyak pembaca masuk dalam kesadaran palsu yang beranggapan buku Tere Liye bagus dan layak dibaca.
Tulisan ini akan dengan muda dicemooh pembaca Tere Liye, “jangan kritik aja, coba tulis buku. Memang kamu bisa?”
Saya akui kalau memang tidak menulis novel seperti Tere Liye, bahkan tidak satu pun memiliki buku yang sudah diterbitkan, bahkan kalau menerbitkan novel belum tentu bisa selaris Tere Liye. Tapi apakah dengan hal seperti itu, saya tidak boleh mengkritik Tere Liye? Saya sendiri sudah membaca puluhan buku Tere Liye, sebelum mengkritiknya.
Saya terjebak membaca buku Tere Liye karena tidak ada satu pun yang menyadarkan, apalagi toko buku populer senantiasa memajang buku Tere Liye di bagian terdepan. Karena toko buku populer itu tahu, larisnya buku Tere Liye menghasilkan uang yang banyak untuk mereka. Bahkan nama Tere Liye di sampul buku biasanya sama besar dengan judul bukunya.
Kesadaran ini lahir setelah perjumpaan saya dengan seorang pembaca buku di Yogyakarta. Terutama seorang teman yang militan dalam membaca, yang kabarnya jadi Youtuber Buku. Saya banyak mendapatkan rekomendasi buku berkualitas baik darinya, mulai dari buku Eka Kurniawan, Leila S. Chudori, hingga buku-buku terjemahan dari penerbit Marjin Kiri, misalnya. Saya pun jadi tahu ada buku yang menjadi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa, pemenang Dewan Kesenian Jakarta, buku kumpulan cerpen Kompas, buku pilihan Sastra Tempo. Semuanya jadi menyadarkan saya betapa banyak buku yang bagus, yang belum saya baca.
*****
Editor: Moch Aldy MA
Sy berbeda pandangan dengan sampeyan tentang kata kata tere liye, mnurut sy mksd dari tere liye adalah, mulailah mencoba menulis buku jangan cuma bisa kritis di kolom komentar. Tere liye tidak bermaksud anti di komentari. Tapi anda lihat, banyak postingan berita yang lewat, bnyak postingan kejadian, ketika anda membuka kolom komentar postingan tersebut anda dapati bnyak tanggapan brilian, bnyak saran yang tops, kadang like nya beribu ribu. Nah, daripada sekedar kritis disana, kenapa tidak menuangkan saran, semua ide itu dalam bentuk tulisan dan menjadi buku, nanti banyak orang yang akan membacanya. Jika tanggapan dan sarannya brillian kemudian itu di setujui oleh khalayak banyak, kan bisa mengangkat nama penulisnya juga
Ohh my. 😁😁 Berani sekali tulisan anda. Tapi jujur juga sih saya bukan penikmat karya2 Tere Liye. Karena yaa itu tadi. Kurang cocok sama gaya bahasanya. Dan saya pernah baca artikel juga di web kalo yang suka sama novel2 Eka Kurniawan mesti gak suka sama novel2 Tere Liye. Yang suka cerita Ayu Utami mesti gak suka cerita Asma Nadia. 😅😅 Hehe. Dan di saya itu cocok.