ke mana yang tak sampai
sudah tumbuh puisi-puisi ini
menemukan takdir entah itu dibenakmu
atau menjalar menjadi bagian
badan usia, usai waktu mengantar
luasnya dan sepinya—hana
uzlah setiap aku menjadi pendoamu
sungguh bayang-bayang ini tak sampai
bekas kata-kata seakan meruput
di laman pagimu,
pijak-pijak kalimat terlentang
yang lupa disiang
—barangkali, kalimat hanya akan menjadi
basi, tertimbun kesibukan sebagai pekerja
yang ditempa—
kemudian apa makna
di setiap detiknya, pahlawan cantik
yang menerka-nerka. secuil dan secibir
waktu dipertanyakan;
semestinya
risau selalu tak pernah sederhana
(Yogya, 2024)
–
semua diceritakannya ialah sesuatu yang absen
di minggu terakhir ia keluar dengan balutan sweater mini hijau untuk harapan sebelum pekan datang bisa menjalani hari yang melambat. menikmati tape kompo tua; menyela dengan nada musik r&b dan pagar noku yang terhimpun beberapa orang; tangannya tersandar di bahunya. dari lambatnya sore, warna oranye yang menusuk sela ketapang daun kecil
mengaduk tawa: ia di bawah timpukan daun-daun kuning yang pudar.
seperti menjalani hari sebelumnya yang padat dan sesak, pengendapan di akhir pekan perlu diceritakan dengan bualan basi. mumpung harinya dirasa longgar dirayakan bersama bun roti cranberry cheese, sembari menghitung beban detik agar memutar ke kanan dan membeku. lagu masih menceritakan perasaanya yang berganti menit demi menit, menitip suara yang hinggap di telinga dan patah. suaranya renyah merayap di baling-baling kipas, membisikan si sweet tears hijau.
segelas latte meleleh, di hadapan muka, menoleh orang-orang oleh lagu yang berdentum bass, menyentil dada pemukau pekan. lanjut bercerita, jika awal minggu adalah jam yang berat dijalani untuknya. tak ada yang diperlambat, detik tak bisa melompat lebih cepat selain menjadi tumpukan dan kepadatan ingatan yang sumpek. musik dan latte hingga kompo tua serasa bercerai. apa yang diceritkan sweater mini hijau adalah lelah dan hari-harinya yang tak hadir. sepertinya ia harus segera menyepakatinya.
(Bantul, 2024)
–
tamasya waktu lore
kantung matamu
sudah lama menyimpan
penggalan penderitaan lore
kamu bermimpi di sela
alis-alis itu ada taburan
bintang-bintang yang hidup:
jatuhnya di sakumu
dan engkau masih saja
kuat untuk sendiri
suatu hari kau ingin
menghapus jejak-jejak
kepedihan, seperti kecipak
kaki-kakimu di bawah reruntuhan
gerimis dan seketika hilang
payung menemani bingkai,
engkau di hangat kota-kota
ketahuilah lore
bahwa jalan harapan
akan selalu hidup,
bukan melulu tentang mendatang
kadang hari ini pun
kamu ingin menarik kebahagiaan yang
dulu: kegembiraan dirinya
bersama dan sekarang
percuma lore itu tak
pernah terjadi lagi
mendatangkan dirinya yang sudah
pasti pergi
menjadi kesimpulan yang sia-sia
diamkan waktumu lore
di waktu-waktu penuh dusta
(Bantul, 2024)
–
amsal i
mengapa harus memunggungi sekian mil pada jarak dan debar-debur jantung yang menghitung
lelahnya. sekiranya dipertautkan tidak perlu sepedih ini; tanggal-tanggal yang biru menikam
satu-satu. menyeka bola mata demi menanggung beban di atas punuk waktu.
(Bantul, 2024)
–
amsal ii
mengapa harus kamu yang membuat musim ini sebegitu lama, padahal burit sebegitu lambat—
memangku malam yang lindap—dengan suaramu yang tralala sebegitu cepat. kusadari waktu
kosong sering melamun di siang bolong tanpa basah bibir mengecup detik ruang yang
mengenang.
(Bantul, 2024)
*****
Editor: Moch Aldy MA