Aku duduk di depan teras rumah, melihat segerombolan katak lewat. Tapi ada yang tidak beres. Mereka berwarna merah dan bernyanyi parau, “Krok… Krok… Krok.”
Aku mengamati satu persatu katak yang lewat dengan teliti. Ada satu katak tertinggal di belakang, anehnya ia menengok padaku dan tersenyum sinis. Seketika bulu kudukku berdiri dan bau bangkai menyambar inderaku, mungkin dari samping rumah. Bau yang amat menusuk hidungku. Aku memanggil-manggil ibu, tak kunjung jawaban kudapati dan katak merah itu masih di sana melihatku dan masih tersenyum.
Dalam pikiranku, tiba-tiba hewan itu menjadi begitu besar dalam jarak pandangku. Semakin besar dan sangat besar. Tingginya melebihi atap rumah kami. Katak merah itu masih melihatku sambil tersenyum. Kedua bola matanya yang besar menatapku dengan licik dan lidahnya panjang sesekali terjulur menangkap burung yang lewat di depan matanya. Ibu tak kunjung datang, bau busuk itu semakin menguar dan tak tertahankan. Aku mual dan pusing, goyah, aku mendengar katak merah itu berbicara padaku, “Bagaimana rasanya jadi manusia, amat menyebalkan bukan? Kesakitan yang kau rasakan, siapa yang peduli? Semua orang sudah sibuk dengan rasa sakitnya masing-masing. Ikutlah, ikut denganku, akan kutunjukkan sebuah tempat di mana tak ada lagi kesakitan yang dapat kau bayangkan.”
Aku diam saja. Kepalaku sudah berdentam tak karuan dan suara aneh itu lagi-lagi terdengar. Bau busuk yang tak tahu dari mana datang menghadang inderaku dengan brutal. Aku sudah tak sanggup lagi memikirkan apapun. Aku mencoba peruntunganku kembali, barangkali lolongan suaraku dapat didengar ibu, tapi sial tak ada tanda apa-apa. Biasanya pagi-pagi begini akan ada tetangga yang lewat untuk ke kebun atau sekadar melihat hal ramai apalagi yang terjadi di rumah kami hari ini. Namun anehnya tak ada yang terjadi hari ini, semuanya berjalan dengan biasa-biasa saja.
Katak merah itu lagi-lagi membuka suara. Suaranya terdengar seperti tercekat dalam tenggorokannya dan susah sekali keluar, tapi masih terdengar begitu jelas dan semakin menakutkan, katanya, “Segala kesakitanmu, segala luka dan rasa cemas akan hilang, dunia yang tak kau temukan di manapun, aku membawakannya untukmu.”
“Bagaimana bisa kau menawarkan rasa bahagia dan kehidupan baru untukku tapi diselimuti bau sampah memuakkan ini? Bagaimana bisa kau memberikan dunia padahal kau hanya seekor katak merah bodoh, bau sampah. Katak merah bodoh, katak merah bodoh yang bau sampah.”
Bau busuk itu membawaku pada kenangan menyakitkan yang tiba-tiba terlintas. Mematahkan hatiku berulang kali.
Aku ingat benar waktu itu aku duduk di kelas dua SD, ketika pembagian rapor tak ada yang datang untuk merayakan hari baik itu denganku. Tiba-tiba ingatan lain yang samar-samar hadir. Ibu dipukul orang di depan wajahku. Aku tak berani menunjukkan wajah. Wajah ibu babak belur juga hatiku ikut hancur. Tak ada yang bisa kulakukan. Ayah pun tak pernah aku tahu bagaimana wujudnya dan rumah kami selalu kesepian sebab ibu jarang di rumah.
Katak itu kembali bersuara, “Apa lagi yang kau harapkan, tidak akan ada lagi pengharapan yang ditawarkan oleh siapapun yang kau percayai. Ini sudah selesai. Kau sudah habis. Sendirian. Dunia bahkan telah meninggalkanmu sebelum kau mendiaminya.”
“Apa sebenarnya maumu datang ke mari? Aku tidak pernah percaya kebahagian itu ada dan dunia sudah terlalu kotor untuk percaya pada kau.”
Aku bergidik ketika melihat kedua matanya yang membola, seperti kesal dan marah pada apa yang kukatakan.
“Benar, aku tahu kau mungkin tidak percaya dengan tawaranku tapi lihat pintu di depan sana, lihat sekelilingmu dengan baik. Apa kau mengenali tempat ini?”
