CIUMAN pertamaku, kudapat dari orang asing yang baru kukenal lewat aplikasi kencan. Aku ragu apakah ini bisa disebut sebagai pengalaman berharga atau tidak. Mengajak orang asing berciuman lewat jejaring maya menjadi jauh lebih gampang ketimbang harus mengumpulkan keberanian untuk menggoda seseorang di pinggir jalan atau meminta langsung salah seorang teman untuk saling menempeli bibir dan menjilati liur. Alih-alih mendapat ciuman pertama, pasti aku akan ditampar dan dihajar habis-habisan karena dianggap cabul.
Orang yang kukenal lewat aplikasi kencan ini hanya mau bertemu pada malam hari, ketika jalan raya telah sepi, dan langit benar-benar hening. Aku tak menaruh rasa curiga kepadanya, sebagaimana berita-berita kriminal terkait bertemu sembarangan orang yang bisa saja terjadi. Toh besok aku berniat mati. Benar, kau tak salah membaca, aku berniat bunuh diri besok. Jadi, sekalian saja, kupikir tak mengapa kalau aku bermain-main dengan nasib dan menantang bahaya.
Aku menurutinya, kendati untuk itu aku harus diam-diam menyelinap keluar dari rumah tanpa diketahui siapa pun demi menghindari pertanyaan: Mau ke mana kau larut malam begini? Walaupun sebenarnya aku bisa saja menjawab pertanyaan itu dengan beragam alasan dan alibi. Namun, urung kulakukan karena sebelum mati aku tak ingin menambah kebohongan.
Bukan di hotel mewah. Bukan di kamar kosan murah. Bukan pula di tempat di mana dua orang bisa bebas melakukan apa pun yang dimau, melainkan di sebuah sungai tercemar tak jauh dari kubangan lumpur dan tumpukan sampah-sampah tepat di seberang kompleks perumahan elite yang tak terlalu jauh dari rumahku—ciuman pertamaku kudapatkan.
Suasana gelap mengiringi kesunyian, tak ada lampu penerangan di sepanjang jalan, selain jejeran pohon angsana berbagai ukuran yang menaungi benteng aliran sungai, sehingga kami tak perlu khawatir akan terlihat satpam yang sedang berjaga di gerbang utama atau ditangkap orang-orang yang masih beraktivitas pada tengah malam, sebab ketahuan mesum di malam hari seperti ini dapat berujung pada pemerasan dan itu tentulah bodoh sekali.
Aku ragu-ragu memulai, tetapi dia menuntunku perlahan. Bibirku dan bibirnya saling menyentuh. Aku dapat merasakan napasnya aroma tembakau. Hangat sedikit sepat. Ketika aku menjauhkan diri karena terlonjak kaget oleh gerakan bibirnya yang tiba-tiba, tanpa aba-aba dia menarik tubuhku dan memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Lengan berototnya telah siap menahan kepalaku untuk tak menghindar. Inilah kali pertama aku merasai liur seseorang dan rasanya … aneh.
Aku sungguh tak menyangka aku mengalami pengalaman ini. Setelah sekian kali melihat orang lain berciuman di pinggir jalan, atau menyaksikan banyak adegan ciuman dalam film-film romantis, kini aku berciuman! Sebuah ciuman pertama dengan orang asing yang baru kukenal lewat aplikasi kencan di tepi sungai tercemar penuh sampah dan aroma busuk menyengat hidung hingga tenggorokan. Sungguh capaian yang luar biasa membanggakan.
Seusai kami berciuman aku mengucapkan terima kasih. Dia membalas ucapan terima kasihku dengan tawa yang berusaha dia tahan. Suara tawanya tak terdengar mengejek, lebih seperti ungkapan keheranan.
“Kenapa berterima kasih?”
“Biasanya orang berterima kasih karena bersyukur mendapatkan sesuatu dari orang lain.”
“Maksudmu ciuman tadi?”
“….”
