Jernih Menempatkan Narasi “Feodalisme di Pesantren”

Syeftyan Afat

4 min read

Dua tulisan yang terbit di omong-omong.com memantik diskusi segar mengenai tuduhan feodalisme dalam dunia pesantren. Tulisan pertama, “Mempertanyakan Tuduhan Feodalisme pada Pondok Pesantren,” mencoba meluruskan persepsi bahwa relasi antara kiai dan santri adalah bentuk relasi kuasa yang feodalistik. Sebaliknya, penulis artikel tersebut menegaskan bahwa relasi tersebut justru dilandasi oleh keikhlasan, kecintaan terhadap ilmu, dan spiritualitas. Sementara itu, tulisan kedua, “Membongkar Feodalisme di Balik Tabir Adab Pesantren,” dengan nada lebih kritis, menyisir praktik-praktik simbolik dan budaya dalam pesantren yang secara potensial—dan dalam kasus tertentu, aktual—memperlihatkan watak dominasi yang merugikan.

Kedua tulisan tersebut jelas berseberangan. Yang satu menekankan sisi luhur pesantren, sementara yang lain menggarisbawahi adanya relasi kuasa yang perlu dikritisi. Meski titik berangkatnya berbeda, keduanya sebenarnya berangkat dari kegelisahan yang sama: bagaimana memastikan pesantren tetap menjadi ruang pendidikan yang aman dan bermartabat.

Tulisan ini tidak hendak menyamakan keduanya, melainkan mencoba membaca narasi “feodalisme pesantren” secara lebih jernih—bahwa narasi tersebut bukanlah vonis kolektif, melainkan seruan kritis terhadap praktik penyimpangan kuasa dalam konteks yang spesifik.

Narasi “feodalisme pesantren” semestinya dipahami dalam kerangka itu: sebagai kritik sosial yang ditujukan pada praktik relasi kuasa yang disfungsional dalam pesantren, bukan sebagai label universal bagi seluruh pesantren atau seluruh kiai. Maka penting untuk menjaga kejernihan berpikir dalam memaknai istilah ini agar tidak tergelincir pada dikotomi simplistik antara “anti pesantren” dan “pro pesantren”.

Ada istilah yang lazim difahami oleh kalangan para santri, yaitu istilah khithab. Dalam konteks ilmu nahwu, “khithab” (خطاب) yang dimaknai sebagai objek merujuk pada objek yang dikenai perintah atau larangan dalam suatu kalimat atau ungkapan bahasa Arab. Dengan kata lain, khithab sebagai objek adalah pihak atau hal yang menjadi sasaran dari suatu tindakan atau pernyataan yang disampaikan dalam bentuk kalimat perintah atau larangan. Istilah khitob ini juga telah menjadi bahasa sehari-hari santri. Misal, ungkapan “Perintah ini khitabnya untuk siapa?” Berarti yang dimaksud adalah “Perintah ini ditujukan untuk siapa?”

Ditegaskan pula dalam tradisi ushul fiqh, bahwa setiap ucapan memiliki sasarannya sendiri. Tidak semua perintah itu mutlak, dan tidak semua larangan itu berlaku secara umum. Maka ketika ada kritik terhadap praktik relasi santri-kiai yang tampak hierarkis dan tidak rasional, itu tidak bisa serta-merta dianggap sebagai serangan terhadap keseluruhan lembaga pesantren. Kritik itu berlaku hanya pada konteks tertentu: pada kiai yang menyalahgunakan otoritas, pada sistem yang membungkam pertanyaan kritis, atau pada situasi di mana adab disulap menjadi dalih kekuasaan.

Sebaliknya, kritik tersebut tidak berlaku pada kiai-kiai yang menjalankan perannya dengan penuh tanggung jawab spiritual dan sosial. Tidak sedikit kiai yang justru menjadi penopang kehidupan santri—tidak hanya mengajar, tapi juga memberi makan, tempat tinggal, bahkan membiayai pendidikan mereka. Tidak sedikit pula kiai yang membuka ruang musyawarah, menerima pertanyaan kritis, dan membimbing santri tanpa memperalat rasa hormat menjadi instrumen dominasi. Terhadap kiai semacam ini, label feodalisme justru tidak relevan. Bahkan, berlebihan.

Demikian pula terhadap santri. Dalam tradisi pesantren, santri memang diajarkan untuk tunduk pada dawuh kiai. Namun, kepatuhan ini semestinya bukanlah kepatuhan buta, melainkan bersandar pada keyakinan bahwa perintah itu membawa kemaslahatan. Ketika dawuh seorang kiai dirasa tidak masuk akal, santri berhak dan bahkan wajib menyaringnya dengan akal sehat. Di sinilah pentingnya melatih kesadaran kritis dalam adab. Adab tidak boleh menjadi topeng yang menutup hak berpikir, melainkan jembatan antara penghormatan dan rasionalitas.

Tidak bisa dipungkiri, dalam beberapa tahun terakhir publik dikejutkan oleh munculnya kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren. Dalam beberapa kasus yang mencuat ke media, pelaku adalah seorang kiai atau pengasuh pondok yang memiliki otoritas spiritual tinggi di mata para santri dan wali santri. Di sinilah terlihat bagaimana relasi kuasa yang tidak diawasi dapat berubah menjadi jebakan. Ketundukan yang dibungkus adab menjadi medan yang rentan disalahgunakan ketika daya tanya tidak dilatih.

