Kau pasti menganggap kematianku sebagai aksi bunuh diri.
Aku berani bertaruh 99,99% dugaanku itu tak akan meleset. Sedangkan 0,01% sisanya boleh kau gunakan untuk menyangkal hal tersebut dengan variabel yang boleh jadi kemungkinan lain.
Kau pun boleh percaya jika tindakan mengoyak perutku sendiri dengan pisau dapur adalah pilihan kemerdekaan yang secara sukarela kutempuh. Atau kau bisa meminjam ungkapan penyair idolamu yang mati muda itu, bahwa hidup hanya menunda kekalahan. Dan apa yang kulakukan dalam hidupku selama ini tak lebih dari sekadar menunda kekalahanku sendiri, sebelum akhirnya kita menyerah.
Maksudku, kau bebas mempercayai apa pun yang ingin kau percayai. Walaupun aku tahu, kau masilah manusia peragu, manusia yang buta ke arah mana kehidupanmu sebenarnya berjalan; manusia yang tetap tidak mengerti mengapa harus terlempar ke dunia terkutuk ini.
Sekarang kau sedang menyendiri di bilik kamar kosmu yang senyap. Padamu sebuah jurnal yang kini telah jadi perwujudan lain dari diriku. Jurnal yang diberikan oleh Nenek dengan penuh penyesalan ketika kau datang menggedor gerbang rumahku sambil menangis tersedu-sedu. Begitu khidmat kau membuka lembar demi lembarnya, mencari jawaban dari cuilan kronologi kehidupanku yang sempat aku tuliskan.
Barangkali akan kau dapati alasan, niatan, atau penyebab, yang secara pasti akan membuatmu mengetahui mengapa aku pada akhirnya memprotes segalanya dengan cara yang mungkin dianggap sadis, jika bukan miris. Sebab semenjak awal pertemuan kita telah kuhapal dirimu. Sejak hari itu aku merasa kita terhubung. Bahkan mungkin jauh sebelum takdir kita telah ditetapkan, seandainya jika benar itulah takdir kita, jika memang itulah yang dinamakan takdir.
Kau pun merabai lembar pertama.
Mulanya adalah ingatan.
Dan beginilah aku menuliskannya:
Aku salah satu dari tiga siswa yang dilingkupi cahaya lampu panggung kekuningan, berdiri canggung di atas altar, seolah sebagai ritus persembahan. Sedangkan kau satu dari sekian puluh penonton yang tak mampu kuhitung, tetapi kukenali begitu jelas, terduduk pasif di jejeran tengah dalam remang cahaya lampu ruangan. Beberapa penonton bergumam keheranan karena aku telah terlalu lama berdiri mematung. Gugup melihat keramaian. Ini adalah pengalaman pertamaku tampil di depan banyak orang dan sialnya tanpa persiapan.
Perpeloncoan adalah tradisi ajek negeri ini yang paling kubenci. Para senior itu menatapku pilon, terhibur dengan tindakan mereka menghukum junior sepertiku yang tidak membawa atribut-atribut badut yang mereka anggap penting. Apa yang mereka minta sungguh sangat merepotkan, dan demi Tuhan aku sangat membenci peraturan yang telah mereka rumuskan. Pada akhirnya, aku gagal melakukan hukuman yang diberikan secara acak kepadaku. Semua orang tertawa menyaksikan tubuhku yang kikuk saat berdiri di atas panggung. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah kau juga ikut tertawa?
Pada kesempatan lain aku melihatmu lagi. Di satu kelas gabungan yang iseng kuikuti tanpa tujuan, dari kelompok diskusi yang dibentuk guru, kita mulai menjalin pertemanan. Inikah namanya kebetulan? Tanpa kusangka hal-hal tak terduga kerap mempertemukan kita (yang tentu saja kusadari belakangan). Rangkaian kebetulan yang menciptakan persinggungan di antara kehidupan kita ini kelak akan diingat sebagai insiden. Meskipun kini kumengerti tak pernah ada yang kebetulan.
Seseorang tidaklah mungkin masuk dan keluar dalam hidupmu tanpa alasan. Momen-momen yang berlaku bukanlah spontan. Mereka membawa tujuan yang kau dan aku tak akan pernah benar-benar ketahui sebelum kita mengalaminya sendiri.
Meskipun dengan gagasan ini, sia-sialah segala upaya untuk mencari makna, rahasia, atau akhir muaranya. Dan mengapa jalan hidupku bersinggungan dengan keberadaanmu tidak lagi menjadi pertanyaan penting. Sebab segalanya memang telah dimaksudkan demikian.
