Membaca karya-karya Murakami adalah cara paling tepat untuk menjebak diri sendiri. Di dalam sebuah labirin yang dirancangnya, kita ditawarkan berbagai macam alternatif untuk sampai ke garis finis. Namun, ternyata garis finis itu tak pernah ada. Sialnya, kita tak akan pernah sadar bahwa garis finis yang ditawarkan Murakami itu adalah omong kosong, hingga kita sampai pada akhir cerita.
Dalam Kronik Burung Pegas atau Nejimaki-tori Kuronikuru (1994-1995), pintu labirin dibuka oleh teka-teki. Pagi itu Toru Okada—yang baru saja menjadi seorang pengangguran—sedang merebus spaghetti, tiba-tiba ia menerima sebuah telepon dari seorang wanita asing yang mengajaknya membicarakan hal-hal cabul. Setelah tak menghiraukannya dan menutup panggilan tersebut, telepon itu berdering kembali. Kali ini Kumiko–istrinya–yang berbicara di balik saluran telepon. Kumiko meminta Toru untuk mencari kucing mereka yang hilang.
Baca juga:
Pencarian kucing ini menuntun Toru menyusuri labirin-labirin yang tak berujung. Dalam perjalanannya, Toru bertemu dengan seorang gadis nihilis yang bekerja di pabrik rambut palsu. Lalu Toru bertemu dengan cenayang dengan topi merah yang aneh. Lalu Toru bertemu dengan seorang letnan yang menyaksikan rekannya dikuliti di tengah padang pasir. Lalu Toru bertemu dengan seorang pemuda yang tak berbicara dan ibunya yang menjadi dukun. Dan tentu saja membuatnya menghadapi kepergian istrinya Kumiko yang begitu tiba-tiba serta membuatnya harus menghadapi kakak iparnya yang cabul untuk merebut istrinya.
Dalam perjalanan itu, setiap tokoh yang hadir silih berganti seolah membawa jawaban atau kunci dari teka-teki yang ditawarkan Murakami. Namun teka-teki itu tak pernah terjawab hingga akhir. Dan sepanjang perjalanannya, Toru sebagai tokoh utama seolah-olah berjalan sendiri. Murakami menyediakan batu-batu lompatan bagi Toru untuk mencapai garis akhir yang tak pernah ada itu. Batu itu dapat dipijak dengan baik oleh Toru, walaupun batu lompatan itu terasa tak ajeg.
Sebut saja pertemuannya dengan Malta Kano yang membawanya pada Kreta Kano untuk menggambarkan perjalanan Toru dari pijakan yang satu ke pijakan lainnya. Peran Malta Kano membawa saya menerka-nerka, di awal pertemuannya seolah-olah Malta Kano memegang seluruh kunci jawaban bagi cerita itu, tetapi peran Malta Kano berhenti begitu saja berbarengan dengan kepergian Kreta Kano ke pulau Kreta.
Kehadiran dan kepergian tokoh-tokoh dalam perjalanan Toru tak dapat diduga, semuanya terjadi seolah serba tiba-tiba. Ketiba-tibaan itu terasa begitu alami, begitu organik. Mungkin Murakami sendiri tak pernah tau apa yang akan ia tulis selanjutnya.
Realisme Magis
Selain orang-orang yang silih berganti datang ke kehidupan Toru, kepergian kucing dan istrinya membawa Toru ke tempat-tempat ajaib lainnya. Dari semua tempat penting itu, sumur di halaman belakang Rumah Gantung Leher-lah yang menjadi begitu dominan. Sumur itu membawa Toru ke realitas-realitas lainnya.
“Betul sekali,” kata Kreta Kano. “Itu saya lakukan dengan sengaja. Saya memasuki kesadaran Tuan Okada dan bersetubuh dengan Tuan Okada di situ.” (hlm. 422)
Baca juga:
Dalam kegelapan yang begitu pekat di dasar sumur itu, Toru Okada menemui realita bahwa dirinya berhubungan badan dengan Kreta Kano. Alam bawah sadar atau mungkin saja mimpi menjadi realitas magis dalam perjalan Toru mencari jawaban atas kepergian Kumiko.
Alam bawah sadar itu berulang kali membawa Toru Okada ke dalam berbagai realitas, dan yang terpenting realitas yang mempertemukan Toru dengan sosok wanita asing dan laki-laki yang melukainya di penghujung cerita.
Apa sebabnya kejadian-kejadian di dalam alam bawah sadar Toru ini menjadi sebuah realitas? Bila saja luka yang diterimanya di alam bawah sadar itu tidak berdampak pada realitas kehidupan Toru yang sebenarnya, mungkin saja kita dapat mengambil kesimpulan bahwa itu adalah mimpi belaka. Namun setiap kejadian yang dialami Toru dalam alam bawah sadarnya itu selalu terafirmasi dengan realitas hidupnya. Hal itu menggiring kita pada fakta bahwa Kronik Burung Pegas memiliki dua realitas dan anggap saja salah satunya adalah realitas magis.
Mengakhiri Kronik Burung Pegas
Kronik Burung Pegas adalah labirin yang begitu luas. Teka-teki yang tak pernah tuntas. Asumsi yang muncul pertama kali bagi kita saat membaca novel ini hampir pasti tertuju pada Burung Pegas sebagai kunci dari cerita.
Dari rerimbun pohon di halaman tetangga terdengar suara burung yang teratur seolah-olah memutar pegas, kreeeeek. Kami menyebut itu “burung pegas”. Kumikolah yang menamainya. (hlm. 8)
Suara burung pegas ini seakan-akan menjadi penghubung bagi Toru dengan Cinnamon dan Nutmeg, walaupun terasa begitu samar. mungkin itu salah satu contoh terbaik yang dapat saya sajikan dari teka-teki dalam buku ini.
Menerka dan mencari lebih lanjut jawaban-jawaban dari teka-teki yang dimunculkan di dalam cerita itu hanya membuat kepala kita semakin pusing. Pada akhirnya, untuk dapat berdamai dengan dunia rekaan Murakami, hanya ada satu cara: masuklah ke dalam kesadaran Toru Okada dan berjalanlah hingga akhir lalu hiduplah dalam labirin itu seperti Toru Okada.
Editor: Prihandini N