Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Cinta adalah Ribuan Peristiwa dalam Satu Kepakan Sayap Kupu-Kupu

Rafael Yanuar

13 min read

Malaikat salju menyelimuti kota dengan sayap putihnya. Beberapa helainya berguguran di genting dan kabel listrik. Sisanya memutihkan seluruh panorama dan membasahi syal dan topi pejalan kaki.

Karena badai dan hujan datang silih berganti, stasiun Gambir berhenti beroperasi, tapi deru loko tua sesekali terdengar membasuh sunyi. Laurel melewati mal yang sudah tutup bahkan sebelum pukul tujuh malam. Sepi dan dingin membuatnya merindu rumah. Betapa tak ada yang lebih didambakannya selain sup ayam kaya rempah buatan Alexa, pun bersantai di ruang tamu dan menikmati hangat api di pendiangan. Namun, tak ada gunanya mengharapkan sesuatu yang tak ada. Kau hanya perlu mengangkat kepala, lalu membuka mata dan telingamu lebar-lebar. Lagipula, segalanya tidak seburuk itu, bukan? Bahkan jauh dari itu. Lampu pusparona menghiasi pohon fir di halaman-halaman rumah. Lagu-lagu natal mengisi udara sunyi. Napasmu mengembuskan uap putih yang lenyap saat menyentuh udara.

Saat melewati jembatan, salju setinggi pergelangan kaki menghalangi langkah kecilnya. Laurel berhenti, mengibaskan serpih-serpih cuaca di sepatu dan celananya, lalu melangkah lagi dengan tubuh sedikit membungkuk. Tetap saja dingin membesuk dan memasuki celah-celah baju. Ah—Laurel termangu. Senyumnya merekah, seolah musim semi datang lebih cepat. Di hadapannya, kunang-kunang bermunculan satu per satu dan memendarkan selaksa warna.

Hanya sedikit kunang-kunang yang berani berterbangan di permukiman warga. Sisanya bersembunyi di hutan pinus sudut kota; di antara pohon-pohon tua, berpendar laiknya lampu natal. Karena berbeda dengan kunang-kunang pada musim panas, penduduk kota menamainya Kunang-Kunang Salju. Laurel sangat menyukainya, terlebih pada malam kelabu seperti sekarang, saat salju menebal di jalan dan memberatkan langkah. Kilaunya seolah mampu menghangatkan hati dan mengurangi gigil di tubuhnya.

Di antara kunang-kunang, ada pula hewan lain yang mengisi udara pada malam musim dingin yang syahdu itu. Roh Salju namanya, bola bulu putih dengan dua mata dan mulut kecil, serta empat sayap tembus pandang yang menyerupai sayap capung. Bulunya selembut beludru. Warnanya sepucat rembulan. Mereka muncul saat salju pertama gugur, dan menghilang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun, saat tunas pertama musim semi merekah.

Lalu ada dua makhluk purba, para malaikat dan naga, yang sepanjang hari menjaga langit. Malaikat memendarkan cahaya dari sumber surgawi yang tak kasatmata, yang tak silau dalam gelap dan jelas di terang siang. Begitu agung dan sunyi, tetapi juga sarat bunyi yang syahdunya melampaui nyanyi. Terkadang pendarnya gugur dalam bulu-bulu lembut yang padam saat menyentuh tanah. Jika kau berhasil menangkupnya, perasaan damai yang gaib sekaligus galib akan menyelimuti hatimu.

Di sekitar malaikat, naga-naga berterbangan tanpa sedikit pun mengepakkan sayap. Satu naga muda bahkan hinggap di puncak Monas, memeluk emas yang menghiasi pucuknya. Naga dan malaikat sudah ada sejak Sang Jiwa menarikan tarian penciptaan sejenak setelah permulaan waktu.

Setelah menangkupkan tangan dan bersoja di hadapan Penghuni Langit, Laurel kembali melanjutkan perjalanan. Beruntung, dengan dua tangan terbuka lebar, dia berhasil meraih sehelai sayap cahaya yang gugur perlahan. Seketika saja, kehangatan mengisi denyut jantungnya dan mengalir bersama darahnya. Laurel tersenyum. Di sana-sini bulu-bulu berguguran, putih menyelimuti seluruh kota. Sayang tak ada yang menyadarinya selain Laurel.