Maka inilah yang selanjutnya terjadi:
Secara ganjil kau menelepon, mendadak meminta bantuan. Mengapa nomor ponselku yang kau pilih untuk dihubungi, adalah pertanyaan yang kubawa sepanjang perjalanan. Ketika aku sampai di klinik yang kau sebutkan, kulihat kau tengah terduduk merenung di kursi tunggu dengan luka-luka di sekujur kaki dan lengan. Kau berjalan tertatih sebab persendianmu terkilir.
Kau minta aku memboncengmu pulang lantaran motor yang biasa kau kendarai telah ringsek di bagian depan dan tak lagi bisa dinyalakan.
Baru kuketahui kau ternyata tinggal sendiri di sebuah kos tak jauh dari sekolah. Setelahnya kau meminta aku pulang, sebab selanjutnya kau merasa bisa mengurus dirimu sendiri. Namun lampu kamarmu redup seolah akan mati, tidakkah seharusnya diganti? Kau tahu aktivitas mengganti bohlam sulit dilakukan sendirian, terlebih lagi jika tubuhmu penuh luka lebam bekas kecelakaan. Aku mengganti bola lampu kamarmu dan secara impulsif memutuskan menginap.
Pada satu sore, aku mengikuti kegiatan joging yang tahu-tahu jadi kebiasaan kita bersama. Gerombolan orang mendatangimu. Tanpa basa-basi mengeroyok sambil mengumpat. Mengataimu dengan hinaan jahat. Menyaksikan hal tidak menyenangkan itu aku langsung berlari menyusul, berupaya membelamu yang hanya seorang diri dan jadi ikut terlibat perkelahian. Peristiwa itu usai setelah orang-orang melerai. Kita pun pulang dengan langkah tertatih bersama luka lebam di sekujur wajah. Sepanjang perjalanan pulang aku tidak banyak bertanya. Kau pun malas menjelaskan keadaan.
Tiga hari tidak kulihat kau menghadiri kelas. Sejak peristiwa pengeroyokan itu kau mengaku malas beraktivitas. Dan memilih mengurung diri di kamar kosmu. Kau mengaku enggan menunjukkan luka-lukamu pada orang lain. Aku datang berkunjung dan sekali lagi menginap, sesuatu dalam diriku mengatakan jika kau membutuhkan teman.
Tengah malam ketika kita masih terjaga, tiba-tiba saja kau bercerita tentang segalanya, rahasia-rahasiamu, yang tak akan kutuliskan di sini dan hanya akan kusimpan untuk diriku sendiri. Kau mengambil selimut, menyembunyikan tubuhmu, bercerita dengan nada suara seolah menahan tangis.
“Kau berkelahi dengan berani.” Kukatakan itu sebagai kalimat penghibur ketika kau hendak menarik selimutmu lebih tinggi lagi sehingga menyisakan hanya kepalamu. Kau pun tersenyum. Senyum berparut yang indah. Kupikir inilah momen ketika kita saling terhanyut dalam suasana dan jadi jujur satu sama lain. Aneh, kesedihan malah menimbulkan romantisme yang ganjil. Tiba-tiba saja kau mencium bibirku, dan aku jadi berani membalas ciuman bibirmu.
Di sebuah lokasi wisata pemandian alam yang tak sengaja kelompok diskusi kita temukan ketika berpetualang, aku melihatmu menyendiri bertelanjang dada di tepi bebatuan. Kau selalu tampak tidak terbaca sekaligus menarik untuk diterka. Oleh alasan yang tidak kumengerti, di balik wajahmu yang selalu menyembunyikan banyak rahasia, entah bagaimana, aku merasa, jika mungkin saja, kita serupa. Dan setiap kali memikirkan hal itu, tanpa kusadari setiap langkah yang kuambil selalu terasa, semakin dekat kepadamu, sekaligus terasa, semakin salah.
Sebagai dua manusia muda yang penuh hasrat dan gairah, tentu setelah malam itu banyak ciuman kita lakukan. Sembilan belas tahun usiaku (kelak aku akan mengetahui usiamu dua tahun lebih tua). Sering kita melakukannya di kamar kosmu, dan terkadang di kamarku. Ciuman itu berangsur-angsur menjadi pangutan, lumatan, berkelindan bersama liur dan peluh bercampur desah napas dalam keingintahuan.
