Menghadapi caci maki di media sosial sesungguhnya bukan hal baru bagi saya. Tahun lalu, di tengah protes pada Undang-Undang Cipta Kerja, saya dituduh provokator. Sebuah media siluman yang memang sudah dikenal sebagai media buzzer dan spesialis pembuat fitnah, menurunkan tulisan tentang saya dengan menyebut saya sebagai WNI Singapura sebagai provokator aksi demonstrasi media sosial. Tulisan itu difabrikasi dalam bentuk video, diedarkan dari satu Whatsapp grup ke grup lainnya, hingga menjangkau orang-orang yang bahkan tak paham konteks, alih-alih memahami bahwa apa yang mereka dengar dan tonton adalah kebohongan.
Hari-hari ini, media sosial saya kembali dipenuhi caci maki gara-gara video saya yang menjelaskan kenapa consent alias persetujuan korban tak seharusnya ditakuti oleh kita semua yang sejak kecil sudah memegang nilai agama. Video itu memang sengaja saya buat untuk meyakinkan mereka yang masih ragu atau curiga pada Permendikbud tentang Kekerasan Seksual. Yang dipermasalahkan dari Permendikbud adalah penggunaan konsep consent. Seolah-olah itu artinya mempromosikan seks bebas karena kalau setuju terhadap peraturan itu berarti seks bebas jadi dibolehkan.
Sudah banyak penjelasan dari sisi hukum yang mencoba mendudukkan perkara consent ini. Dari aktivis, guru besar hukum, politisi, sudah menjelaskan bahwa memang persetujuan korban adalah batasan dalam mendefinisikan kekerasan seksual. Perkara seks bebas itu urusan lain lagi yang tak ada urusannya dengan peraturan ini. Namun tampaknya penjelasan-penjelasan itu tak juga dilihat sebagian orang sebagai telah mendudukkan persoalan dengan tepat. Bagi mereka, Permendikbud tersebut tetap saja dianggap sebagai legalisasi zina.
Baca juga Demi Nama Baik Kampus, Permendikbud adalah Jawaban
Dalam video satu menit, saya mencoba memaparkan bagaimana anak Indonesia sejak kecil sudah belajar agama, di bangku sekolah hingga perguruan tinggi masih belajar agama, dalam keseharian terlibat dalam kegiatan dan organisasi keagamaan. Masyarakat Indonesia tak bisa dipisahkan dari agama dan nilai agama. Tapi kenapa justru kita masih terus dihantui ketakutan, bahwa anak-anak kita tak mampu mengambil keputusan sendiri untuk menolak seks bebas. Begitu rapuhkah nilai agama yang telah kita tanamkan?
Bukannya ditanggapi dengan diskusi yang sehat, yang ada adalah caci maki, sumpah serapah, kata-kata kotor, ancaman.
Diksi dan Fantasi
Meskipun sama-sama perundungan, ada perbedaan mendasar antara perundungan yang saya alami ketika protes UU Cipta Kerja dengan perundungan ketika mendukung Permendikbud. Perundungan UU Cipta Kerja, lebih menekankan narasi bahwa saya provokator, SJW, antek Singapura – hanya karena saya sedang tinggal di Singapura. Sementara dalam perundungan terkait Permendikbud, segala caci maki ditarik jauh ke hal-hal personal dan kehidupan seksual.
Ada diksi-diksi khas yang digunakan berulang-ulang oleh para perundung yang menentang Permendikbud. Diksi-diksi itu adalah zina, azab, lonte, pelacur. Kalimat makian seperti “Dasar lonte!” atau “Pelacur kamu!” terus diulang oleh banyak orang, laki-laki dan perempuan, tua maupun muda, bersisian dengan kalimat yang menggunakan kata zina dan azab.
Selain diksi, bisa diamati bagaimana perundungan terkait Permendikbud ini selalu dalam bentuk menakuti-nakuti bahkan ancaman yang terkait dengan aktivitas seksual. Ancaman pemerkosaan pada saya, anak saya, bahkan ibu saya, lengkap dengan kata-kata yang menyebut alat kelamin perempuan atau laki-laki. Tak berhenti dalam ancaman, para perundung ini juga selalu menggunakan fantasi seksual yang serupa dengan cerita porno. Mereka menggambarkan bagaimana jika bapak dan ibumu zina, bagaimana jika anakmu dan pacarnya berhubungan seksual di depan kamu dengan persetujuan, bagaimana jika mahasiswa berhubungan seksual di gedung rektorat, bagaimana jika suamimu seks bebas, bahkan hingga mertua pun masuk dalam imajinasi porno mereka.
