Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Labirin Perpustakaan

Rafael Yanuar

3 min read

Boleh saja jika kau mau menyebutnya “perpustakaan”, sebab ada ruang baca seluas jagat raya di dalamnya, dengan bangku yang tak terhitung jumlahnya, tapi barangkali tak terhingga, siapa yang tahu? Jika ada buku yang kauminati, boleh kaubeli dengan harga berapa pun, sesuaikan saja dengan bajet dan kemampuanmu. Segala jenis buku tersedia. Ditulis dengan semua kata yang ada, pernah ada, akan ada, dan mustahil ada. Segala rahasia alam semesta dapat kautemukan di sana.

Atau kau boleh menyebutnya “labirin”.

Atau “dunia”.

Sama saja.

Perpustakaan itu terletak di Perumahan Cempaka Raya, kluster Anggrek, nomor 88, kota Ciasin, tepatnya di sebuah rumah dengan arsitektur biasa saja yang luasnya 145 meter persegi. Gerbang depannya terhubung dengan parkiran mobil dan ruang jemur pakaian.

Di halaman, ada taman dengan tiga pohon ketapang dan tiga batu duduk. Tidak ada lampu taman.

Di dalam rumah, ada lemari buku besar yang menghadap selatan dan televisi kecil yang terlihat agak wajib ada sekalipun tidak terlalu dibutuhkan.

Pemiliknya sepasang suami istri yang meski sudah sepuluh tahun menikah, tidak dikaruniai seorang pun anak.

Sang istri, Amanda, adalah ibu rumah tangga yang cekatan dan serbabisa. Dia juga dianugerahi paras yang rupawan. Sang suami, Adisuprapto, adalah pria tidak berguna yang menghabiskan masa mudanya dengan sia-sia, tidak kuliah—sebuah keputusan yang selamanya akan dia sesali, dan tanpa kepandaian khusus, punya banyak hobi, tapi tidak ada satu pun yang dikuasainya. Pada umur 23, Adisuprapto membaca semua buku Paulo Coelho, mengganderunginya, dan menemukan nama Jorge Luis Borges di dalamnya. Karena penasaran, Adi mencari buku Borges di Gramedia, tapi nihil belaka. Dia justru berhasil menemukannya di lapak buku bekas, di suatu sudut berdebu dan memprihatinkan. Bukunya kecil saja, judulnya Labirin Impian, dibanderol dengan harga tiga ribu rupiah, sama dengan komik Doraemon tua bersampul biru yang sudah koyak sampulnya dan tujuh jilid Musashi. Pada pembacaan pertama, Adisuprapto yang berharap menemukan kisah-kisah penuh inspirasi seperti buku-buku Coelho, sama sekali tidak mengerti isi buku Labirin Impian. Dia bahkan tidak tahu apakah ini cerpen, esai, atau nonsens belaka? Barulah pada pembacaan ketiga, dia mulai mampu membacanya.

Lima tahun kemudian, ponsel BlackBerry merajalela, dan harga kuota tidak lagi seratusribu per GB (sebagai perbandingan, ketika itu tahun 2012, harga emas masih 400ribu). Dengan BB-nya Adisucipto mulai mencari tahu siapa Borges. Dia lalu meniru prinsip Borges untuk hanya membaca karya dari penulis-penulis yang sudah meninggal. Dia memulainya dengan mencaritahu buku-buku apa saja yang dibaca penulis itu, lalu menemukan 74 judul buku. Adi memutuskan mengoleksinya.

Membaca buku-buku klasik nyaris seperti meditasi, atau berjalan di labirin. Barangkali sama saja. Jika kau memikirkan sesuatu yang lain, kau akan tersesat, lalu tidak lagi mengerti apa yang kaubaca.

Pada suatu pagi yang nahas, Adisuprapto yang hendak menyeberangi jalan ke toko, tertabrak mobil muatan, lalu dilarikan ke rumah sakit. Kedua kakinya harus diamputasi. Tapi, dalam kelumpuhannya itu, dia merdeka. Dia menyerahkan toko kelontong yang dirintisnya sepuluh tahun lalu, kepada istrinya dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Amanda ternyata jauh lebih lihai mengelola bisnis. Adisuprapto pun lega dilepaskan dari tanggung jawab. Dia tidak perlu memikirkan tumpukan nota dan utang-piutang, atau gaji karyawan, atau pekerja yang korupsi, atau ramai-sepi pembeli, atau ketidakpastian rezeki. Amanda menghadapi semua masalah dengan kepala dingin. Dia membereskan utang-piutang toko, memecat karyawan yang tidak bekerja efisien, dan memperkarakan karyawan yang ketahuan korupsi. Diam-diam, Amanda memasang CCTV di seantero sudut toko, termasuk yang mampu merekam suara, sehingga membuat para karyawan yang biasa mencuri kebakaran jenggot.