Keingintahuan, begitu dahulu aku menyebutnya. Keingintahuan itu tak selalu tuntas, malah seringkali ia tak pernah puas, seolah tak memiliki batas. Kita tidak tahu lagi di mana batasan itu, kita tak mampu menemukan definisi yang tepat. Keingintahuan hanya membawa kita menemukan jalan—jalan rahasia yang menuntun kita pada pengalaman dan dunia baru. Dan kita menganggapnya sebagai penemuan yang menakjubkan; tempat yang diciptakan bagi kita; surga ideal yang di dalamnya tidak ada pohon terlarang, yang buahnya tidak boleh dipetik apalagi dimakan.
Setidaknya itu yang sempat kita yakini, sebelum semuanya musnah. Sebab ternyata surga ideal yang kita anggap diciptakan untuk kita itu memiliki penjaga. Dan buah yang kita nikmati bersama itu adalah terlarang. Kita pun diusir. Kita mendapatkan ganjaran, kita diberi hukuman.
Penjaga yang marah sebab kita telah memakan buah terlarang itu berwujud ayahku. Pada satu malam dia memergoki kita. Dan itu menjadi pengalaman memalukan yang bahkan enggan kurinci dalam jurnal ini. Dia mengamuk memukuli aku dan mengusirmu. Segalanya pun sontak gugur seperti daun-daun yang menguning pada dahan pohon tua. Hubungan kita yang singkat berakhir. Kita yang masih labil memilih berpisah dan berusaha menyelamatkan hidup masing-masing.
Dan setelahnya inilah yang terjadi:
Dari jendela kamarku di lantai dua, kulihat Ayah memerintahkan tukang-tukang memasang kawat berduri di sekeliling pagar rumah. Pintu dan gerbang menjadi akses yang terbatas. Bahkan ponselku disita. Aksesku pada dunia luar ditutup total. Aku juga mendengar rencana tentang kepindahanku ke tempat jauh. Hidupku mendadak berubah hanya seukuran jendela kaca kamar. Yang kupikirkan saat itu adalah aku ingin melarikan diri, tapi hanya bisa bersedih karena tak punya kekuasaan atas kehendakku sendiri. Pengetahuan tentang kesendirian membuat aku takut dan frustrasi. Anehnya, di saat-saat seperti ini aku merindukanmu. Dan malah lebih sering memikirkan tentang keselamatanmu.
Aku pernah berupaya menghubungimu secara sembunyi-sembunyi menggunakan telepon rumah. Tapi gagal saat Ayah keburu memergoki. Dia mengancam akan mematahkan tanganku jika sekali lagi mencoba menghubungimu.
***
Pada hari peringatan kematian ibuku, biasanya Ayah akan membawa seluruh anggota rumah untuk berziarah. Tapi kali itu aku tetap dikurung di dalam kamar. Aku mengeluarkan album foto lama dari dalam lemari, album yang memuat gambar-gambar hitam putih ibuku ketika dia masih hidup. Dituntun rasa bosan selama masa kurungan, aku iseng menggambar wajahnya di buku harianku ini.
Aku pun membayangkan hidupku jika seandainya Ibu masih ada. Jika ia belum buru-buru pergi meninggalkan aku. Jika hidupku diulang kembali. Jika kita tak perlu merasakan kehilangan. Jika tidak ada yang namanya kesepian. Jika cinta tidak pernah ada. Jika aku tidak harus dilahirkan. Jika pertemuan kita tak pernah terjadi. Jika kita tak lekas berpisah dengan orang yang kita cintai. Dan jika seandainya kau ada di sini. Dan seterusnya dan seterusnya.
Selanjutnya yang bisa kau temukan hanya berupa catatan-catatan menjemukan: serupa rutinitas harianku yang kosong. Tidak melakukan apa pun. Hujan sepanjang hari. Tidak melakukan apa pun. Hujan berhenti. Tidak melakukan apa pun. Tidak hujan. Hanya saja udara tetap dingin. Tidak melakukan apa pun.
