Kelahiran Klaten.

Buntelan Kertas Sebesar Biskuit

Rega Ade Pratama

6 min read

Dua seperempat jam terbang dari Hang Nadim ke YIA, sebuah pertanyaan membentang. Adakah suatu hari dalam hidupmu, mampu mengubah apa yang telah kau kenal sejak kecil? Seperti hari itu adalah lengan besi bego, merobohkan bangunan yang waktu demi waktu kau bangun. Atau rintik deras hujan musim kemarau yang mengguyur debu-debu pada genteng. Sesampai di rumah, dua hari dalam hidupku terasa demikian.

Yang pertama terjadi bertahun-tahun sebelum aku pergi dari kota tempatku lahir, kota seribu mata air. Di mana minggu pagi itu, Ibu menggemparkan rumah di saat langit masih remang. Di toko kelontongnya empat bohlam lampu menggantikan sorot matahari yang belum mampu menerobos jendela. Dan begitu aku mendekat tampaklah barang-barang dagangan dari dalam etalase berserakan di lantai.

Ayah yang semalam baru pulang dari job nyupir ke Semarang ternyata sudah ikut menyibukkan diri. Dari tempat yang agak berjarak, aku dapat mendengar percakapan mereka.

Ndak ada di laci bawah etalase? Mungkin kamu ambil terus lupa naruh, coba ingat lagi.”

Ndak mungkin, Mas. Kamu tahu toh, aku cuma ambil pas tanggal lima belas,” jawab Ibu, yang tak membiarkan tangan dan matanya berhenti menyibak barang-barang di depannya.

Sebelum menghampiri mereka aku sempat melirik kalender. Memang hari itu tanggal 15, dan kalau benar Ibu seharusnya baru mengambil sesuatu yang sedang dicari-cari itu.

“Selain etalase biasanya kamu taruh mana?”

Ndak pernah aku pindah, gimana toh kamu ini,” Ibu menjawab dengan agak jengkel.

Ketika ia melihatku, pertanyaannya beterbangan. Pernahkah aku melihat atau justru mengambil benda yang hilang tersebut. Disodori pertanyaan seperti itu mulutku tak bisa menjawab. Aku berusaha mengingat. Tetapi sesengit apapun aku mengorek-orek isi kepala, aku tak mendapat ingatan itu.

“Misal kamu pernah melihatnya,” ucap Ibu kemudian, menyadari gelagat wajahku. “Mirip beberapa lembar kertas dilipat jadi buntelan, ukurannya kecil, ya kira-kira seukuran biskuit Roma, terus ada gambar keris tujuh luk di satu sisi, di baliknya ada tulisan Arab, seperti itu bentuknya.”

Ia menggambarkannya sedetail mungkin. Matanya penuh harap menatapku. Tetapi sama saja, tak ada penampakan benda seperti itu terekam otak.

Akhirnya, pagi itu di antara kami tak ada yang menemukan benda buntelan kertas itu. Dan hingga matahari naik seperempat langit hanya Ibu yang belum menyerah. Tak hanya barang-barang di toko, lemari pakaian juga menjadi korban, dan tempat-tempat lain yang memungkinkan untuk benda sebesar biskuit Roma sembunyi.

Demi mencari benda itu Ibu lupa membuka rolling door toko kelontongnya. Dari jendela depan aku melihat wajah-wajah pembeli yang berbalik pulang dengan kesal. Tapi saat Ayah kembali menghampirinya, aku baru tahu, Ibu tidaklah lupa.

“Dek, tokonya sambil dibuka saja kalau mau terus nyari, ndak pantas menolak pembeli begini.”

“Tanpa buntelan itu? Aku ndak yakin, Mas.”

“Ya, bukannya gimana, benda kayak gitu kan cuma perantara, lebih penting yakinnya sama Gusti, Dek.”

Aku tak bisa menebak bagaimana rona wajah Ibu mendengar perkataan Ayah. Yang pasti sesaat setelah percakapan itu, akhirnya terdengar rolling door dinaikkan. Kira-kira saat matahari sudah melewati atap rumah kami.

Sampai saat itu aku tak mendapat suatu keanehan selain pertanyaan, mengapa Ibu sebegitu khawatirnya jika benda itu hilang? Sore harinya aku mengorek informasi dari Ayah. Mendengar pertanyaanku, ia menurunkan volume suara dari biasanya.

“Etalase, lemari rak, laci uang, dan perkakas toko lainnya itu peninggalannya Mbah Tolek, Ayahnya Ibumu. Buntelan kertas itu juga. Setahu Ayah, benda itu sangat penting sejak Kakekmu masih berdagang. Bagaimana ya gampangnya… ah, pokoknya, Ibumu percaya kalau toko akan sepi tanpa buntelan kertas itu.”

Mendengar itu detak jantungku tersentak. Bagaimana mungkin Ibu percaya benda seperti buntelan kertas?

Lalu aku meminta pendapatnya lebih jauh tentang Ibu dan benda peninggalan itu. Ayah tak mau menjawab. Dan dari situlah perlahan sosok Ibu yang kukenal sejak mulai bisa menyimpan ingatan menjadi kabur.