Berhubung di rumah ada supir dan pembantu, tugas Adisuprapto hanya membaca dan membaca. Akhirnya dia diberikan kesempatan melahap semua buku yang dibelinya. Agar mampu diraih tangannya, dia mengganti rak buku yang tinggi dengan yang pendek-memanjang. Dia menyusun 74 buku yang direkomendasikan Borges (diawali Stories karya Julio Cortázar, The Apocryphal Gospels, Amerika and The Complete Stories karya Franz Kafka, dan diakhiri Egil’s Saga karya Snorri Sturluson, The Book of the Dead, The Problem of Time karya J. Alexander Gunn, dan The Blue Cross: A Father Brown Mystery karya G.K. Chesterton). Kemudian, buku-buku yang direkomendasikan Ryunusuke Akutagawa—satu lagi nama sastrawan yang dihormatinya, seperti An’ya Kouro karya Shiga Naoya, Shinsei karya Shimazaki Tōson, Divan & Dichtung und Wahrheit karya Goethe, Les Confession karya Rousseau, Le Diable au Corps karya Radiguet, dan Neraka Dante. Lalu buku-buku lain. Semakin banyak buku yang dibacanya, semakin tersadar bahwa dia, selama ini, hidup dengan mengemban kebutaan, ketulian, dan kebisuan.

Pada suatu pagi, Adisuprapto duduk di samping jendela. Dia memandang halaman yang dihiasi berbagai pot bunga dan sebuah pohon ketapang. Di pangkuannya tidak ada buku. Tumben. Alih-alih membaca, dia menghabiskan waktu dengan membayangkan sebuah perpustakaan mahabesar yang di dalamnya menyediakan segala macam buku, dengan berbagai bahasa, dengan berbagai ukuran, dari yang sebesar jagat raya hingga yang sekecil elektron. Harapannya terwujud dalam mimpi-mimpinya yang gelisah.

Dalam mimpinya, dia membangun perpustakaan gaib di pintu samping rumahnya, di ujung buntu lorong sempit yang lebarnya hanya lima puluh sentimeter. Pada pukul 23.11, sebuah pintu kayu keropos muncul begitu saja dari ketiadaan, lalu lenyap sebelum tengah malam—tidak diketahui jam berapa tepatnya, tapi saya hampir yakin itu pukul 23.55—atau 23.57—dan tidak muncul pada tanggal 13, 17, dan 23, serta selama bulan Februari. Alasannya, lagi-lagi, tidak saya ketahui. Di dalam perpustakaan itu, waktu bergerak secara vertikal. Dengan kata lain, selama apa pun tinggal di dalamnya, kau hanya mengalami saat ini yang abadi dengan keadaan yang sama seperti sediakala—kecuali apa yang kaubaca di dalamnya—sehingga saat kau pergi, waktu di luar perpustakaan tidak beranjak sedetik pun dan kau tidak menua seuban pun. Bayangkan, kau dapat membaca sebanyak-banyaknya buku dalam kekekalan. Adakah keadaan yang lebih surga dari itu? Namun, perlu dicatat, pastikan kau memasuki ruang ini dengan kondisi yang baik, tidak kurang suatu apa; tidak ingin buang air kecil atau besar; tidak dalam kondisi sakit; tidak lapar ataupun haus. Singkat kata, harus sehat wal’afiat seutuhnya. Sebab, kau membawa kondisimu dalam keabadian. Lukamu takkan sembuh dan lapar dahagamu kekal. Dan yang lebih penting, di dalam perpustakaan tidak ada kamar kecil. Jadi tidak ada tempat untuk buang hajat.

Ruangan di dalam perpustakaan berbentuk segienam. Semua sisinya dipenuhi buku hingga langit-langit—kecuali satu yang berisi pintu yang menghubungkanmu dengan ruangan segienam lain, begitu seterusnya. Tapi ada satu ruang yang berisi meja yang disusun menyerupai labirin yang melingkar, yang jika kau memasukinya, mustahil kau mampu menemukan ujungnya. Sebab memang tidak ada. Namun, jika kau ingin keluar, kau hanya perlu melewati jalan di sebelah kanan selama empat belas kali. Yakin saja di sana ada jalan.

Adisuprapto membayangkan perpustakaan itu dalam kepalanya. Dan saya, yang menulis riwayat ini, pun Anda yang membacanya, adalah bagian dari mimpinya itu.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Rafael Yanuar
Rafael Yanuar Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email