Pengamat twitter, bisa ditemui di Jakarta dan sekitarnya seperti azan magrib.

Kereta Surga

Inas Pramoda

10 min read

Amir bukan pemuda saleh seperti yang dituturkan buku-buku agama. Ia sembahyang lima waktu, tetapi dalam taraf seadanya. Terkadang, Magrib ia mengencangkan sarung dan pergi ke surau dua gang dari rumahnya. Jika sedang rajin-rajinnya, ia bisa merangkap sampai salat Isya berjamaah di sana. Namun seringnya, salat di rumah, di atas sajadah yang ia rentangkan tepat di samping kasurnya.

Azan Subuh tak membangunkannya untuk segera bergegas ke surau. Ia lama meregangkan tubuh, mengusap-usap mata yang masih berat, sesekali menguap, menilik jam berapa ia tergugah, diam beberapa lama di kasurnya (terkadang bahkan sampai tertidur lagi), baru setelah itu ia menunaikan ibadah wajibnya. Dengan demikian, catatan ibadahnya secara garis besar masih dalam tahap dasar, standar. Untuk membawanya ke surga, mungkin akan memakan waktu lama.

Pernah waktu kecil dulu, Pak Modin bercerita di surau (surau yang sama dengan yang ia datangi sampai saat ini, karena rumahnya dari dulu tak pernah pindah. Hanya saja Pak Modin yang pernah jadi guru ngajinya itu, kini sudah mati), bahwa di akhirat nanti akan ada jembatan yang menghubungkan para manusia ke surga. Jembatan itu, konon, bak rambut dibelah tujuh lapis. Amboi!

Waktu Amir diceritakan begitu, sampai rumah ia mencabut sehelai rambutnya, dibawanya ke dapur, lalu ia asah sebilah pisau sampai tajamnya tak perlu dinyana lagi. Ia ingin tahu seberapa tipis rambut yang dibelah tujuh itu, tetapi sia-sia. Ia menyerah, dan hanya sampai pada satu kesimpulan: pokoknya itu tipis sekali.

Masih lanjut cerita Pak Modin tadi. Jembatan itu bukan hanya tipis, pun tajam tak tertolong. Lebih tajam dari belati manapun, bahkan, lebih tajam dari omongan ibu-ibu kampung saat anak tetangga di gang tiga bunting di luar nikah. Waktu itu geger sekali, si wanita—yang tak elok jika disebut namanya itu—sampai akan menggugurkan kandungannya. Namun, berkat nasihat adiluhung dari Pak Modin, ia urungkan niat tersebut. Anaknya sekarang sudah berumur satu tahun tiga bulan, laki-laki, tampan, seperti… ah, siapa pula bapaknya? Si wanita membesarkan anak itu sendiri, orangtua tunggal, kasihan.

Kembali lagi ke cerita Pak Modin. Kelak di akhirat, orang-orang harus melewati jembatan itu untuk ke surga. Lucu sekali jika ada yang bisa selamat lewat jembatan kutu tersebut. Lagian, barang begitu mana bisa disebut jembatan?

Namun, penjelasan Pak Modin belum selesai. Katanya lagi, jembatan yang bak rambut dibelah tujuh itu, yang tajamnya amit-amit jabang bayi, hanya untuk para ahli maksiat. Makin sering melacur, makin tipis pula. Makin sering makan duit haram, makin tajam pula. Yang jadi batu asahnya ya kaki-kaki para pendosa itu. Bukan main derita orang-orang jahat di akhirat esok. Tepat di bawah jembatan, ada neraka menganga. Walhasil, kalau jatuh ya sudah, mampus.

“Kalau anak saleh, jembatannya gimana, Taz?” celetuk Amir dulu.

“Kalau yang sering ngaji di surau begini, jembatannya lebar, tak perlu takut jatuh.”

Namun, masih dijelaskan lagi oleh Pak Modin, jembatan itu sesuai amal ibadah masing-masing. Bisa jadi lebar, namun panjang. Atau sempit, namun pendek, jadi cepat sampai surga. Itu cerita waktu Amir kelas lima SD. Pak Modin mati saat Amir masuk SMA, komplikasi, biasa penyakit orang tua. Namun cerita yang dulu Amir dengar masih terngiang sampai sekarang. Termasuk tentang jembatan ke surga. Bagi Amir, jembatan untuknya nanti mungkin hanya selebar sekilan, dan jaraknya antara Jakarta-Banyuwangi. Mampus juga kalau ditempuh jalan kaki.