Aku mencoba melihat sekitar apa sebenarnya yang ia maksud, rumahku masih sama mungil dengan cat hijau busuk yang sudah pudar. Jalanan masih lengang tak ada yang lewat. Para tetangga mungkin masih tidur karena semalam hujan deras.
Ketika aku asyik mengamati sekitar, ia kembali bersuara. Tapi ini berbeda. Ia berubah bentuk menjadi normal.
“Ayo ikutlah denganku, akan aku tunjukkan dunia seperti apa yang ada di balik pintu itu. Tidak usah takut aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu.”
Aku dengan ragu-ragu memutuskan percaya, meski aku lupa kapan terakhir kali harus percaya dengan orang lain.
Aku akhirnya menyentuh tangannya dan saat itu juga aku seperti masuk ke dalam sebuah dimensi yang lain. Tempat yang kupijaki sekarang tampak sangat berwarna-warni. Tidak ada kegelapan di sini. Orang-orang berpesta pora, makan dan minum sepuas hati. Benar-benar dipenuhi begitu banyak kebahagiaan. Orang-orang saling mengasihi satu sama lain. Ada apa sebenarnya dengan dunia ini, dan dunia apa yang aku masuki ini? Pertanyaan-pertanyaan itu hilir mudik tak kunjung menuai jawaban. Banyak anak-anak menyapaku dengan begitu bahagia. Jadi ini belahan dunia bagian mana?
Ada satu hal yang aku sadari, walaupun dunia ini terlihat warna-warni, dunia ini didominasi oleh warna merah. Segala hal yang ada di dunia ini terdiri dari warna merah yang mencolok mata. Saat aku mengedarkan pandanganku, kulihat bayangan yang familiar. Itu ibu. Sedang makan muffin coklat kesukaannya di pinggir meja tempat banyak makanan dihidangkan. Aku sudah tak tahu lagi ke mana katak itu pergi, aku memutuskan menghampiri ibu.
“Ibu, apa yang ibu lakukan di sini?”
Ibu menoleh dan melihatku dengan heran. Dalam dunia yang dipenuhi warna merah ini, ibu terlihat jauh lebih muda, mungkin dua puluh tahun lebih muda dari terakhir kali aku melihat ibu.
“Siapa yang kau panggil ibu? Aku belum punya anak.”
Aku melihat alisnya terangkat, wajahnya yang belia itu terlihat tidak menyukaiku. Ah, aku tahu sekarang ibu terlihat seumuran denganku.
“Ini aku bu, Darni… anak ibu.”
Ibu semakin terlihat tidak suka, dan mencoba menjauh dariku. Setelah ia dipanggil oleh sebuah suara. Aku semakin bingung apa sebenarnya yang terjadi. Aku mengamati orang-orang sekitar, mereka terlihat tertawa bersama, ada beberapa orang yang wajahnya terlihat tidak asing. Aku lagi-lagi menemukan wajah itu mengernyit melihatku, dan bangkit menghampiriku. Ia terlihat seumuran dengan ibu. Senyumnya mirip seseorang, tapi aku lupa siapa orang itu.
Ia menyapaku, “Darni, bagaimana bisa kau juga masuk ke dalam sini. Apakah dunia di luar sana sudah berubah? Kau harusnya lebih bahagia dari aku.”
Orang itu berkata dengan wajah tanpa ekspresi. Aku bingung menanggapinya. Aku tidak kenal dengan orang ini, lalu mengapa ia mengatakan aku harus lebih bahagia dibandingkan dia? Apa yang sudah dikorbankan untukku? Toh dia bukan siapa-siapa.
Katak itu muncul lagi di hadapanku. Aku bertanya-tanya ada apa sebenarnya? Ada apa dengan dunia ini? Dunia apa ini?
“Darni, kau sudah bertemu dengan dua orang penyebab segala kesakitanmu.”
Aku kebingungan.
“Apa maksudmu?”
“Iya, itu adalah kedua orang tuamu pada masa muda mereka. Saat ini, di dunia ini, waktu berputar menuju momen yang paling membuatmu merasa bahagia. Dan hal yang paling membahagiakan menurut kedua orang tuamu adalah masa-masa sebelum ada kau. Lihat sekarang di sana. Mereka bahkan tidak pernah ingat, dengan tidak bertanggung jawab melahirkanmu ke dunia dan membiarkanmu sendirian.”