Ketukan tongkatnya di tanah bersalju menjadi satu-satunya suara yang menggema. Dia sudah melewati pusat kota dan tiba di daerah yang sunyi. Tak ada lagu natal yang terdengar, hanya angin yang berembus tanpa suara. Untuk menghalau senyap, dia menyanyikan Ave Maria. Dia tidak melantunkan liriknya, sebab tidak hapal, hanya tahu bait Ave Maria / Gratia plena / Maria gratia plena.

Seandainya ada Áine, pikirnya samar. Dia pasti mampu menyanyikannya dengan indah. Namun, tak ada Áine. Hanya ada kenangan yang berpendar lembut di benak Laurel.

Di taman-taman yang tersebar di sudut kota, bermunculan kupu-kupu yang sekilas menyerupai Rajah Brook Birdwing. Sama seperti Kunang-Kunang Salju, sayap kupu-kupu itu juga memancarkan cahaya. Tetapi, hanya satu warna. Biru terang—sangat terang. Bakda Magrib, anak-anak kerap mengejarnya dengan tongkat jaring, lalu melepaskannya lagi setelah berhasil menangkapnya. Tak butuh waktu lama, tongkat-tongkat itu tergeletak di bangku taman, menyisakan anak-anak yang memandang takjub pada kupu-kupu itu, yang sayapnya mengepak cepat, yang tubuhnya menari di antara butiran salju, yang pendarnya kian terang dalam sembab malam.

Kupu-kupu itu hinggap di atas bunga-bunga yang hanya tumbuh saat salju berguguran—satu dari sedikit bunga yang mekar pada musim kelabu ini. Kelopaknya tembus pandang laiknya kaca. Warnanya menyerupai aurora-aurora kecil saat pendar rembulan menyentuhnya.

Lalu sampailah kita di sebuah bangunan dua lantai yang terlihat sudah sangat tua. Letaknya di dekat stasiun, di antara rumah-rumah dua lantai yang berbaris di belakang sempadan. Cat merah pada dindingnya sudah mengelupas.  Pintu kayunya pun keropos dimakan usia. Namun, ruangan di dalamnya sehangat musim panen. Spada, Laurel berbisik begitu memasuki pintu, tapi tak ada yang menyahut. Sepi semata. Dan gelap. Dia menaiki tangga dan memasuki kamar yang disewanya beberapa hari lalu. Ada jendela di sisi ranjangnya, di sanalah dia biasa menghabiskan sisa malam, memandang waktu yang bekerja tanpa suara.

Salju turun sepanjang jalan, semakin larut semakin bertambah deras. Laurel membuka tirai. Samar-samar terdengar Adagietto Symphony 5 Mahler dari jarak yang tidak terlalu jauh, lalu Archduke Trio Beethoven. Entah dari mana asalnya—mungkin dari kafe dua puluh empat jam di seberang jalan. Laurel menyandarkan kepala di jendela, setengah melamun. Setiap kali musim dingin menggugurkan saljunya, dia terkenang cerita sedih yang sama.

***

Sudah bertahun-tahun berlalu sejak terakhir Laurel meninggalkan Desa Salju, tapi kenangan ketika bersama ibunya menetap di rumah kayunya yang mungil, tak kunjung hilang dalam ingatan. Biliknya dibangun di dekat sungai kecil nan dangkal, tapi deras dan berair jernih. Di halamannya, tumbuh pohon damar tua yang sudah ada sejak bermulanya ingatan. Laurel sering duduk dalam naungannya, menghadap perapian dapur yang ranting-rantingnya berkeritik dan membumbungkan aroma tanak nasi.

Sudah matangkah, Bu?

Belum, Nak. Sebentar lagi. Sudah lapar?

He’eh. Lapar.

Lalu tangan yang hangat membelai puncak kepalanya, menyisir rambutnya dengan jemari beraroma rempah dapur. Laurel meraih tangan ibunya, yang kini hanya angan-angan, lalu mendekatkannya ke pipi.

Ah—sudah berapa lama berlalu?