Aku tahu toko kelontong Ibu selalu ramai. Jika sempat menghitung ada sekitar enam puluh pembeli datang setiap harinya. Sebelum kemunculan buntelan itu, aku selalu yakin kesuksesan toko kelontong tak terlepas dari cara Ibu berdagang. Ia punya strategi sendiri. Di sela-sela waktu Ibu sering mengajariku, bahwa dalam berbisnis perlu ada yang berbeda dari pedagang lain. Salah satunya soal penentuan harga jual.

Ndak usah nyari untung terlalu banyak, yang penting ndak rugi dan penjualan lancar. Coba kalau barang yang kita jual beda lima ratus rupiah saja dari toko lain, tapi barangnya cepat habis, berarti putaran uang lebih cepat, toh?” jelasnya saat itu sambil memencet kalkulator, menghitung harga dari grosir.

“Sini perhatikan,” lanjutnya, menyodorkan buku catatan berisi angka-angka, “misalnya harga dari grosir delapan ribu dan toko lain jualnya sepuluh ribu, kita bisa jual antara sembilan lima ratus atau sembilan delapan ratus.”

Selain strategi soal harga, Ibu juga paham posisi toko kelontong kecil seperti miliknya. Di saat kebanyakan toko kelontong memasang tulisan ‘Tidak Menerima Bon’ pada dinding atau etalase-etalasenya, Ibu justru tidak. Ia melihat perkara bon itu sebagai peluang.

Pasar toko kelontongnya adalah orang-orang sekitar, paling jauh tetangga desa. Kebanyakan dari mereka bukan seorang pegawai atau karyawan yang gajian tetap akhir bulan. Ketika di toko-toko lain, apalagi grosir, tak mungkin mendapat bon, maka satu-satunya kemungkinan mereka bisa ngebon hanya di toko Ibu. Tetapi Ibu selalu mengingatkanku cukup keras agar tak sembarangan memberikan bon.

“Beri ke orang yang sudah kenal, atau ya pelanggan kalau sudah punya. Sama jangan lupa dicatet. Kalau ndak begitu bisa repot nagihnya.”

Sebab itulah kemunculan buntelan kertas sebagai pelaris beradu sengit dengan sosok Ibu yang kukenal dalam benakku. Selama beberapa hari aku tak bisa melerainya. Hingga seminggu kemudian, saat pulang latihan takbiran, kulihat Ibu duduk dengan tatapan kosong di balik etalase. Wajahnya kehilangan sinar seperti toko yang kehilangan ruh. Memang setelah pencarian yang sia-sia dan hari setelahnya toko sepi pembeli. Tiap menjelang magrib biasanya pembeli menyerbu toko, tetapi kala itu kalau kuhitung-hitung cuma empat sampai enam pembeli saja. Entah hanya aku atau Ayah juga sudah menyadari hal ini.

Dari YIA kereta membawa badanku ke pusat kota Jogja. Di peron Stasiun Tugu aku hanya duduk mengamati penumpang lain yang datang dan pergi. Sama sekali tak ada hasrat untuk membelikan apapun untuk orang rumah, karena ini bukan kepulangan yang memang direncanakan. Lebih tepatnya ini kepulangan yang mendesak dan tergesa-gesa. Sebentar kemudian kereta membawa badanku melaju ke timur, meninggalkan Jogja.

Dua hari lalu telepon dari Ayah yang memaksaku pulang. Suara besar dan rendah lelaki itu terdengar tak seramah biasanya. Ayah dan aku bisa bercakap-cakap selama berjam-jam lewat telepon. Mempercakapkan tentang rumah, tempat-tempat yang ia datangi saat job nyupir, atau tentang Ibu dan toko kelontongnya. Tetapi telepon hari itu rasanya hanya bermaksud menyampaikan kabar padaku.

“Ibumu masuk rumah sakit, sudah empat kali dua bulan ini, kanker rahim, perlu operasi.”

Jeda beberapa detik. Sebelum terputus, aku mendengar napasnya yang dalam.

Toko kelontong Ibu sudah lama tutup. Bukan karena penyakitnya. Aku juga tak tahu pasti apa penyebab sebenarnya. Tapi kalau Ibu memang memercayai penyebabnya adalah buntelan kertas itu, maka aku tak bisa menuduh hal lain. Keadaan ini berjalan tanpa ada keinginan dariku juga Ibu untuk bertanya atau menjelaskan. Hingga suatu hari, di tengah percakapan Ayah memberikan hpnya pada Ibu.

“Le, dengar baik-baik ya,” ia langsung membuka dengan nada serius. Aku kira karena Ibu mendengar kami membicarakan barang dagangan yang tak bertambah stoknya sebulan terakhir. “Toko kelontong kecil seperti punya kita makin tergeser keberadaannya. Ibu minta kamu ingat terus dari mana sebagian hidup keluarga kita berasal.”

“Digeser siapa, Bu?” tanyaku asal.