***

Amir sekarang baru lulus kuliah. Di belakang namanya ketambahan gelar Sarjana Pendidikan. Ia harus telat setahun menyelesaikan pendidikannya itu, karena sibuk kerja serabutan. Adiknya yang masih SMP butuh uang untuk bayar bulanan. Sementara ayah Amir sudah menyusul Pak Modin duluan.

Ibunya berjualan gorengan keliling jalanan, hasilnya hanya cukup untuk mengisi perut tiap harinya, itu juga pas-pasan. Terpaksa Amir yang jadi tulang punggung keluarga. Untung ia dapat beasiswa saat kuliah, jadi tak usah repot-repot bayar lagi. Saat dinyatakan lolos beasiswa dulu, sekalinya itu Amir bersyukur jadi miskin.

Saudara sudah mafhum, Amir bukan pemuda saleh yang sering ikut kajian di masjid. Jangankan kajian, salat saja, seperti yang sudah diterangkan, lebih nyaman di kamar sendiri. Jadi kalau Amir mati nanti, ia dapat dipastikan bukan golongan yang mayatnya bau minyak kasturi meski sudah bertahun-tahun di liang lahat. Juga bukan yang mayatnya utuh sempurna seperti baru dikubur. Dagingnya akan lebur seperti orang kebanyakan, dimakan ulat, dicerna tanah, jadi kompos. Amir lalu tinggal tulang-belulang.

Ia tentu mengaji. Kalau boleh dibilang, malah lebih fasih dari teman-temannya yang bergabung di himpunan mahasiswa yang bergerak di bidang kerohanian. Itu berkat asuhan Pak Modin dulu. Ia mengaji meski tak sampai berlembar-lembar tiap harinya, mungkin paling banyak dua lembar. Seringnya satu muka rampung, ia tutup. Durasi mengajinya yang barang sebentar itulah, salah satu yang menyebabkan ia tak masuk kategori pemuda saleh.

Lalu juga, di surau yang dua gang dari rumahnya itu, nama Amir tak terdaftar dalam anggota remaja masjid. Memang ada seorang Amir yang tercantum di sana, tetapi itu bukan Amir yang ini. Dia Amir Syarifuddin, anak juragan mebel di perempatan dekat warung Bu Romlah. Amir yang itu memang sudah terkenal saleh, ahli ibadah. Tiap hari disempatkannya pergi ke surau. Saat masih mengaji di TPQ dulu, ia pernah menyabet penghargaan santri teladan.

Sementara Amir yang ini, Amir Abdullah, anak Bu Astuti, hanya warga kampung biasa. Kalau nanti ia mati, namanya mungkin diumumkan di surau. Namun yang melayat hanya segelintir. Yang berduka mungkin hanya ibu dan adiknya. Mereka berdua akan menangisi kepergiannya, dan juga kepergian pasokan keuangan selama bertahun-tahun ini. Begitulah Amir Abdullah akan dikenang.

Maka sebisa mungkin Amir ingin hidup lama, bahagia, lebih-lebih berguna. Masih ingat betul ia dengan nasihat Pak Modin. “Jadi orang jangan mikirin hidupmu sendiri.” Kata-kata itu ia telan bulat-bulat, dicerna ke dalam daging dan tulangnya. Jadi, walau Amir bukan golongan pemuda saleh di mata masyarakat, ia tetap teguh untuk jadi orang baik. Walaupun ia tak tahu kehidupan apa yang menantinya setelah mati, ia terlanjur percaya bahwa hidup baik tak perlu janji masuk surga.

Hidup baik bagi Amir adalah tidak mengganggu orang lain, syukur-syukur bisa membantu. Maka ia tak pernah buang sampah di jalanan, atau menaruh permen karet di bawah meja (karena selain tidak baik, itu juga menjijikan). Juga tak pernah ia menyerobot antrean, tak pernah pula kencing di sembarang tempat, apalagi berak. Ia selalu membayar ibu kantin sesuai porsi yang ia makan, tidak seperti temannya yang kadang mengambil dua telur ceplok tapi mengaku satu. Ia membeli tempe di pasar tanpa menawar, karena menurutnya sudah murah, padahal ia miskin.

Yah, mungkin yang datang melayat nanti tidak sesedikit yang dikira. Karena pergaulannya yang baik, Amir mungkin akan dapat lebih banyak pengunjung saat mati. Pun begitu, faedahnya apa pula dilayat orang banyak atau tidak? Toh ia sudah kaku, sudah jadi mayat.