Baca juga:

Kasus-kasus semacam ini bukan hanya tragedi individual, tapi juga harusnya menjadi sinyal yang kuat bagi dunia pesantren untuk merefleksikan ulang sistem relasi internalnya. Kita tidak sedang berbicara tentang semua kiai, tapi pada mereka yang menjadikan adab sebagai tameng untuk memperdaya.

Kritik terhadap feodalisme di pesantren, dalam konteks ini, bukanlah serangan terhadap nilai-nilai keislaman atau tradisi lokal, tetapi ikhtiar untuk mencegah lembaga pendidikan berubah menjadi arena dominasi dan kekerasan simbolik—atau bahkan fisik.

Gus Dur dalam bukunya, Pesantren dan Perubahan, mengingatkan bahwa relasi sosial antara kiai dan santri dalam tradisi pesantren semestinya dibangun atas landasan kepercayaan, bukan berdasarkan logika patron-klien.

Statment tersebut penting, karena memperlihatkan bahwa Gus Dur sendiri—seorang tokoh pesantren—meletakkan batas yang jelas antara penghormatan yang bersifat spiritual dengan kepatuhan yang beraroma politik kuasa. Ketika penghormatan berubah menjadi kultus individu, dan ketika daya kritis dilumpuhkan atas nama “adab”, maka pesantren kehilangan semangat egaliternya.

Dalam konteks yang lebih luas, Michel Foucault –sebagaimana dikutip dalam tulisan kedua– mengingatkan bahwa kekuasaan tidak selalu hadir secara represif. Ia bisa bekerja secara halus, lewat norma-norma sosial yang tidak dipertanyakan. Maka, membiasakan daya tanya dalam budaya santri bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan usaha merawat nalar dalam lingkungan yang menjunjung adab.

Di sisi lain, penting juga bagi publik untuk tidak melihat pesantren sebagai monolit. Ada banyak varian pesantren dengan sistem nilai, orientasi, dan kepemimpinan yang beragam. Menyematkan label feodalisme secara menyeluruh hanya akan merugikan upaya internal yang selama ini terus memperbaiki diri. Kritik sosial harus hadir sebagai energi korektif, bukan vonis kolektif. Dan bagi dunia pesantren sendiri, kritik yang jernih adalah bagian dari cinta. Sebab pesantren yang adiluhung bukanlah pesantren yang kebal kritik, melainkan yang bersedia tumbuh bersamanya.

Baca juga:

Tulisan di omong-omong.com telah membuka diskusi yang sehat. Satu pihak menjaga wajah luhur pesantren agar tidak dicemari generalisasi. Pihak lain mengingatkan agar pesantren tidak memelihara potensi dominasi atas nama adab. Namun keduanya akan lebih kuat jika menyadari bahwa narasi bukanlah vonis, melainkan alat untuk membersihkan ruang agar tetap sehat dan rasional.

Feodalisme di pesantren bukanlah isu yang harus dihapus atau dibela secara membabi buta. Narasi feodalisme di pesantren adalah peringatan. Ia adalah tanbih yang khithob-nya ditujukan kepada mereka yang menyalahgunakan adab sebagai alat kuasa, bukan kepada seluruh kiai tanpa pandang bulu. Narasi ini menjadi refleksi bagi santri dan masyarakat untuk terus menyaring, menyimak, dan menimbang secara kritis—bahwa ketika relasi kuasa dibungkus dalam simbol-simbol kesalehan, pendidikan berpotensi menjelma menjadi instrumen penundukan.

Narasi feodalisme di pesantren, agaknya akan menjadi lebih utuh ketika diperjelas kepada siapa ia ditujukan. Ia perlu dirumuskan secara spesifik: sebagai kritik terhadap praktik otoritarian yang menjelma dalam relasi kiai–santri yang timpang, bukan sebagai tudingan menyeluruh kepada seluruh ekosistem pesantren. Sebab pada saat yang sama, tidak sedikit kiai yang menjalankan amanah keilmuannya dengan tulus—mendidik, mengasuh, dan membuka ruang musyawarah tanpa memperalat rasa hormat menjadi senjata kuasa.

Di sinilah urgensi kejernihan narasi menemukan maknanya. George Orwell pernah mengingatkan bahwa bahasa yang kabur hanya akan memberi “penampakan kokoh pada angin kosong.” Maka, menjaga spesifikasi dalam kritik bukanlah sekadar tugas akademik, melainkan ikhtiar etis untuk mencegah kesimpangsiuran makna yang bisa merugikan banyak pihak.

Maka penting untuk menempatkan narasi ini secara proporsional: sebagai kritik sah terhadap praktik dominasi dan penyimpangan otoritas, namun tidak untuk menafikan eksistensi kiai-kiai yang menjadikan ilmunya cahaya, bukan alat untuk menundukkan. Di antara dua sisi inilah narasi harus bergerak—menyuarakan kewaspadaan tanpa menyingkirkan kepercayaan, menjaga daya kritis tanpa mematikan ketulusan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Syeftyan Afat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email