Minimarket mulai masuk desa. Rencananya mau dibangun beberapa tempat, salah satunya di jalan mau ke umbul. Ah, Ibu ndak tahu bagaimana toko-toko yang lain. Ibu cuma merasa, kalau pedagang kecil seperti Ibu sekarang ini bersaingnya bukan dengan sesama, tapi dengan pedagang raksasa begitu itu. Mungkin ya, Nak, ini baru kemungkinan, besok desa kita ini juga bakal ada supermarket, mall, apartemen, restoran mahal. Ah, Ibu takut kalau sawah-sawah itu bakal ndak menghasilkan beras lagi.”

Lalu aku terdiam. Aku tahu minimarket macam apa yang dibicarakan Ibu saat itu. Bukan minimarket milik orang-orang kecil, sebab aku juga menemukannya di Batam atau kota-kota lain yang aku pernah lewati.

Saat telepon kembali ke tangan Ayah, ia mengatakan kalau perasaan Ibu ada benarnya. Dari Ayah aku juga tahu, kalau sempat ada penolakan dari para pedagang lokal atas izin yang diberikan Kecamatan pada investor minimarket yang dimaksud. Dan Ibu salah satu pedagang yang ikut menolak.

Persoalan minimarket sebenarnya lebih masuk akal sebagai penyebab tutupnya toko kelontong. Tapi kejadian di hari minggu waktu itu, sekali lagi, membuat buntelan kertas selalu menyelip di antara kemungkinan-kemungkinan lain yang muncul.

Gerbong yang aku tumpangi tenggelam oleh suara roda-roda yang melintasi rel. Tak ada penumpang yang saling bercakap. Sesekali aku perhatikan wajah-wajah mereka. Wajah asing yang tak aku tahu apa cerita di balik sorot matanya. Tetapi hampir dari semua wajah yang bisa kulihat nampak menunduk lesu. Barangkali mereka sedang menyimpan pertengkaran-pertengkarannya sendiri dalam kepala dan merahasiakannya dengan cara masing-masing. Ada yang bermedsos, ngegame, mendengar musik, tidur. Atau sepertiku, menyaksikan bangunan dan pepohonan berjalan mundur dari jendela. Dan apapun yang dilakukan, dirahasiakan, kereta tetap melaju membawa badan kami.

Sesampai di Brambanan kereta hanya lewat. Bersamaan itu pesan dari Ayah masuk. Ibu sudah mendapat jadwal operasi, tinggal menunggu jamnya. Ia memintaku agar mampir ke rumah mengambilkan pakaian. Sebab itu, dari Stasiun Klaten aku perlu ngojek ke Pluneng terlebih dulu. Dan saat itulah hari kedua itu datang.

Pertama kali memasuki rumah setelah lima tahun cukup membuatku merasa asing. Ruangan yang dulunya toko kini diisi satu set kursi tamu. Gudang stok dagangan jadi tempat perkakas mobil Ayah. Tetapi bagaimanapun, ada beberapa hal yang mungkin berubah sedang yang lain tidak. Etalase-etalase yang berjejer, barang dagangan di dalamnya, dan pembeli yang bergantian datang ketika rolling door terbuka masih ada dalam kepalaku. Termasuk keberadaan buntelan kertas itu.

Agar tak lagi mengendap dan jadi lumut dalam kepala lebih lama, aku mencarinya. Aku ingat benda itu dulu disimpan dalam laci etalase. Etalase itu sekarang ada di gudang belakang. Ketika laci bawahnya kubuka, benda seperti yang diceritakan Ibu tergeletak di sana.

Aku mengambilnya dari dalam laci yang berdebu dan bersawang. Tetapi begitu berada di genggamanku, teraba kejanggalan. Buntelan kertas itu bersih, sama sekali tak berdebu atau lembab. Rasa-rasanya benda itu baru saja kembali ke tempat persembunyiannya setelah bertahun-tahun hilang karena suatu alasan yang belum terungkap.

Aku menelepon Ayah untuk mengabarkan apa yang aku dapat. Sekiranya kembalinya benda itu kabar baik buat mereka. Cuma untukku tidak. Belum selesai mendengar jawabannya telepon kumatikan. Rumah yang sepi seketika dibuat gaduh oleh ingatan akan minggu pagi, tutupnya toko, sakit, sosok Ibu dan Ayah. Semua itu layaknya tawon yang terbang di udara pengap ruang tamu. Siap mengeroyok kepalaku kapan saja. Dan kalau aku memejam, bukan denyut jantung yang terdengar, melainkan suara ngebas laki-laki dari seberang telepon.

“O iya itu… aku kembalikan ke tempat semula saat sakit Ibumu tambah parah,” jeda. Terdengar tarikan napas panjang.

“Ayah cuma berharap kalau buntelan itu dikembalikan, bisa membantu kesehatan ibum—.”

Tak lama terasa panas merambat dari dalam dada. Aku tak tahu bagaimana menyikapi perasaan itu ketika harus bertemu mereka di rumah sakit nanti, atau hari-hari setelahnya. Yang pasti semakin aku mencoba tenang, justru rasa panas itu semakin menyengat, membekaskan rasa sesak, perih, kemudian nyeri dalam hitungan menit.

(Yogyakarta-Klaten, Februari 2025)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Rega Ade Pratama
Rega Ade Pratama Kelahiran Klaten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email