Salah satu bentuk amal baik bagi Amir adalah, tidak menempati tempat duduk yang diprioritaskan untuk orang tua, ibu hamil, ibu bersama anaknya, atau orang-orang yang berjalan dengan tongkat, dan difabel lainnya. Maka ia selalu memberikan tempat duduknya—walaupun ia lebih dulu menempatinya, dan baru sebentar—kepada orang-orang itu. Terang saja, ia lebih sering berdiri dari pada menekuk kaki.

Begitulah Amir Abdullah, yang bukan pemuda saleh, menjalani kehidupannya yang biasa.

***

Naas, sore hari ini bendera kuning dikibarkan di sepanjang Jl. Kembang. Itu jalan rumah Amir berada. Bakda Magrib, pengeras suara di surau mengumumkan pemakaman Saudara Amir di pemakaman umum Desa Sukamiskin, yang akan dilaksanakan selepas isya. Yang mati hari ini Amir Abdullah, ya, Amir yang bukan pemuda saleh itu. Sementara Amir Syarifuddin sedang berada di luar kota.

Ceritanya siang tadi, seperti siang yang lalu-lalu, Amir pulang dari mengajar Bahasa Indonesia di Madrasah Aliyah Maarif. Sudah dua bulan ia diterima di sana, sebab peroleh kabar lowongan kerja dari temannya semasa SMA dulu. Tempatnya lumayan jauh dari rumah, hampir sejam setengah perjalanan naik angkutan umum, itu pun harus pindah jurusan sekali. Ia turun di bawah jembatan layang, lalu dari sana harus memakai jasa tukang ojek untuk sampai ke rumah.

Amir, meskipun tak masuk hitungan pemuda saleh, sejatinya hafal banyak doa-doa harian. Termasuk doa naik kendaraan yang tak pernah luput ia panjatkan. Itu salah satu wujud kepasrahannya pada Tuhan agar diberi umur panjang. Namun, lagi-lagi seperti Pak Modin pernah bilang, bahwa ada dua rahasia terbesar kehidupan: rezeki dan maut. Ini masih jadi misteri manusia. Kalau ada orang yang berani menebak, itu namanya dukun, kata Pak Modin.

“Rezeki kita yang jemput. Tapi maut, dia yang jemput. Kita cuma nunggu.”

Kata-kata Pak Modin berdengung di kepala Amir, sesaat setelah motor yang dikebut Cak Mamat (supir ojek langganannya) terpelanting sejauh beberapa meter akibat ditubruk motor lain di persimpangan jalan. Amir jatuh dari motor, terseret ke pinggir, lalu kepalanya membentur keras trotoar, dan tamat. Ia sebenarnya memakai helm, mencegah luka lebih serius di kepala, namun tulang lehernya patah seketika saat ia membentur trotoar, sungguh Amir yang malang.

Bu Astuti menenangkan Zaid, adik Amir yang masih SMP itu, agar tak terus membasahi kerah bajunya dengan air mata dan ingus.

“Wes, sabar Nak. Masmu itu orang baik, dia sudah tenang di sana. Wes jangan nangis, didoakan saja.”

***

Gelap. Gelap yang pekat. Tak ada barang setitik cahaya menilik. Melek atau merem sama saja, sama-sama gelap. Bahkan kalau melek, lebih nyata gelapnya. Amir mengerling, kanan-kiri rasanya sudah ambyar. Lalu waktu, ah… sudah berapa lama ini? Amir tak mampu menghitung, atau lupa, atau tak mau tahu. Namun ia sepenuhnya sadar, jasadnya sudah mati, hanya tinggal cangkang tanpa isi.

Entah bagaimana rumus waktu di kehidupan setelah mati. Apakah tetap 24 jam sehari. Tujuh hari seminggu, dari Ahad sampai Sabtu, atau itu semua hanya ilusi belaka. Dan waktu, terserah ia merupa apa dan berapa lama. Namun Amir masih bertanya-tanya, sudahkah ia disiksa? Sebegitu yakinnya ia harus disiksa, sungguh mayat yang jemawa.

Ia tiba-tiba terbangun, dari gelap ke pengelihatan sempurna berwarna. Orang-orang berdesak-desakan, di mana lagi ini? Batinnya. Ia disenggol dari kiri-kanan, mereka tampak terburu-buru. Sementara panggilan terus dikumandangkan di seantero tempat itu—yang ia masih bertanya-tanya di mana.