Saat itu, dia belum jua dewasa, tapi sungguh ingin dia mengulang masa kecilnya yang tak mengenal sakit ataupun derita. Setiap pagi, ibunya mengepang rambutnya dan memujinya cantik. Alangkah manis kamu, Laurel kecilku. Lesung pipimu melekukkan pipi bundarmu. Suaramu serupa kicauan pipit yang hanya mengenal hangat pagi. Dalam remang miang, kerap dalam benaknya terngiang, sop hangat yang selalu ibunya buat untuk sarapan, dan ketika berdua duduk di hadapan sungai nan tenang, dilatari riuh suara burung yang beradu kicau. Namun, semenjak ibunya mengembuskan napas penghabisan di tiang pancang, sebagai korban perburuan penyihir, Laurel menjalani harinya sendiri—bersembunyi dan mendekam sunyi, berharap tak terlihat.

Sudah lama sekali dia tidak memakan nasi, apalagi mencium aroma tanaknya. Sudah bertahun-tahun pula, perapian dapurnya tidak lagi mengepul. Sehari-harinya, Laurel menyantap buah-buah liar yang tumbuh di dalam hutan, atau menangkap ikan di sungai belakang rumahnya. Dia menyukai pemandangan bunga azalea yang putih seperti salju di rimba yang tidak terlalu dalam. Ketika matahari menyentuhnya, bunga-bunga yang semula putih itu, memantulkan cahaya hijau yang lembut seperti batu olivin. Ketika malam menjelang, dia kerap duduk dalam naungan pohon damar, lalu mempelajari mantra sihir yang setiap silabel mewakili sebuah nada. Setiap kata yang dia ucapkan menjelma nyanyian yang indah dan melangutkan hati—andai saja ada yang mendengarnya.

Lalu, suatu penyakit yang muskil disembuhkan, menyerang siapa saja di Desa Salju. Para tua, bayi, anak-anak, laki-laki, perempuan, dewasa, dan muda, bagai disentuh jemari Maut yang dingin. Sudah ribuan penawar diramu, tetapi nihil belaka hasilnya. Tabib-tabib menyerah. Dukun-dukun mengangkat tangan. Hanya pusara di pekuburan yang semakin banyak jumlahnya. Para penduduk yang putus asa memandang curiga kepada penyihir, satu-satunya kaum yang tak terjangkit. Tulah merekakah ini? Begitulah tanya tersebar di seluruh penjuru.

Dalam kabut putus asa, harapan satu-satunya tersiar dalam kabar samar. Konon, di relung gunung, tumbuh tanaman mujarab yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Meski terasa seperti angan-angan, banyak yang ingin membuktikannya. Sayangnya, tak sedikit yang kembali dengan tangan hampa. Barulah ketika tak ada lagi yang mencari, Laurel menyiapkan perbekalan. Dengan tongkat berhuruf rune, sekantung makanan, dan baju ganti, serta buku salinan berbagai nama dan kata, dia memasuki setapak dengan harapan dapat menemukan penawar. Dia berhasil, tentu saja, tapi jalan yang ditempuhnya tidak mudah.

Laurel memulai kelana dengan menyeberangi sungai di belakang gubuknya.

Sudah lama dia sadar, dengan gerak tak kasatmata pohon-pohon beranjak. Hutan semakin menjauhi desanya. Tanda-tandanya terlihat jelas. Bagian rimba yang semula rimbun, mulai kering, bahkan kerontang, hanya menyisakan padang yang melaju cepat.

Sekalipun laun, nyatanya beberapa makhluk tidak mampu mengimbangi pergerakan pohon-pohon. Banyak jasad burung di kawasan yang tadinya rimbun, begitupun hewan-hewan besar, seperti tupai, bajing, bahkan rusa. Saat berjalan di antara pepohonan yang akar-akar purbanya mencekungkan setapak, Laurel menemukan ceruk-ceruk baru di sela rumpun paku-pakuan dan lumut.

Lalu semua senyap.

Kepak sayap menggema dalam redup cuaca. Beberapa burung pergi dan beberapa lainnya datang. Hanya burung pelatuk yang bertahan memantulkan suara bagai ketukan palu.

Di depan batang-batang pohon yang tertutup bayangan, Laurel menghentikan langkahnya. Dia duduk di sebuah batu dan menengadah. Tidak ada apa pun di langit, selain manai matahari yang nyaris tidak nampak cahayanya. Laurel memangku tongkatnya dan mengambil harmonika sebesar jari kelingking yang senantiasa dikalungkannya di leher. Dia mencoba meniru kicau burung-burung dan menerjemahkannya sebagai lagu — sebuah nada Fa yang panjang, barangkali? Atau So? Mereka saling beradu rinai sampai salah satunya menyerah. Laurel dengan harmonikanya. Burung-burung dengan siulnya.

