your BRAT astrophysicist who is currently pursuing a master's at Università degli Studi di Padova, Italy.

Kalau Bicara Soal Idealisme, Kita Semua Marah!

Jessica Syafaq Muthmaina

3 min read

“Aku tidak mau menjadi diaspora yang menyebalkan dan enggak napak tanah” pikirku semenit setelah marah-marah menggerutu keluar gedung psikiater disapa daun yang jatuh berwarna merah. Aku seharusnya sudah lepas dari obat psikiater dua tahun yang lalu ketika masih di Indonesia. Psikiaterku di Italia mengatakan hal itu. Aku marah besar. Bagaimana bisa aku tetap memakan obat keras selama dua tahun padahal aku seharusnya sudah tidak memerlukannya?

Psikiaterku ini awalnya heran, kenapa bisa aku delapan tahun dalam pengobatan namun tetap relaps dan melakukan percobaan bunuh diri berulang. Yang membuat beliau semakin heran adalah aku pernah diberi terapi kejut listrik di kepalaku (electroconvulsive therapy) dua setengah tahun yang lalu dan kondisi mentalku secara eksponensial membaik[1]. Sialnya, keheranan beliau terjawab ketika aku menjelaskan sistem kesehatan di Indonesia—terutama dalam urusan kesehatan mental. Aku menjelaskan bahwa aku memakai asuransi kesehatan BPJS dimana tidak semua obat bisa aku dapatkan, aku menjelaskan pula seribet apa administrasi BPJS walaupun keadaan sedang genting. Aku menambahkan, “…bahkan aku pernah masuk IGD karena percobaan bunuh diri dan aku harus menunggu administrasi BPJS dulu baru diperiksa.” beliau cuman geleng-geleng saja mendengarnya.

Baca juga:

Psikiaterku ini kemudian menjelaskan sistem kesehatan dan asuransi di Italia. Beliau berkata bahwa dia mengerti sekarang mengapa aku tetap relaps. Beliau menjelaskan bahwa di Italia ada semacam kontrak antara pasien bersama psikiater agar tidak ada percobaan bunuh diri berulang. Sistem kesehatan di Italia pun mendukung kontrak itu dengan menyediakan hotline dengan nomor 118 untuk Soccorso Sanitario[2] dan IGD yang menerima pasien dengan (cuman) pikiran bunuh diri.

“Iya. Kamu bisa mendapatkan pertolongan professional bahkan sebelum kamu melakukan percobaan bunuh diri. Kupikir kamu terjebak dalam pikiran bahwa kamu bisa mendapatkan pertolongan setelah kamu melakukan percobaan bunuh diri, padahal itu sangat tidak benar. Namun, tidak apa apa. Di sini kamu bisa memutus pattern itu dan kamu bisa segera membaik juga lepas obat.”

Mendengar penjelasan itu aku merasa lega, tapi aku juga marah. Aku lega karena akhirnya aku mendapatkan pertolongan kesehatan yang ideal—yang akan membuatku segera lepas obat psikiater—tapi aku marah karena seharusnya aku sudah lepas obat dua tahun yang lalu jika di Indonesia aku mendapatkan pertolongan yang ideal itu. “Taik!” batinku mengumpat. Aku marah, menggerutu, dan mengutuk sistem kesehatan di Indonesia seharian. Namun, apakah memangnya tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain marah, menggerutu, dan mengutuk menghadapi sistem ini? Kupikir, jika aku seperti ini terus, aku malah yang menjadi diaspora menyebalkan yang membenci Indonesia itu. Aku tidak mau!

Aku membuat jadwal untuk bercerita dan berdiskusi dengan kawanku yang bekerja di salah satu IGD rumah sakit umum daerah di Indonesia. Aku pun bercerita mengenai kemarahan dan kekecewaanku dalam sesi psikoterapi daring bersama psikologku di Indonesia. Mereka memvalidasi perasaanku, tetapi tidak dengan kenyataan pahit tentang sistem kesehatan di Indonesia. Psikologku berkata bahwa kita bisa kok menekan tingkat percobaan bunuh diri di Indonesia walau sistem kesehatan di sini tidak ideal.

Baca juga:

Kalau kita berbicara soal idealisme, kita semua marah karena sistem pemerintah membuat kita tidak berdaya menggapainya. Namun, sebenarnya kita punya kekuatan jika kita menaruh sedikit kemarahan dan mengubahnya menjadi kepedulian. Kepedulian kolektif” begitu kata psikologku. Kita bisa meminimalisir percobaan bunuh diri dengan melakukan langkah-langkah yang menjadi panduan untuk diri sendiri dan orang sekitar dalam keadaan tidak stabil dan/atau darurat. Aku dan psikologku menamakannya, safety plan[3].