Tepat pada satu hari paling ganjil dalam hidupku, Ayah membawaku ke halaman belakang. Kulihat nenek tengah mempersiapkan hal-hal yang kutahu sebagai perlengkapan suatu prosesi. Seorang lelaki tua menuang air dalam gentong yang telah ia taburi aneka macam bunga. Mulut keringnya merapalkan mantra-mantra seperti doa dari bahasa yang telah kupelajari sejak masa kanak-kanak. Aku tertawa sebab ia mengucapkan doa-doanya dengan nada dan panjang napas yang keliru. Tajwidnya yang sukar kuterima bercampur dengan air ludahnya yang meruapkan bau busuk seperti aroma bangkai. Sesekali aku mengoreksi bacaannya, tetapi ia terus mengguyur tubuhku dengan air dalam tong yang bercampur asap dupa. Tindakan mereka membuat aku terhina sekaligus terhibur, sehingga aku merasa jika merekalah yang seharusnya diobati.
Setelah segelanya usai, dalam kondisi basah kuyup, di atas ranjang aku tertidur.
***
Pada hari ulang tahunku, aku diizinkan keluar kamar meski masih tak dibolehkan memegang gagang pintu rumah. Ayah masih menatap penuh kebencian padaku. Tak ada sambutan. Tak ada perayaan. Tak ada apa pun. Selain kekosongan dan amarahku terhadap keadaan.
Dari jendela kamar, aku melihat beberapa ekor kupu-kupu terbang di halaman. Ada yang terbang berputar-putar, dan ada yang hinggap di dedaunan. Sepasang kupu-kupu bersayap putih menempel di kaca jendela. Aku merasa kepalaku begitu pusing. Hujan hampir seharian.
Aku sangat ingin tahu bagaimana kabarmu.
Aku mulai merasakan gigil yang konstan di sekujur tubuhku. Suara gaduh akibat petir dan tetes air di kaca jendela menyadarkan aku jika telah berbulan-bulan aku dikurung.
Dini hari aku terbangun dan mendapati diriku terisak-isak. Aku tersadar dalam rasa sedih yang tak kumengerti alasannya. Badanku begitu lemah hingga tak sanggup beranjak dari tempat tidur. Belakangan aku kerap mendapatkan penglihatan aneh. Mimpi ganjil dan sakit panas menghampiri tidurku. Aku kerap tebangun dengan kesadaran yang mengerikan. Kesadaran itu adalah rasa hampa yang menyakitkan. Bahwa aku telah kehilangan sesuatu, sembari dihantui bayang-bayang yang terus berkelebatan dalam pandanganku yang buram. Mengetahui itu, Nenek memanggil dokter. Aku diberi beberapa obat. Dalam kerentanan di atas tempat tidur, aku terus memikirkanmu.
***
Keadaanku mulai membaik. Demamku telah hilang. Tapi aku masih merasa kosong. Aku diam-diam mencari ponselku yang disembunyikan Ayah di ruangan kerjanya. Tentu saja tidak ada. Sempat aku berpikir untuk menggunakan telepon rumah, tapi daftar panggilan akan tercatat dan setidaknya aku harus menemuimu dalam keadaan lengkap dengan kedua tangan.
Lama aku menatap keluar jendela dan mengumpulkan keyakinan. Jendela kaca kamarku tidak berjejak. Namun, tidak bisa dibuka karena dikunci. Aku melempar kursi kayu ke jendela sehingga membuat kaca jendela pecah dan potongan bagian kursi kayu berserakan.
Saat hendak melompat ke luar, para penjaga menahanku. Aku berupaya meloloskan diri, tak segan menghantamkan pukulan kepada siapa pun yang mencoba menghentikan aku. Aku tertawa-tawa sendiri sebab tentu saja semua itu hanya khayalanku. Pada akhirnya tidak ada keajaiaban apa pun yang terjadi. Sebab kenyataannya aku tak pernah mampu melakukan apa pun. Hidup begitu menyedihkan dan hanya itu yang kumiliki.
Hari-hari berjalan seolah tanpa harapan. Dan semakin minim cahaya matahari. Album foto ibuku kubalik berulang kali. Melihatku yang telah jarang bersuara, Nenek membawa beberapa dokter ke kamar untuk memeriksa. Aku membanting dan mengunci pintu. Beberapa kali aku mendengar percakapan Ayah di telepon dengan seseorang yang mengatakan jika hari untukku pergi ke tempat yang tidak kuketahui makin dekat.
Bersama rasa putus asa yang menggerogoti jiwaku, aku tak lagi melanjutkan menulis apa yang kualami dalam jurnal ini. Sisanya akan kuceritakan padamu lewat mimpi, seperti sekarang ini, detik ini, saat ini.
Inilah yang terjadi:
Kurasa aku melihatmu.