Tak perlu waktu lama untuk Amir sadar: ini stasiun. Suara yang sejak tadi meraung-raung di pengeras itu, tak lain panggilan keberangkatan. Hanya ada satu jalur, dengan gerbong kereta yang entah berapa banyak, luar biasa panjangnya. Ia menengok dari depan ke belakang, tak tampak ujungnya. Ia merasa harus mencari tahu apa yang terjadi, dan apa yang harus dilakukan. Segera ia mencari petugas yang berjaga di sepanjang peron.

“Maaf Pak, kereta ini menuju ke mana?”

“Ke surga.”

“Maaf?”

“Surga, taman yang didambakan.”

“Jadi? Saya hanya harus naik, begitu?” enak sekali pikirnya. Padahal di dunia tak sampai tahap saleh ia.

“Bapak belum baca peraturan? Bapak bisa sampai surga selama mendapat tempat duduk. Harus duduk.”

“Kalau tidak?”

“Kalau tidak kebagian tempat duduk, sayang sekali, Bapak nanti harus turun di pemberhentian berikutnya.”

“Jadi, nanti saya tinggal nunggu kereta lagi, begitu?”

“Maaf Pak, pemberhentian berikutnya bukan stasiun. Itu neraka. Tiap pemberhentian, neraka.”

“Hah? Kalau gitu saya harus cepat-cepat.” Amir melongo mendengar jawaban barusan. Digerakkan langkah kakinya cepat masuk ke gerbong.

Pengumuman kereta api yang akan segera berangkat bergema di seluruh stasiun. Orang-orang semakin bergegas, makin terburu-buru. Lalu kereta pun meluncur.

***

Bagian dalam kereta itu tak jauh berbeda dari kereta yang dulu ia tumpangi di dunia. Lebarnya ya segitu, sederet hanya cukup diisi enam bangku yang dibagi dua, dibelah dengan jalan yang bisa dilalui dua orang bersamaan. Hanya saja, jendela dalam kereta itu tak berarti apa-apa. Pemandangan yang ada di seberang, tak lain hanya kenangan.

Amir tahu karena melihat ibu dan adiknya melambai di balik jendela. Ibunya tampak lengkap dengan sekeranjang gorengan yang biasa ia jajakan keliling kampung. Sementara Zaid, masih memakai seragam sekolah. Tiap ia melongok keluar jendela, yang didapati selalu potret itu. Ia menyimpulkan, pemandangan di luar sana pastilah berbeda-beda tiap orang.

Bergerbong-gerbong sudah ia lewati, namun semua penuh, sesak. Yang berdiri pun masih banyak. Ia terus merangsek ke gerbong sebelah, lalu sebelahnya lagi, terus mencari bangku kosong yang melambai-lambai. Namun nihil. Tiba-tiba ia teringat cerita Pak Modin tentang jembatan ke surga. Betapa bayangannya selama ini tentang jembatan itu tak berbekas sama sekali. Kereta ini bahkan lebih lucu dari konsep jembatan ke surga.

Orang-orang yang berdiri semakin berkurang, mereka menemukan tempat duduknya masing-masing. Namun belum untuk Amir, ia masih harus terus mencari. Pengumuman dari pengeras suara mengabarkan kereta akan sampai pemberhentian kurang dari setengah jam lagi. Amir berpacu dengan waktu.

Betapa bahagianya ia melihat bangku kosong tepat di dekat perbatasan gerbong. Mukanya mendadak sumringah, seperti baru mendapat beasiswa kuliah. Segera ia menempati tempat duduk itu, tepat lima menit sebelum kereta berhenti. Keringatnya membasahi leher, ia lelah, namun bahagia sekaligus.

“Itu tadi hampir saja,” ujar seorang pria paruh baya yang duduk di sampingnya.

“Iya, saya kira tadi bakal mati. Haha.” Amir tertawa. Bapak itu juga tertawa.

“Lagian kita kan memang sudah mati,” balasnya.

“Sampai lupa. Haha.” Amir kembali tertawa. “Bapak meninggal kenapa?”

“Kerja lembur.”

“Oh.” Amir mengamati pria itu yang masih mengenakan jas putih, lengkap dengan stetoskop menggantung di lehernya. “Jadi, Bapak ini dokter?”

“Ya, begitulah. Sibuk diagnosa pasien, lupa tubuh sendiri. Begini akhirnya.”