Saat menjelang senja, Laurel memutuskan bermalam di padang datar luas yang tersembunyi di ujung tanjakan. Dia mengambil persediaan air, tapi menyurutkan niat. Karena tidak tahu harus berapa lama berada dalam hutan, dia tidak mau menghabiskan perbekalannya terlalu dini.

Laurel menghangatkan wajahnya dalam tudung. Suara burung hantu menandakan malam sebentar lagi datang. Kabut menyelinap cepat dan merabunkan pandangan. Laurel memandang sekitar, berharap tak menemukan hewas buas. Beruang lelap dalam gua musim seminya, tapi serigala dan macan kumbang tidak. Tidak ada apa-apa, pikirnya, setengah lega. Dia mencari sepetak tanah yang cukup hangat baginya untuk melewatkan malam, tapi menemukan yang lebih baik.

Ada tanggul sungai kering di padang rumput. Cukup dalam untuk menghindari hawa dingin dan hewan buas. Laurel merayap turun memasuki bagian bawah sungai. Tanah yang keras di sekelilingnya melindungi punggung dan kepalanya. Dengan menopangkan tangan pada batu-batu yang menyembul di antara dinding, dia melandai dengan sangat hati-hati. Tidak ada tiupan angin yang mampu mencapai bagian dalam tanggul. Mantel bulu menjaga tubuh tetap hangat. Tak jauh di sebelah sungai, ada cemara purba yang, meski sudah tak hijau lagi, di dahannya tersisa daun-daun tua. Laurel menyandarkan tubuh dalam naungannya.

Untuk berjaga-jaga, Laurel mengumpulkan ranting-ranting dan daun-daun basah yang terserak di sekitar. Jumlahnya cukup untuk membuat kayu bakar, tapi sebisa mungkin, dia ingin membuat unggun yang menyala sepanjang malam. Setelah berjalan seharian, dia butuh cukup tetirah.

Dia mengembuskan napas berat, lalu memanjat undakan bebatuan dan menyembulkan kepalanya di bibir tanggul. Sepertinya ada beberapa ranting lagi di jalan setapak. Dia memakai topi dan penghangat telinga, lalu menaikkan syalnya. Ketika memasuki hutan, suhu turun cepat. Butir-butiran salju menyentuh hidungnya, kabut menebal.

Dia mundur selangkah ketika melihat Batas Kabut yang memisahkan dunia ini dengan dunia lainnya. Jaraknya setengah mil. Di dalamnya, ada elf dan peri yang ramah. Namun, sekali kau memasukinya, sukar bagimu untuk keluar. Laurel terpaksa mencari jalan lain.

Setelah mengumpulkan ranting-ranting, daun-daun, dan biji cemara yang tersebar di dalam hutan, dia kembali memasuki tanggulnya yang nyaman. Dia menyusun batu-batu, menumpuk ranting, lalu melapisinya dengan daun-daun. Terakhir, dia menyiramnya dengan biji cemara. Pendiangan telah siap, tapi dia tidak langsung menyalakannya. Sekarang belum terlalu dingin. Meski begitu, dia tetap menyalakan Api Magi.

Api Magi berbeda dengan api biasa. Api Magi hanya cahaya putih yang tidak menyengat, membakar, atau bersuhu. Ia dingin seperti kilau bintang dan teduh bagai nur kunang-kunang. Itu sihir yang mudah, tetapi indah, dan Laurel menyukainya.

Selain menuntut ketepatan kata, sihir juga membutuhkan keakuratan irama. Keliru menyelaraskan nada, bisa mengakibatkan aliran yang kurang efektif dan cenderung lemah. Untuk mengaktifkannya, kau harus menyanyikan mantranya dengan sangat hati-hati, dan mengeja segenap kata dengan sepenuh jiwa. Sihir adalah Kata. Sihir melepaskan kekuatan Kata. Di antara semua Kata, Cahaya satu-satunya yang ada di mana-mana, bahkan dalam gelap sekalipun.