Aku benar-benar melihatmu. Kau tepat berada di atas kasurku. Benar itu kau, kan? Tolong jangan menyangkal. Apakah ada yang salah dengan penglihatanku? Tidak, yang kulihat benar kau! Kau di sana, kau di sini, kau di situ, kau ada di mana-mana, duduk sambil membaca sebuah buku yang kau ambil begitu saja dari rak dalam kamarku. Di sana ada Hunter S. Thompson, David Oliver Relin, Hemingway, Murakami dan Mishima.
Kau tentu lebih memilih Murakami. Sementara aku lebih suka membaca Mishima. Tolong jangan cemburu atau mengejekku. Hanya orang-orang kebingungan yang menyukai Murakami, sedangkan Mishima adalah pahlawan. Dan kita pun berdebat tentang siapa yang lebih baik di antara mereka berdua.
Perdebatan di antara kita yang menambah kebosanan membuatmu melemparkan buku yang tengah kau baca. Sejurus kemudian kau bilang padaku kau merasa pengap di sini. Aku pun begitu. Kau mengajakku pergi. Aku tidak bisa pergi. Tapi kau marah padaku dan menuduhku sebagai pecundang. Aku sungguh-sungguh tidak bisa keluar dari sini. Pergi bersamamu, tentu aku mau, tapi bagaimana caranya?
Aku masih memikirkan cara untuk kabur. Sementara kau malah mengacak-acak kamarku. Kau menjatuhkan semua buku, seprai, bantal, dan pakaian-pakaian sampai kau buat berserakan. Kau melompat-lompat di atas kasurku. Melompat. Melompat. Melompat. Lalu terjatuh. Seperti telah lelah, kau terduduk di lantai. Kini kudengar, lamat-lamat kau menyenandungkan lagu-lagu dalam bahasa asing. Tingkahmu makin aneh. Kau sungguh bosan di sini ya? Kau mengangguk. Meskipun bersamaku? Kau mengangguk. Kau mengharapkan sesuatu yang lebih? Kau mengangguk. Seperti apa? Kau tak menjawab, hanya terus bernyanyi dengan wajah murung yang membuatku menjadi iba.
Di pagi lain, aku bangun dengan kepala berat, tenggorokanku kering, dan lidahku sungguh pahit, tubuhku begitu dingin sehingga aku menggigil. Aku berupaya bangkit dari rebahan. Kau di depan jendela berdiri sambil menggumamkan sesuatu. Kau melontarkan pertanyaan-pertanyaan acak. Seperti, mengapa Mishima melakukan seppuku padahal dia bukan Samurai? Mengapa Hemingway memilih menembakkan pistol ke dalam mulutnya? Dan apa yang terjadi dengan Iris Chang? Bukankah Socrates sang mahaguru itu meminum racun?
Aku tidak tahu. Aku sungguh tidak tahu. Manusia tidak tahu. Betapa tak menyenangkannya ketidaktahuan itu. Aku jadi ingin menangis. Tiba-tiba kau menghampiriku dan menyerahkan sebilah pisau berkilat yang entah dari mana kau dapatkan. Kutatap matamu lekat-lekat, membaca dirimu dari kedua bola mata indah itu. Kau selalu tampak sangat bersungguh-sungguh. Maka kuambil pisau itu bersama wajahmu yang semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat. Kau membisikkan sesuatu. Kau turut juga menggenggam pisau yang tengah kupegang. Anehnya tak sedikitpun aku gentar atau takut. Aku malah merasa aman dan tenang.
Tubuhmu tepat di hadapanku, seperti melingkupi. Hangat dari tubuhmu menyelubungiku seperti selimut yang tak kelihatan. Beberapa saat kemudian baru kusadari aku terengah-engah. Napas kita saling memburu, seperti kala kita saling berpagut. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah ujung pisau itu telah merobek abdomen kiriku, yang dengan kekuatan tanganmu kau tarik menuju arah kanan perutku, khas ritual harakiri.
Aku tak yakin apakah seluruh isi perutku telah muntah bersama banjiran darah. Yang kurasakan adalah rasa sakit yang nikmat, sehingga aku menangis. Tubuhku mengejang. Ada rasa sakit dan rasa sedap berkejaran. Keduanya tidak terpisah. Keduanya menyatu, dan menjelma rasa-rasa lain. Hangat dan sejuk bergantian, hingga cahaya meredup lalu memudar dan perlahan hilang, kemudian berganti hening yang damai.
***
Editor: Ghufroni An’ars