Benar kata Pak Modin, maut memang misteri. Amir tiba-tiba jadi ingin bertemu guru ngajinya itu, mungkin ia juga sedang duduk entah di gerbong berapa. Tak lama kemudian, ia terlelap. Ternyata setelah mati masih bisa juga mengantuk, pikirnya.

Amir tergugah mendengar suara ribut di ujung gerbong yang lain, gaduh. Ia memiringkan tubuhnya sedikit, mencari tahu asal keributan. Tampak seorang botak dengan kuping ditindik dan kumis yang berlapis-lapis sedang mengacungkan pisau. Tubuhnya pendek tetapi kekar, kaus pendek yang ia kenakan sampai tampak kekecilan. Di bawah lengan kausnya mengintip tato ekor naga. Yah, entah itu ekor naga atau cicak.

Seorang pria lain dipaksa berdiri dari bangkunya. Sepertinya si botak berusaha dapat kursi dengan cara beringas. Pria berkacamata itu tampak ketakutan, gemetar. Amir sebetulnya bingung, mengapa harus takut mati jika sudah mati? Namun ia kesampingkan pertanyaan itu, dan buru-buru berdiri menyongsong pertikaian yang terjadi. Itu jiwa kemanusiaannya, meski ia sudah mati.

Namun terlambat, kereta keburu berhenti sebelum Amir sempat meninju kepala si botak. Petugas kereta langsung hilir mudik mencari penumpang yang tak kebagian tempat. Tangan Amir ditarik untuk duduk kembali oleh Pak Dokter. Si botak dengan brengseknya sudah duduk, sementara pria berkacamata tadi diringkus keluar. Ia meronta-ronta mohon ampun, tak digubris. Pintu tertutup, kereta kembali melaju.

Heran Amir, bahkan setelah mati, masih ada juga orang bajingan.

“Sudah, ini bukan di dunia. Jangan repot-repot ngurusi orang lain. Atau kamu yang celaka.” Pak Dokter menepuk-nepuk paha Amir.

“Jadi baik itu prinsip, Dok. Bahkan di tempat antah berantah ini.”

“Peraturannya itu, kita harus dapat tempat duduk.”

“Juga tidak ada larangan buat ngurusin orang lain kan, Dok?”

Pak Dokter bungkam. Wush, kereta rasanya melaju makin cepat.

Lagi-lagi, kereta akan segera menurunkan penumpang. Terlihat dua-tiga orang lalu-lalang di gerbong, mencari tempat. Mereka yang sudah duduk anteng berusaha tetap duduk, yang kebelet pipis terpaksa ditahan sehabis-habisnya. Orang-orang lebih memilih ngompol dari pada harus kehilangan tempat, yang artinya, neraka menanti. Jelas saja agak bau pesing di beberapa kursi. Pun begitu, masih ada saja yang meninggalkan bangku, lalu pergi ke kakus untuk menuntaskan hajat. Mereka ini orang-orang dengan harga diri tinggi, yang merelakan tempatnya agar tak pipis di celana.

Kereta semakin dekat untuk berhenti. Suara di pengeras mewanti-wanti penumpang agar duduk. Pak Dokter menyilangkan kaki, tangannya dilipat ke depan. Sesekali ia menatap ke jendela. Saat pandangannya jatuh ke sana, ada bayang pasien-pasiennya yang sekarat. Itu kenangan yang tak pernah bisa ia lupakan. Amir menopang dagunya dengan sebelah tangan. Ia menyelami ketenangan dalam dirinya, pasrah sepenuh hati kepada Tuhan. Bahwa ia bisa duduk kali ini, ia syukuri. Takut memang masih menggelitik di urat nadinya, namun tak akan sampai ia berbuat kurang ajar. Mengakui ketakutannya itu yang membuat ia berani.

Terasa kereta semakin melamban, walau perlahan-lahan. Mereka yang belum kebagian tempat makin panik, kocar-kacir. Lalu masuk seorang ibu hamil, peluh membasahi tiap jengkal tubuhnya. Matanya sayu. Napasnya berat. Langkahnya landai. Orang-orang tak acuh, beberapa pura-pura tidur. Yang lain melarutkan diri dalam obrolan, yang juga hanya pura-pura.