Dengan mengandalkan cahaya temaram Api Magi, Laurel mengambil buku dalam mantelnya, lalu membaca dan mempelajari sihir-sihir baru. Karena dia sudah mengunci kekuatannya, tidak ada satu pun mantra yang bekerja. Di luar, salju turun semakin deras, udara dingin menembus kulit. Laurel menyalakan unggunnya. Ternyata, salju yang diterkanya turun sepanjang malam, hanya berlangsung sesaat. Cuaca mendadak cerah.

Laurel mengambil makanan dan buah-buahan yang dia kumpulkan dalam perjalanannya. Dia membuka kotak permen dan mengambil isinya sebuah. Seraya mengulum permennya pelan-pelan, dengan lutut kanan menopang dagu, dia mengumpulkan kacang-kacang hazel dalam wadah besi, mengupas sebutir cokelat, dan mengambil biji-bijinya yang putih, lalu mengucapkan sebaris mantra.

Viola! Laurel tersenyum puas memandang selai cokelat buatannya. Dia mengambil dua tangkup roti yang sudah membeku dan mengoleskan permukaannya dengan selai.

Pahit! keluhnya, seraya menjulurkan lidah. Dia juga mengambil segelas salju dan menaruhnya di samping api. Setelah mencair, dia mencelupkan daun-daun kering melati, lalu menyesapnya lamat-lamat.

Seketika cuaca meremang dan gelap menelan udara. Laurel berbaring membelakangi unggun dengan berbantalkan batu. Dia memeluk tongkatnya dan menyanyikan mantra-mantra yang indah. Sebelum nada terakhir jatuh, dia sudah terlelap.

Langit masih gelap ketika Laurel membuka mata. Dia segera duduk, lalu memandang sekitar—dan terkejut saat mendapati Kabut sudah menutupi seluruh panorama. Ketika dia mengaktifkan sihirnya, barulah telinganya mendengar nyanyian elf yang indah mengundang. Dia selamat karena unggun masih menyala. Dia pun menambah kayu bakar dan membiarkan Api Magi menyelimutinya.

Selain lagu-lagu elf, dia tidak mendengar apa pun lagi, hanya hening. Laurel duduk bersandarkan dinding, menarik ingusnya, lalu menajamkan telinga. Benar, tidak ada apa-apa selain sunyi. Laurel semingrah. Untuk merapalkan mantra, penyihir membutuhkan hening. Semakin sunyi, semakin jernih sihir yang tercipta. Namun, sejak suara semakin banyak menyesaki udara, aliran pun perlahan-lahan tersendat. Dan sekarang hening datang kepadaku, bagaimana mungkin aku menyia-nyiakannya?

Dia bernyanyi tanpa berpikir, membiarkan Sang Nama merapalkan lirik dalam bahasa yang kudus dan tak dikenali. Dia melagukan berbait-bait kata yang hanya mampu diucapkannya, tanpa mampu dipahaminya. Segera saja, pohon-pohon memantulkan suaranya. Daun-daun dan dahan-dahan memantulkan suaranya. Seluruh rimba memantulkan suaranya. Laurel merasa ada di mana-mana sekaligus tidak ada di mana-mana. Dia bernyanyi dan terus bernyanyi hingga sihir menyelubungi sepetak rimba yang menjadi tempatnya bernaung. Seketika, hutan yang tadinya sepi, mulai menampakkan wujudnya. Laurel menaiki ceruk sungai, dan memandang Roh-Roh Kera menanami tanah-tanah dengan pohon-pohon kecil, Roh-Roh Pohon—mungil dan hampir transparan—berjalan mengikuti jalur berbatu. Dan, yang paling menakjubkan, Laurel melihat Roh-Awali berterbangan dengan berbagai wujud—ada yang menyerupai bunga, benang, dan bintang, dengan warna yang melampaui segala warna. Arwah-Arwah itu membentuk jalan lurus ke langit.

Sebelum pagi benar-benar datang, Laurel sudah membuka matanya. Pendiangan yang semalam dibuatnya hanya menyisakan setumpuk abu putih. Dia mengambil tongkatnya dan merapalkan Sihir Pengering. Jubah hitamnya yang basah kembali hangat.