“Sudah kuduga, pantas kau kaku.”
“Aku berencana mati besok, tetapi aku sadar belum pernah sekalipun berciuman, jadi sebelum aku mati, aku ingin tahu bagaimana rasanya berciuman.”
Hening. Dia tak merespons pengakuanku, selain menatap mataku dengan raut yang sulit kuartikan. Jeda panjang menggantung di udara. Riak air sungai menambah senyap yang subtil di antara kami berdua.
“Kenapa kau ingin mati?” Akhirnya dia bersuara.
“Orangtuaku yang minta.”
“Kenapa?”
“Katanya mereka malu.”
“Malu kenapa?”
Bagaimana harus kujelaskan kepadamu, orang asing yang berciuman denganku? Jutaan alasan mengapa aku berniat mati besok, terasa sia-sia untuk aku jabarkan.
“Pergi saja dari rumah,” dia berkata.
“Ke mana?”
“Ke mana pun, di tempat yang tak ada orangtuamu.”
“Ya akhirat.”
Dia tertawa.
“….”
“Kau tak punya saudara?”
“Saudara laki-laki, dia bekerja di luar kota.”
“Datangi saja dia.”
“Kami tak seakrab itu.”
Dia tertawa lagi. “Sayangilah hidupmu.”
“Aku ingin mengembalikan hidup yang orangtuaku berikan, tetapi sebelum itu aku ingin menghancurkan hidupku dengan melakukan hal yang belum pernah kulakukan, jika hidupku rusak maka itu bukti kalau mereka adalah orangtua yang gagal. Mereka harus tahu kalau mereka orangtua yang gagal.”
“Kau remaja yang penuh dendam.”
“Mungkin … tapi apa kau pernah dilempar piring kaca oleh ayahmu?”
“Tidak, tapi aku pernah ditikam pisau dapur.”
Aku menimbang-nimbang, mana yang lebih buruk, dilempar piring kaca atau ditikam pisau dapur.
Namun, pertanyaan yang sama sekali lain muncul keluar dari tenggorokanku, “Kau percaya surga?”
“Surga?”
“Surga …”
“Surga seperti yang orang-orang ceritakan itu? Sungai susu, taman yang indah, dan segala yang kita mau tersedia, ada 72 bidadari patuh siap melayani? Ha-ha-ha. Konyol sekali.”
“Ya, surga semacam itu.”
“Aku tak tahu, yang aku tahu pasti suatu saat aku akan mati juga, mungkin bernasib seperti Nigel1. Kalaupun surga seperti itu memang ada, kurasa aku tak akan cocok berada di sana. Mungkin aku akan selamanya kesepian. Sekalipun ada 72.000 bidadari yang disediakan untukku. Jadi aku akan pilih untuk terus hidup saja.” ([1]Kelak pada satu hari murung aku akan teringat dan mencari tahu informasi tentang ‘Nigel’ yang dia sebutkan itu. Nigel adalah burung gannet yang dijuluki sebagai ‘burung laut paling kesepian di dunia’. Nigel mati di samping patung burung gannet tiruan yang coba dikawininya di Pulau Mana).
Aku bisa melihat ekspresi wajahnya dengan jelas dalam remang cahaya bulan yang terhalau awan. Tiba-tiba suara jangkrik muncul entah dari mana, seolah menuntun kami berdua merebahkan diri di pinggir sungai. Pasir tepian yang bercampur dengan air sungai terasa dingin dan empuk. Suara riak arus air beradu dengan akar-akar pohon dan sampah yang mengapung, memunculkan ketenangan lembut dalam dadaku. Di atas, saat aku mendongakkan kepala, dahan-dahan pohon angsana dimainkan angin.