Dalam pengaplikasiannya, safety plan itu dilakukan sebelum percobaan bunuh diri tersebut terjadi. Ada 5 langkah yang harus kita lakukan secara bertahap, namun jika kita sampai ke langkah kelima dan masih belum mereda kita mengulangnya dari langkah kedua sambil menunggu pertolongan professional dari langkah keempat. Kelima langkah tersebut yaitu:

  1. Warning signs of suicidality: Ketika berada dalam kondisi yang stabil, tulis daftar tanda-tanda pikiran suicidal yang biasa menjadi trigger. Kemudian, ketika kita dalam keadaan tidak stabil dan/atau darurat kita bisa mencentang tanda-tanda tersebut. Tanda-tanda itu dibagi menjadi lima; situasi, pikiran, emosi, sensasi tubuh, dan dorongan/tingkah laku.
  2. Coping mechanism: Ketika berada dalam kondisi yang stabil, tulis daftar coping mechanism yang berisikan apa saja yang harus kita lakukan yang akan membuat pikiran suisidal itu bisa mereda. Kemudian ketika kita dalam keadaan tidak stabil dan/atau darurat kita bisa mencentang tanda-tanda tersebut.
  3. Support system: Ketika berada dalam kondisi yang stabil, tulis daftar support system berisi kontak dan nama orang-orang yang bisa menolong kita baik secara virtual yaitu telfon/pesan teks atau secara langsung menghampiri kita. Kemudian ketika kita dalam keadaan tidak stabil dan/atau darurat kita bisa mengontak orang-orang tersebut.
  4. Layanan kesehatan mental: Ketika berada dalam kondisi yang stabil, tulis daftar layanan kesehatan mental berisi kontak dan nama psikolog/psikiater/hotline yang bisa menolong kita secara professional. Kemudian ketika kita dalam keadaan tidak stabil dan/atau darurat kita bisa mengontak orang-orang tersebut.
  5. Means restriction: Ketika keempat langkah tersebut sudah dilakukan, sambil menunggu arahan professional dari layanan kesehatan mental kita bisa melakukan ketiga hal ini:
    – Hilangkan semua benda tajam ke luar ruangan atau minta orang lain/roommate sembunyikan
    – Hilangkan semua obat-obatan ke luar ruangan atau minta orang lain/roommate sembunyikan
    – Hilangkan semua zat kimia yang berbahaya ke luar ruangan atau minta orang lain/roommate sembunyikan

Idealisme dan Kemarahan

Aku marah karena seharusnya sudah tidak mengonsumsi obat psikiater dari dua tahun yang lalu. Temanku marah karena sebagai dokter General Practitioner di IGD dia dituntut seperti pahlawan dengan gaji seadanya. Kita semua marah dengan pemerintah di Indonesia yang bukannya fokus membenahi sistem tapi malah bagi-bagi makan gratis dengan hasil KLB keracunan.

Kita semua marah. Namun, aku percaya kita bisa duduk sebentar untuk menyadari bahwa bentuk kemarahan kita terhadap sistem ini adalah bentuk emosi kekecewaan. Kemudian, kita bisa mencoba paham bahwa kita semua bisa bersama-sama untuk tetap hidup dan saling peduli.

Aku harap kita semua bisa waras dengan sedikit marah dan lebih banyak peduli. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Catatan kaki:

[1] Maksudnya kondisi mentalku membaik dengan peningkatan yang semakin cepat. Jika kita memakai bahasa matematika, laju pertumbuhan kondisi mentalku berbanding lurus dengan lama waktu aku setelah terapi kejut listrik. Artinya, semakin lama aku setelah terapi kejut listrik, (seharusnya) semakin cepat kondisi mentalku membaik.

[2] Dalam bahasa Indonesia, “soccorso sanitario” diterjemahkan menjadi “bantuan medis”atau “layanan darurat medis”. Secara spesifik, istilah ini merujuk pada sistem layanan darurat yang terstruktur di Italia, yang dikenal sebagai Servizio sanitario di urgenza-emergenza medica (SSUEM). Layanan ini bertanggung jawab untuk memberikan perawatan pra-rumah sakit yang mendesak untuk penyakit atau trauma serius dan transportasi ke fasilitas kesehatan yang sesuai.

[3] Kamu bisa menyontek punyaku jika mau, kamu dapat mengaksesnya di sini: https://docs.google.com/document/d/1AKuJdzFVIi1gRv2Fq38hSuyMmRsc8UPrQw1JOU_BDqk/edit?usp=sharing

 

Jessica Syafaq Muthmaina
Jessica Syafaq Muthmaina your BRAT astrophysicist who is currently pursuing a master's at Università degli Studi di Padova, Italy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email