Karena udara tidak terlalu dingin, Laurel mengikat rambut panjangnya dan berjalan tanpa mengenakan tudung. Alam belum benar-benar terjaga. Dunia masih sehening fajar pertama. Riuh kicau menggema di seantero rimba, tapi jumlahnya tidak banyak.

Laurel sudah berjalan beberapa mil ketika merasakan dengusan hangat berembus di sisi tubuhnya. Seekor serigala. Serigala besar. Laurel segera meraih pinggangnya, dan menjaga belatinya. Dia bersiap menggunakannya. Namun, sang serigala hanya mendengus malas, lalu berjalan menjauh. Laurel melambatkan langkahnya, lantas berjalan mundur.

Betapa terkejutnya Laurel, ternyata di belakangnya ada sekawanan serigala lain, tapi semua melewatinya tanpa menoleh, seolah dia tidak ada. Laurel menghitung cepat. Jumlahnya tepat selusin. Dia sudah hampir mengeluarkan pisaunya. Jantungnya berdetak masai, tapi syukurlah yang dia cemaskan tidak terjadi.

Karena mempercayai sasmita—pertanda, Laurel mengambil jalur memutar.

Semakin jauh dia melangkah, semakin muda pepohonan cemara yang ditemuinya, dan berganti dengan pohon-pohon kapuk yang tumbuh di tanah berbukit-bukit. Meski besar dan tinggi, pohon-pohon kapuk hanya menyisakan dahan yang bercabang-cabang tanpa sehelai pun daun. Bayang-bayang hitam yang melingkupi batangnya memuramkan suasana. Langit bagai lapisan dalam pada cangkang kerang. Padahal seharusnya sudah lewat tengah hari, tapi tidak ada matahari di mana pun. Cuaca dingin membekukan peluh kering yang mengalir di kening. 

Entah kenapa, Laurel merasa ada yang memperhatikannya. Dia melayangkan pandang dan menyapu seisi hutan dengan matanya, tetap saja tak terlihat apa pun selain rerumputan kering dan kerangka pohon-pohon tua. Dia bergidik ketika mendengar suara daun terinjak hancur. Dia segera membalik badan dan menarik belatinya cepat-cepat, tapi di sana hanya ada angin kerontang.

Tiba-tiba udara menjadi dingin, sangat dingin, seolah ribuan hantu mengerubunginya. Laurel menyentuh tengkuknya, lalu mendengar sesuatu—semacam patahan ranting. Dia menengadah cepat dan mendapati seekor macan kumbang menopangkan seluruh berat pada dahan tertinggi pohon kapuk. Dia menatap Laurel dengan matanya yang tajam dan liar. Laurel mengambil kuda-kuda. Seraya menggenggam belati di tangan kanannya dan tongkat di tangan kirinya, dia berjalan cepat tanpa melepaskan pandang pada pemangsanya. Hewan itu menuruni dahan demi dahan, lalu melengkingkan jeritan menakutkan. Laurel segera berlari kencang. Sangat kencang. Dia menundukkan tubuhnya dan menjaga tongkatnya tetap lurus agar tidak menghalangi angin. Tangan kanannya yang memegang pisau dia rapatkan di dada. Tetapi sangat sulit menahan laju ketika gundukan tanah lagi-lagi menghalangi jalannya.

Segera saja, hewan itu menjelma bayang-bayang yang berlari beberapa meter di samping Laurel. Dia menyamakan kecepatan dengan mangsanya, dan menunggu waktu yang tepat untuk menerkam. Jeritan menakutkan terdengar lagi dan Laurel merasakan seluruh kuduknya berdiri. Dia mencari sebidang tanah yang datar di antara bukit-bukit, lalu berkali-kali meneriakkan “Tarr’aingthar!” dengan tongkatnya—itu mantra pengumpul kabut. Tapi sia-sia. Meski sempat tertinggal, sang predator selalu mampu mengejar mangsanya lagi dan lagi.

Saat mendengar suara sungai, dada Laurel membuncah. Dia menemukan harapan.

Tapi terlambat.

Macan itu, dengan gerakan secepat kilat, dengan tiga lompatan yang tangkas dan tegas, menerkam tangan kanan Laurel.