“Surga dengan 72 bidadari memang benar-benar tak cocok untukku2,” dia kembali tertawa, kali ini tawanya terasa getir dan pahit. Dia mengatakan kalimatnya sembari memandang ke arah langit malam yang kosong, seolah melamun pada satu titik yang jauh. Ikut kuamati langit gelap yang kosong itu, tanpa ada satu pun bintang terlihat, sepertinya tertutup awan mendung, firasatku akan turun hujan. ([2]Di masa depan aku akan mengenang perkataannya itu dan memahami apa maksudnya. Kupikir juga begitu, apa gunanya 72 atau 72.000 bidadari yang cantik jelita di dalam surga bagi seorang laki-laki homoseksual).
Kalau kupikir-pikir, dia ini tipe orang yang mudah tertawa. Aku banyak mengenal orang dengan tawa yang menyebalkan, termasuk tawa ayahku, tetapi tawanya terasa lain karena tak terdengar mengganggu.
“Kau juga pasti belum pernah dirokok kan?”
Tiba-tiba saja dia bergeser, menimpa tubuhku.
Aku belum sempat menjawab pertanyaannya, saat dia bangkit dan berusaha melucuti celanaku. Kepalanya menunduk dan samar-samar aku melihat parut bekas jahitan cukup panjang pada tengkuk dekat leher bagian kirinya. Aku menduga itu luka tikaman yang barusan dia ceritakan, aku tak bertanya.
Aku hendak menghetikan apa pun yang berusaha coba dia lakukan, sebab aku merasa telah cukup dengan hanya ciuman, tetapi dia telah menemukan apa yang dia cari.
Aku menahan kejut ketika burungku masuk ke dalam mulutnya. Dia menaik-turunkan kepalanya berulang secara konstan. Beberapa kali giginya menyentuh burungku, dan itu membuat aku melenguh tak nyaman.
Menyadari ketaknyamanku dia pun menyesuaikan posisi tubuhnya agar lurus searah tubuhku. Sial, aku mulai terbiasa dan berharap dia tak lekas berhenti. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana, selain berusaha tak banyak membuat gerakan sehingga dia dapat fokus dengan apa pun yang sedang dia lakukan3. ([3]Bagian ini memang agak sedikit cabul, tetapi biarlah kujelaskan sedikit: Saat aku merasa hendak mencapai puncak, dia menghentikan perbuatannya. Aku agak kecewa. Dia menatapku seolah telah memenangkan sesuatu. Aku ingin bilang agar dia segera menyelesaikan apa yang sudah dia mulai. Tapi, dia melarangku bicara. Aku tak diizinkan berkomentar. Dalam keadaan ganjil seperti itu, aku hanya bisa pasrah. Jujur aku tak ingin membuatnya marah. Maka kubiarkan saja dia melakukan apa pun semaunya).
Tahu-tahu dia bangkit berdiri, menanggalkan celana jeans panjangnya, menurunkan celana dalamnya dan menunggingkan tubuhnya. Aku telah mendapatkan ciuman pertamaku, kuluman pertamaku, dan kini penetrasi pertamaku. Semuanya pada satu malam di tepi sungai dalam remang cahaya bulan, yang pada siang hari warna airnya coklat serupa air comberan. Aku ingat semasa kecil, dalam beberapa tahun akan sering ditemukan mayat mengapung atau tersangkut di bawah kaki jembatan. Sekarang ketika aku beranjak dewasa tak pernah lagi kudengar berita mayat hanyut di sungai ini4. ([4]Rencana bunuh diri yang ingin aku lakukan adalah melompat ke sungai, aku bersyukur tak mengikuti praktik renang di sekolah dan meskipun aku tinggal tak jauh di pinggir sungai aku tak pandai berenang. Kupikir mati kehabisan napas dalam arus air tercemar lebih mudah dan tak terlalu menyakitkan ketimbang harus merasakan siksaan dengan menenggak sebotol racun atau kehabisan darah dengan menyayat nadi di pergelangan tangan).
