Aku adalah perempuan bahagia yang tak tunduk pada lelaki manapun. Aku tahu itu, rahasia setiap lelaki. Dan tuhan mahabaik telah mempersiapkan tubuhku dengan matang dan sempurna.
***
Aku akan ceritakan kepadamu bagaimana Ibu menjalani hidup yang seperti neraka ini.
Hidup di neraka sesungguhnya lebih baik, begitulah pikir Ibu. Di neraka Ibu tak akan memiliki harapan apa-apa. Siksaan demi siksaan akan ibu jalani sepenuh hati, penuh suka-cita.
Kematian demi kematian akan Ibu sambut dengan gembira. Ibu akan tertawa dengan sangat kencang, hingga memenuhi seluruh lubang neraka ketika malaikat maut itu menyeret rambut Ibu ke atas api yang sangat panas, lalu melemparnya ke dalam kerak neraka.
Ibu akan menikmati setiap inci tubuhnya disiram timah panas, dikuliti hidup-hidup, ditusuk ribuan kali, digantung, atau dilemparkan ke tengah-tengah ular raksasa yang kelaparan. Ketika ribuan kalajengking itu mengepung, Ibu akan duduk dan membuka kedua kakinya, membuka semua jalan masuk ke dalam tubuhnya.
Ibu akan menikmatinya, setiap kalajengking yang merayap di dalam usus-ususnya, di dalam rahimnya, mencabik-cabik otaknya, atau keluar mencongkel kedua bola matanya. Sebab di neraka, Ibu tak akan memiliki harapan apa-apa, maka akan Ibu nikmati semuanya. Begitulah kata Ibu menjelang kematiannya.
***
Sewaktu kecil dulu, aku pernah bilang kepada Ibu bahwa aku akan hidup bahagia. Sepanjang ingatanku, Ibu tak pernah bahagia. Ibu hanya pura-pura bahagia.
Bapak adalah pemuka agama yang dikenal alim, dan setiap hari selalu menghabiskan waktu di dalam musala di samping rumah kami. Musala itu sengaja dibangun oleh Bapak. Bangunan yang lebih megah dari rumah yang kami tinggali. Sebab masjid besar letaknya jauh di tengah perkampungan. Bapak pulang ke rumah hanya ketika malam.
Bapak tidak bekerja. Menurut bapak, rezeki sudah ada yang mengatur, jadi tak perlu bersusah payah untuk mencarinya.
Setiap hari Bapak selalu berdoa semoga keluarga kami diberi kecukupan rezeki, dan doa-doa Bapak selalu dikabulkan tuhan.
Bapak selalu bangga mengatakan kepada kami bahwa doa-doanya selalu dikabulkan. Aku yang masih belum mengerti ilmu agama kemudian bertanya kepada Bapak, doa apakah gerangan yang Bapak panjatkan kepada tuhan sehingga dikabulkan.
Bapak berkata kepadaku bahwa tak banyak yang diminta, cukup hari ini datang rezeki yang bisa membuat perutnya kenyang sehingga Bapak bisa lebih khusuk lagi dalam menjalankan ibadahnya.
Setelah cukup besar, aku mengerti rezeki itu asalnya bukan dari doa-doa Bapak. Setiap pagi, setelah menyiapkan sarapan dan makan bersama, Ibu selalu pergi ke bukit untuk mencari daun pakis muda. Daun-daun pakis muda itu selanjutnya akan dijual di pasar. Tak mahal harga seikat daun pakis, cuma dua ratus rupiah. Banyaknya daun pakis di perkampungan menjadikan sayur jenis itu berharga yang murah.
Di pasar, biasanya Ibu menjual beberapa ikat daun pakis yang digendong di punggungnya. Ibu berjalan menuruni perbukitan, melewati anak sungai kecil. Di sungai itu, Ibu biasanya telah memasang perangkap ikan yang terbuat dari bambu. Kalau beruntung, ada ikan-ikan kecil yang masuk dalam perangkapnya dan ikan itu bisa dijualnya dengan harga seribu rupiah sekantung.
Bapak hanya tahu bahwa Ibu setiap pagi pergi ke bukit mencari daun pakis dan kembali di sore harinya dengan membawa uang. Sebelum pergi, tentulah Ibu sudah menyiapkan makanan yang cukup di meja makan dan menyimpan sebagian di lemari untuk siang hari.
Biasanya Bapak kalau memang benar-benar merasa lapar akan pulang ke rumah dan mencari makanan di sana. Kalau tak menemukan makanan, Bapak akan marah dan tangannya yang ringan untuk berdoa itu akan melayangkan sebuah tamparan atau pukulan yang sangat keras kepada Ibu.
Bapak mengatakan bahwa jika dirinya kelaparan, maka ibadahnya akan tidak khusuk dan doa-doanya tak akan dikabulkan oleh Tuhan.
Suatu hari, tiba-tiba Bapak mati. Kulihat Ibu tak pernah merasa sebahagia itu dalam hidupnya. Guratan-guratan senyum di bibirnya kian tampak seperti selama ini wajah Ibu adalah malam yang gelap, dan kematian Bapak adalah fajar yang menyingsing di ujung-ujung bibirnya.
Setelah tujuh hari kematian Bapak, Ibu melepas kerudung di kepalanya, rambutnya ikal dan lebat. Ibu mulai menghias diri dan pakaian-pakaian yang selama ini serba kebesaran itu bertukar menjadi pakaian-pakaian yang ketat dan kekecilan.