Laurel berteriak dan berguling, lalu buru-buru memutar tubuhnya. Sang pemangsa berdiri di atas Laurel, bersiap menerkam, tapi Laurel, dengan kecepatan yang bahkan sulit dia percayai, menusukkan belatinya di mata kiri hewan itu. Saat cakarnya terlepas, Laurel segera berlari setengah tertatih seraya menahan tangan kanannya yang terluka parah. Rasa takutnya semakin besar justru ketika rasa sakit mulai meninggalkannya. Dia mengabaikan tongkat rune-nya dan menjatuhkan diri di sungai berarus deras. Dan hanyut.

Seraya menatap dengan separuh matanya, macan itu berdiri di sisi sungai. Dia sempat ingin melompat, tapi memutuskan tetap mengikuti mangsanya di sisi sungai. Akhirnya dia menghilang—mungkin karena menemukan mangsa yang lebih mudah. Untuk sejenak, dalam kilasan samar, Laurel menyesali perbuatannya. Terima kasih, bisiknya. Dan maaf. Seandainya aku sempat berpikir, alangkah lebih baik kau memangsaku saja. Setidaknya aku bisa mengenyangkanmu. Tapi di sinilah aku, sebentar lagi mati tenggelam.

Selama hanyut dalam arus sungai, Laurel berkali-kali menabrak bebatuan. Karena daya hidup mulai meninggalkannya, dia memejamkan mata dan menyerahkan takdirnya. Kehidupan dan kematian hanyalah dua pilar keseimbangan. Di dalam kehidupan, ada kematian. Di dalam kematian, ada kelahiran kembali. Kematian adalah harga yang harus aku bayar untuk menebus Kehidupan.

Setelah lama terombang-ambing, tubuh Laurel memasuki gua besar di antah berantah. Cahaya samar kunang-kunang menerangi dindingnya. Arus sungai melambat dan menenang, seolah hendak mengantarkan Laurel ke pantai yang ditumbuhi satu pohon raksasa.

“Bangunlah,” Laurel mendengar seorang berkata. Dia membuka matanya dengan sangat hati-hati. Di hadapannya, berdiri seorang perempuan yang wajahnya mirip dengannya—satu-satunya yang berbeda hanya busana yang dikenakannya. Laurel mengenakan jubah dan mantel hitam, gadis di hadapannya mengenakan pakaian putih cemerlang yang bercahaya.

“Nah, apa yang membuatmu begitu gigih, saudaraku?”

Laurel bergeming sesaat sebelum menemukan jawabannya. “Wabah—” Laurel terbatuk-batuk.

Alih-alih menanggapi, dia menunggu Laurel melanjutkan kata-katanya.

“Ada wabah di desaku dan aku berusaha mengatasinya dengan mencari tumbuhan mujarab yang dapat mengobati segala penyakit. Tumbuhan tersebut hanya mekar di puncak gunung Tortiles. Namun, hewan buas menyerangku saat aku hampir sampai. Aku—meskipun masih muda, tabib desa. Aku bertanggung jawab—” Laurel memegang tangannya yang terluka. Laurel menangis terisak-isak hingga suaranya hampir hilang.

“Apakah penduduk desa layak menerima cintamu? Perjuanganmu?”

Laurel memaksakan senyum. “Aku mencintai mereka, dan itu cukup. Aku tak ingin memberikan cinta hanya kepada mereka yang berhak menerimanya.”

“Sayangnya,” perempuan itu berkata, “tidak ada tumbuhan semacam itu di sini atau di mana pun. Tapi kau telah sampai, Laurel.”

Laurel tersenyum letih.

“Air yang mengalir di sekitarmu adalah Air Kehidupan. Ia mampu menyembuhkan apa pun. Bahkan bekas gigitan macan.”

Laurel menatap lengannya. Lukanya sudah menutup. “Tapi aku membutuhkan ratusan wadah untuk membawanya.”

“Kau tak bisa membawanya dengan cara apa pun, bahkan jika kau punya ratusan wadah. Coba saja.”

Laurel menangkup air itu dengan tangannya. Dia juga memasukkannya dalam botol minumnya. Tapi usahanya tidak membuahkan hasil. Air itu menguap saat menyentuh udara. Laurel menunduk lemas.

“Tapi, kau dapat menukarny—.”

“Akan kutukar dengan hidupku!”

“Itu harga yang terlalu mahal. Kau cukup menukarnya dengan sihirmu.”