Sungguh mengherankan kenapa diksi dan fantasi seperti itu justru membabi buta digunakan oleh mereka yang menolak Permendikbud karena dianggap akan mendorong seks bebas. Kenapa seseorang yang – konon – mendasarkan perlaku dan segala aspek kehidupan pada agama, justru seperti terobsesi, terkungkung, terkurung pada fantasi seksual yang tidak pada tempatnya?
Situasi ini mengingatkan saya pada satu wadah penulisan yang lahir dari satu organisasi keagamaan. Konten-konten tulisan dalam platform online tersebut, didominasi oleh cerita-cerita domestik dengan penggambaran hubungan seksual yang vulgar antara suami-istri, kadang istrinya tidak hanya satu.
Sebagai seorang pengarang, saya paham betapa seksualitas tak bisa dipisahkan dari kehidupan, dan oleh karena itu, menghadirkan aktivitas seksual dalam cerita adalah bagian dari kebutuhan. Namun, patut dicermati kenapa fantasi seksual yang tidak pada tempatnya, justru terus-menerus digunakan oleh mereka yang selalu dihantui ketakutan pada seks bebas dan selalu menuntut adanya aturan negara yang melarang zina.
Tentu banyak pendekatan yang bisa menjelaskan fenomena ini. Salah satunya bisa dari penjelasan Michel Foucault dalam The History of Sexuality (1976). Foucault memaparkan bagaimana sepanjang sejarah, keinginan untuk menutupi dan melarang satu hal tertentu justru semakin mendorong adanya diskursus bahkan pengetahuan tentang itu. Dalam konteks kehidupan umat beragama, mungkin bisa dimodifikasi menjadi seperti ini: Semakin kita berupaya menyembunyikan dan menyensor kehidupan seksual, semakin kita penasaran, terobsesi, dan berfantasi berlebihan.
Beringas dan Barbar
Kebarbaran perundungan di media sosial, juga tak bisa dilepaskan dari mentalitas kerumunan. Jose Ortega Gasset telah menjelaskan dalam Revolt of The Masses (1930) bagaimana manusia-manusia dalam kerumunan sering kali bergerak tanpa nilai. Hanya berdasarkan ikut-ikutan, keinginan untuk eksis, karena dengan demikian mereka jadi merasa punya arti. Manusia-manusia kerumunan ini akan tak berdaya jika sedang sendirian.
Manusia kerumunan ini tidak pandang kelas sosial. Ia bisa berasal dari kelompok miskin, ia juga bisa berasal dari kelompok kaya. Ia bisa bagian dari orang yang tak pernah sekolah, bisa juga orang yang bahkan bergelar profesor. Kualitas individu yang menentukan apakah ia akan gampang menjadi bagian dari kerumunan atau bisa menjadi seorang intelektual.
Media sosial memungkinkan – bahkan mempermudah – siapa pun untuk menjadi bagian dari kerumunan. Apalagi ketika pengguna media sosial ini memilih untuk anonim, mereka semakin merasa berhak dan berani untuk melakukan segala hal. Lebih-lebih lagi ketika gaungnya adalah atas nama agama. Pembelaan demi agama. Kekerasan kata-kata pun bisa dengan mudah berlanjut pada kekerasan fisik di dunia nyata.
Pertanyaannya kini, nilai agama seperti apa yang membuat seseorang merasa berhak untuk mengancam memperkosa, untuk terus mengumbar kebarbaran dan keberingasan?
” … consent alias persetujuan korban tak seharusnya ditakuti oleh kita semua yang sejak kecil sudah memegang nilai agama.”
Dalam kenyataannya banyak anak-anak usia SMP mengaku pernah berhubungan suami-istri dg pacarnya.
Masalah seksualitas telah menjadi ujian dan tantangan yang selalu ada disetiap jaman