Tapi di mataku Ibu masih tetap sama, meski ia jadi tak sering di rumah, terutama saat malam. Pagi hari, Ibu masih pergi ke bukit mencari daun pakis muda, kemudian menjualnya di pasar. Pakaiannya masih kebesaran. Sore harinya, Ibu pulang dan aku yang telah menunggunya dari siang dibawakan sebungkus nasi ayam. Sempat kutanya, apakah jualannya hari ini banyak, lalu Ibu hanya menjawab bahwa sekarang pakis sudah mulai langka dan harganya cukup mahal.
Ketika malam, Ibu akan pergi diam-diam. Aku kerap mengintip Ibu meninggalkan rumah dengan pakaian yang ketat dan kekecilan.
Menjelang dini hari, ketika perkampungan sepi, Ibu biasanya akan pulang. Saat itu aku belum tidur, kudengar suara Ibu di luar. Aku segera bangun dan mengintipnya dari jendela, memang benar itu adalah Ibu, berjalan dengan seorang lelaki asing.
Ketika ibu membuka pintu diam-diam, aku segera berlari masuk ke dalam kamar dan pura-pura tidur. Ibu membuka pintu kamarku, secara diam-diam, memastikan apakah aku sudah tidur atau belum.
Setelah itu, secara diam-diam Ibu mulai mendekati lelaki itu, duduk di pangkuannya, melumat bibirnya, dan melepas pakaiannya.
Sejak saat itu, setiap malam Ibu masuk ke dalam kamarku dan memastikan aku telah tidur, lalu Ibu akan menghampiri lelaki asing lainnya lagi, duduk di pangkuannya, melumat bibirnya, dan melepas pakaiannya. Aku menyaksikannya dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka.
Setelah Ibu berhasil membuat lelaki itu tergeletak lemas di lantai atau di kursi atau di mana saja, Ibu akan merogoh celana si lelaki yang sudah terlempar entah di mana, mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa uang di sana. Sebagian lelaki kudengar sempat menggerutu karena Ibu mengambil terlalu banyak. Jika sudah menggerutu seperti itu, maka Ibu akan mendudukinya sekali lagi, melumat bibirnya, dan menindihnya berulang-ulang.
Tahun-tahun berlalu dan Ibu kini telah menjadi tua. Semakin jarang Ibu membawa lelaki asing ke rumah. Dan, Ibu tak lagi leluasa merogoh celana dan mengeluarkan dompet dari dalamnya. Kebanyakan lelaki itu akan melemparkan beberapa lembar uang receh di atas perut Ibu.
Sejak tak ada lelaki yang dibawa pulang Ibu, semakin hari, kehidupan kami semakin susah. Tapi di mataku Ibu tetap sama. Ibu masih seperti biasa, pergi ke bukit mencari daun pakis dan menjualnya di pasar.
Aku kini bekerja sebagai pengajar agama untuk anak-anak di kampung. Tak banyak penghasilanku, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja pun dibantu hasil dagangan daun pakis Ibu.
Suatu hari, seorang lelaki berwajah sangat menakutkan mendatangi rumah kami. Ibu sedang tak ada di rumah, masih di pasar menjual daun pakis. Aku baru saja selesai mengajar. Lelaki itu mengatakan bahwa Ibu harus segera melunasi utang-utangnya, kalau tidak rumah dan musala akan disita sebagai jaminannya. Ketika malam, setelah beribadah sendirian, aku menghampiri Ibu dan menceritakannya.
Ibu tak langsung jujur kepadaku bahwa ia memiliki utang kepada seorang juragan di kampung sebelah. Tapi kemudian Ibu jujur, bahwa itu adalah utang Bapak untuk membeli tanah dan membangun musala di sebelah rumah.
Kian hari, utang Bapak kian bertambah dan tak sedikitpun uang yang Ibu peroleh mampu melunasinya. Maka, setelah kematian Bapak, Ibu lebih banyak tersenyum karena menyadari bahwa beban yang harus dipikulnya kian berat.
Pada suatu hari, ketika mencari daun pakis muda di bukit, Ibu bertemu dengan sekelompok pemburu yang menenteng dua ekor kijang. Ibu kemudian diperkosa di sana, tapi Ibu merasa senang. Ibu tidak melawan karena para pemburu itu tidak memperlakukan Ibu seburuk Bapak memperlakukannya.
Ibu menikmatinya, dan setelah selesai, pemburu itu memberikan sejumlah uang kepada Ibu. Sejak saat itu, Ibu sering keluar malam untuk pergi ke bukit. Di atas bukit ada posko penjagaan dan di sana Ibu menaklukkan para lelaki pemburu itu dan mendapatkan uang.
Namun, tak cukup juga uang yang dikumpulkan Ibu untuk melunasi utang-utang Bapak. Kemudian pada suatu hari, lelaki berwajah sangat menakutkan itu datang lagi ke rumah. Ibu telah menunggunya di teras sambil menikmati segelas teh tawar yang kubuatkan.
“Dia sudah siap,” kata Ibu kepada lelaki itu.
Kini aku tak ada beda dengan Ibu. Dan aku telah tumbuh menjadi perempuan yang bahagia, sama seperti yang kukatakan dulu kepadanya. Aku adalah perempuan bahagia yang tak tunduk pada lelaki manapun. Aku tahu itu, rahasia setiap lelaki. Dan tuhan mahabaik telah mempersiapkan tubuhku dengan matang dan sempurna.
***
Editor: Ghufroni An’ars
Aahhh… Ceritanya keren banget! Aku speechless dan agak stress dikit pas abis baca. Hahaha. Mantap!
ceritanya membuat pikiran q terbuka, luar biasa
Jujurly kagett setelah tokoh bapak ini meninggal. Tapi secara keseluruhan saya setuju kalau kemiskinan akan membuat orang melakukan apa saja, seperti halnya yang dilakukan oleh tokoh ibu.
Weee keren kak ✨