Gadis itu tersentak, lalu mundur selangkah. Rasa takut menyelubungi hatinya.

“Aku bisa mengirim air ini ke desamu. Namun, sebagai gantinya, kau bukan lagi penyihir. Kau masih mampu merapalkan Nama-Nama dan menyanyikan Bahasa Purba, tapi takkan ada yang terjadi. Mantra yang kaurapalkan hanya menjadi lagu biasa.”

Laurel menggeleng. “Tidak.”

Aku tak terkena wabah dan aku tak bertanggung jawab atas keselamatan penduduk desa. Biarkan mereka menanggung apa yang sudah seharusnya ditanggung. Alam mempunyai kebijaksanaan sendiri, dan bukan suatu dosa jika aku membiarkannya bekerja seperti adanya. Aku lebih mencintai sihirku daripada mereka—bahkan melebihi Kehidupan itu sendiri. Telah bertahun-tahun aku menderita tinggal di desa itu. Tak sedikit yang menuduhku pembawa sial atau pencipta wabah. Aku tak mencint—

Perempuan itu menatapnya. Dia mengambil mangkuk di balik jubahnya, lalu menciduk sedikit Air dari pinggiran sungai. Dia menyerahkannya pada Laurel. “Minumlah, kau pasti kehausan.”

Laurel menenggaknya.

“Nah, aku telah menyembuhkanmu.”

“Dari apa?”

“Dirimu sendiri.” Perempuan itu tersenyum. Laurel terdiam.

“Akan—akan kuserahkan. Sihir ini.”

Setelah mengatakan itu, Laurel terjatuh. Namun, perempuan itu segera menangkapnya. Dia membaringkan Laurel di pangkuan.

“Sebelum kesadaranku hilang, tolong beritahu aku,” bisik Laurel dengan sisa kekuatannya. Perempuan itu mengelus rambut Laurel.

“Apa yang hendak kauketahui, anakku?”

“Ini—di mana?”

“Ujung dunia. Inilah ujung semua tempat, semua titik, semua ruang, dan waktu di seluruh Semesta. Tapi hanya yang diundanglah yang boleh mendatanginya.”

“Kau—kaukah yang mengundang?”

Perempuan itu menggeleng. “Aku adalah dirimu—bagian dari jiwamu,” dia memandang pohon yang menaungi mereka. “Dialah—Sang Nama—Pohon Kehidupan—yang membiarkan akar-akarnya menjadi sumber kehidupan di jagat raya—dialah yang mengundangmu. Hatimu yang bersih menjadi jalan menuju Kehidupan.”

Laurel termenung. Lalu memejamkan matanya. Perempuan itu mengecup keningnya.

***

Ketika terjaga, Laurel sudah berada di belakang rumahnya. Salju turun lebat dan memutihkan seluruh hutan. Dia berjalan tertatih, menangkupnya sebutir. Ini bukan salju biasa. Ini—ini Air Kehidupan.

Kau menepati janji.

“Selalu.”

Laurel mengambil dahan panjang untuk dijadikan pengganti tongkat rune-nya yang hilang, lalu membisikkan sepatah Kata, “Tine!” Tapi percuma. Tidak ada sepercik pun cahaya yang menyala. Meski begitu, tetap saja dia menyanyikan seluruh baitnya dengan suara selembut mungkin, lalu berjalan menuruni bukit. Sesampainya di desa, dia mendapati segalanya baik-baik saja. Tidak ada yang batuk. Tidak ada yang sesak. Tidak ada yang mati. Semua bersorak-sorai menyambut mukjizat itu. Anak-anak bermain di lapangan, para ibu bercengkerama di taman—semuanya bersenang-senang.

“Salju ini—salju ini menyembuhkan kita!”

“Tuhan memulihkan kita!”

“Tuhan mahabesar!”

Laurel menopangkan tubuhnya di balik sebatang pohon. Jubah hitamnya kusut masai dan daun-daun kering memenuhi rambut basahnya. Penampilannya sangat berantakan. Dia merasa letih. Bekas luka pada tangan kanannya mulai menusuk-nusuk tulang. Tapi dia tersenyum. Begitu teduh. Begitu penuh cinta. 

***

Editor: Ghufroni An’ars

Rafael Yanuar
Rafael Yanuar Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email