Di sana ada penjaga langgar yang tiap hari membangunkan subuh, bungkam. Ada pemilik panti asuhan dengan anak asuh puluhan, hening. Ada pengasuh pondok pesantren besar di Jawa Barat, sepi. Ada kepala sekolah, diam. Ada polisi lalu lintas, senyap. Ada si botak bajingan tengik, apalagi dia, petentengan di singasananya. Gerbong lengang. Ada Pak Dokter, menggenggam erat lengan baju Amir sampai berkerut. Genggaman itu, dan isyarat mata Pak Dokter, sempurna merangkai kalimat, “jangan pergi!”

Apalah semua itu. Amir bukan pemuda saleh, ia tak berharap juga sampai ke surga dengan ibadahnya di dunia, yang mungkin saja hanya pura-pura. Ditepisnya tangan Pak Dokter, diputuskannya titik temu pandangan mata mereka. Lalu ia berdiri, melambai ke arah ibu hamil tadi. Dengan jelas Amir menunjuk bangkunya yang kini kosong. Pak Dokter menepuk jidat. Ibu hamil tersenyum, berjalan mendekat ke Amir.

Dari dekat, wajah wanita itu tampak masih muda, dengan garis-garis wajah yang menasbihkan keteguhannya. Ia menggenggam tangan Amir kencang, berulang kali menyampaikan terima kasih, yang hanya dibalas senyuman. Tepat beberapa saat setelah ia duduk, kereta sempurna berhenti. Amir—tanpa menunggu dijemput petugas—segera menuju pintu keluar. Seisi gerbong menonton ia pergi, menatap punggung pemuda yang kurus itu, namun tampak sangat lebar. Itu adalah punggung pemuda yang menuju neraka.

***

Kereta surga pergi tepat di belakang punggung Amir. Meskipun panjangnya luar biasa, entah mengapa hanya butuh sekilas lalu menghilang. Amir dijemput dua penjaga. Ia melirik kiri-kanan, depan-belakang, ke seluruh penjuru.

“Ini… neraka?”

“Mari ikut dulu ke gerbang, Pak,” jawab salah satu penjaga.

Masih heran Amir, jika neraka seadem ini, dari tadi seharusnya ia keluar. Sesampainya di gerbang, ia disambut seorang penjaga lain, tampan luar biasa.

“Maaf, ini… neraka, kan?”

“Kalau Bapak mau ke neraka, seharusnya Bapak terus naik kereta,” jawab penjaga tampan itu.

“Loh, kereta itu bukan ke surga?” Amir makin bingung.

“Itu kereta jurusan neraka, Pak.”

“Terus ini di mana?”

“Selamat datang di surga.” Ketiga penjaga menjawab serempak, sembari tersenyum.

“Sebentar… jadi, ehem… gimana ya saya mau ngomong.”

“Jangan ragu-ragu Pak, bicara saja.”

“Tadi saya diberitahu, kalau kereta itu menuju surga. Lalu, barangsiapa yang tidak kebagian tempat duduk, akan dikeluarkan… ke neraka.”

“Memang itu kereta surga. Buktinya Bapak diantar ke sini. Keterangan lainnya, anggap saja ujian.”

“Haduh, saya tambah pusing.”

“Tidak usah dipikir, Pak.”

“Bukannya ujian hanya ada di dunia?”

“Memang ujian yang hakiki di dunia. Sekarang orang-orang diminta jawabannya. Bapak sudah menjawab dengan baik, berarti lulus ujian. Bersyukurlah Pak, artinya ibadah Bapak diterima. Sementara mereka yang belum berdiri di gerbang ini, itu tanda ada yang kurang dengan kepasrahan mereka. Mereka hanya orang-orang egois, yang berharap surga untuk dirinya sendiri,” lanjutnya.

Amir tak mampu berkata-kata. Dalam diamnya ia sepenuhnya bersyukur. Selama ini ia juga hanya bisa bersyukur. Ia sekaligus paham, semua ini, hanya berkat rahmat Tuhan Yang Mahakuasa.

“Ini sebagai cendera mata, Pak.” Penjaga mengulurkan sehelai sajadah yang biasa digelar Amir di samping kasurnya.

Pintu gerbang dibukakan, semua cahaya yang ada di dunia seakan jadi satu, namun tak menyilaukan. Terdengar suara-suara menyambut kedatangannya.

“Selamat datang di surga, wahai hamba-hamba yang baik.”

Inas Pramoda
Inas Pramoda Pengamat twitter, bisa ditemui di Jakarta dan sekitarnya seperti azan magrib.

2 Replies to “Kereta Surga”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email