Aku tidak bisa mencerna semua informasi ini sekaligus, dunia ini memerangkap semua perasaanku, hanya ada satu perasaan yang tertinggal. Yaitu kebahagiaan. Aku merasakan percikan kebahagiaan itu dalam rentang perasaanku yang dangkal. Namun aku tidak tahu apakah aku harus bahagia dengan fakta yang baru saja kudengar. Mengapa aku harus bahagia melihat kedua orang itu? Tanpa aku. Sejak semula aku memang tidak seharusnya ada. Lamat-lamat kupandangi wajah lelaki yang tadi menyapaku. Sadarlah aku sekarang, senyum itu mirip dengan senyumku. Saat dunia benar-benar masih terasa begitu indah dan aku lupa kapan dunia pernah begitu indah bagiku.
“Sekarang semua keputusan ada di tanganmu. Segala pilihan yang kau ambil haruslah memiliki alasan yang logis, Darni. Keberadaanmu adalah tanggung jawab mereka. Bukan kau. Kau bisa memilih dunia mana yang akan kau tinggali.”
“Kalau aku memilih pulang apakah aku tetap akan bertemu ibu?”
Aku bertanya dengan penuh harap.
“Entah apa yang akan terjadi. Di dunia ini, segala hal yang terjadi adalah dorongan perasaan kebahagian. Jika kau memilih pulang, kau hanya akan kembali pada perasan semula. Suram dan gelap.”
Aku masih melihat dua orang itu, mereka tertawa dengan sangat bahagia. Tanpa peduli aku akan lahir dari mereka, tanpa mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia. Mereka menikmati waktu. Bercanda dan tertawa tanpa pernah mengingat, barangkali di dunia yang lain aku sedang menangis atau bersedih. Dunia memang tidak pernah berjalan seperti apa yang aku kehendaki. Aku berpikir untuk terbang saat ini juga, melarikan diri. Aku mencari-cari dalam diri, di mana perasaan bahagia yang kurasakan tadi. Bahkan dunia ini tak bisa membikin perasaan itu menetap padaku. Seketika aku menangis tersedu-sedu. Sangat deras, air mataku berkejaran jatuh bagaikan air bah. Aku lagi-lagi kalah dengan cinta, aku memang tidak pernah diharapkan. Bahkan melihat kedua orang itu bahagia, aku tidak merasa lebih baik.
Orang-orang melihatku dengan dahi berkerut. Semua orang tiba-tiba ikut menangis. Semua orang menangis dengan tiba-tiba tanpa alasan. Sedang kedua orang itu, terlihat biasa-biasa saja dengan perubahan perasaan yang terjadi. Mereka tidak merasakan apapun. Dengan tersedu-sedu aku bertanya, “Mengapa kedua orang tuaku masih bisa tertawa dan bahagia?”
Katak itu melihat kepada kedua orang itu.
“Karena mereka tidak punya kesedihan lagi, dengan kau menangisi kehadiranmu di dunia ini atau di dunia yang lain, membuat mereka semakin tidak memiliki perasaan apapun. Maka itu pilihannya ada dalam tanganmu sekarang. Apa yang akan kau pilih?”
Perasaanku kembali berputar, meraba-raba setiap perasaan yang pernah aku rasakan, dalam kehidupan yang manis dan singkat ini. Aku mengingat senyum ibu saat pagi, aku mengingat senyumku sendiri. Tak ada yang membekas, perasaan lain yang tersisa adalah kesuraman yang dominan, kesedihan yang menggunung, dan kesendirian. Ah, iya bahkan aku tak punya satupun manusia yang mau bertahan di sampingku. Sejak dahulu, aku tak pernah diharapkan.
Aku melihat ke arah katak merah itu, ia kembali berubah menjadi lebih besar lagi. Dan semakin banyak katak yang datang, teman-temannya datang. Orang-orang yang ada di sekitar juga membesar, dan bau busuk itu kembali menguar. Perasaanku ikut menguar dan kepalaku nyaris pecah. Aku membayangkan, tubuhku ikut membesar.
Dengan kesadaran yang tersisa, aku memutuskan mengakhiri segala perasaan ini, membunuh isi kepalaku yang liar, mencoba menangkap salah satu katak yang melompat di depanku. Aku menggenggamnya, merobek kulitnya, dan menarik jantungnya keluar dari tubuhnya. Darah mengucur dan aku mandi darah. Bau yang menyengat itu hilang. Katak-katak itu hilang. Semua orang hilang dalam pandanganku.
Aku terbangun di depan teras rumahku yang dingin, malam telah datang menjemput, dengan bau tanah sehabis hujan. Sejak hari itu, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Ibu tetap tak kunjung muncul, sedang ayah sejak semula memang tak ada.
*****
Editor: Moch Aldy MA