Napas kami saling memburu, dan sebuah rintihan tak dapat kutahan. Dia memintaku untuk tak keluar di dalam dapurnya. Meski itu adalah pemberitahuan yang terlambat. Dia mendengus kesal, meski tak seperti marah5. ([5]Coba saja bayangkan seseorang yang sedang kesal tapi tak menunjukkan ekspresi marah. Bisa kau bayangkan? Tidak?).
Anehnya, aku merasa senang. Perlahan dia bangkit dan memasukkan burungnya ke dalam mulutku. Aku tak sempat memikirkan apa pun saat burungnya dia sodorkan paksa ke dalam mulutku. Dia terus menggoyang-goyangkan pinggulnya, dan begitu saja zat kehidupannya memenuhi rongga mulutku. Aku tersedak. “Kita impas!” katanya seperti merasa puas.
Kami saling mengemasi diri masing-masing.
Aku membersihkan mulutku, berkumur-kumur dengan air sungai. Itu kali pertama aku mengecap rasanya semen orang lain. Pedar, anyir, sepat, dan agak asin, sejujurnya aku ingin sekali muntah.
Dia tertawa geli menyaksikan gelagatku.
“Kau ini benar-benar lugu ya.”
“Maksudmu?”
“Maksudku kau perjaka dan lugu.” Dia tertawa lagi.
Mendengar ucapannya, aku agak kesal.
Setelah kami selesai membenahi diri masing-masing, dia pun melangkah pergi, beberapa langkah dia berhenti kemudian berbalik badan. Memandangi wajahku lekat-lekat seolah hendak mengatakan sesuatu.
“Hidup itu sulit, mati juga sulit. Punya keluarga sulit, sebatang kara juga sulit. Tinggal bersama orangtua sulit, tinggal sendirian juga sulit. Melajang sulit, menikah juga sulit. Tak ada yang mudah,” ucapnya sebelum kami benar-benar berpisah. Ganjilnya, perpisahan kami memunculkan rasa janggal yang sedih dalam diriku. Seperti haru, seperti tak rela, seperti luka.
Ketika kembali ke rumah aku benar-benar tak bisa tidur. Besoknya aku tak jadi bunuh diri. Aku mengurungkan niatan untuk mengakhiri hidupku. Aneh, aku sendiri tak mengerti. Tak kutemukan motivasi yang jelas atau alasan sah6. Yang bisa kurumuskan adalah sewujud hasrat bahwa aku ingin bertemu dengannya lagi, setidaknya sekali lagi. ([6]Kurasa ciumannya dan apa yang kami lakukan di pinggir sungai pada tengah malam itu menjadi penyebab aku mengurungkan niatan mengakhiri hidup. Agaknya ciumannya yang sudah membunuhku sehingga aku tak perlu lagi membunuh diriku sendiri. Membunuh bukan dalam makna literal (menghabisi; mencabut nyawa), tapi ‘membunuh’ dalam pengertian “lain”. Kau tidak mengerti? Aku pun tak mengerti).
Lalu kecewa karena menyadari akunnya telah hilang dari aplikasi kencan dan jejaknya tak bisa lagi kudapatkan7. Sempat berimajinasi, aku menduga-duga mungkin saja dia makhluk astral yang sengaja dikirim tuhan, agar aku tak jadi bunuh diri? Malaikatkah? Hantukah? Sialan! Konyol betul, pikirku. ([7]Penjelasan perihal ini bisa logis, mudah untuk menghapus akun di aplikasi kencan, sebab sudah tentu dia tak ingin berurusan dengan seorang bocah menyedihkan yang berniat bunuh diri. Polisi bisa saja menemukan akunnya di ponselku dan mencari keberadaannya, dan tentu akan sangat merepotkan diintrogasi dalam bilik penjara sembari harus menjelaskan tentang seperti apa hubungan kami. Maka wajar kalau dia pilih menghilangkan jejak digitalnya dan lenyap bak asap).
Hingga tahun-tahun terlewati dan aku memilih untuk terus hidup, bayangan wajahnya menjadi memori yang mengendap dan terus kubawa.
*****
Editor: Moch Aldy MA