Satir, ironi, suram.

Maka Berbicaralah Sejarah dan Puisi Lainnya

Mochammad Fajar

1 min read

Maka Berbicaralah Sejarah

Aku ingin sejarah itu, yang ditutup dengan senjatamu.
Bukan sejarah ini. Minggir, aku sudah muak, sejarah itu yang mungkin benar.
Jangan kau tutupi lagi, jangan bungkam aku dengan menculikku.
Kenapa kau marah ketika aku melihat sejarah itu? Apakah sejarah itu penuh ular kobra yang berbisa bagimu?
Aku percaya sejarah itu selalu ingin bicara.
Dan dalam seragam lorengmu, aku melihat darah. Darah siapakah itu?
Jangan kau tutupi dengan lenganmu, karena lenganmu juga ada darah, tapi bukan darahmu.
Jangan tutupi dengan senjata, karena di senjatamu juga ada darah. Bukan darahmu.
Minggir, aku ingin lihat sejarah di darah itu. Minggir, jangan kau tutupi darah itu dengan senjatamu. Tapi senjatamu menyimpan sejarah tentang darah itu sendiri.

API

Pabrik kini sadar air telah berubah jadi api, tak tahu ada evolusi dari air yang tercemar limbah tekstil.
Api mencopot gerbang, penuh tuntutan membongkar isi kantor, karena pabrik sendiri yang telah mengubahnya jadi api.
Pabrik hampiri polisi sore itu, ketika api sudah melelehkan kulit mereka.
Uang dibayar kontan, polisi akan membubarkan api. Mereka bilang: api tak tahu diuntung!
Padahal pagi tadi, saat polisi sedang tidur siang, ada ibu yang menangis minta pertolongan hukum: anaknya diperkosa orang, tapi polisi tidur tidak bisa diganggu.
Api akan mengubah pabrik jadi abu yang dibawa angin, tidak ada pabrik lagi di kota ini.
Pabrik datang bersama polisi, kini mereka yang balik menuntut, meminta api tidak lagi membakar pabrik.
Api tetap menyebar, warna wajahnya tambah merah, kini dia ingin jadi neraka bagi pabrik dan polisi.
Api adalah air dan makanan yang membangun pabrik sampai gemuk.
Api adalah air yang penuh tuntutan ke pabrik karena mengubah dia jadi air limbah tekstil.
Sebuah tuntutan dari rasa lelah dan sakit kepada mereka yang selalu menuntut!

Pemilu

“Kami dan kalian begitu akrab waktu itu, menjelang pemungutan suara.
Kami seperti paham perasaan kalian dan memeluk kalian supaya kami jadi lebih paham.
Kami anggukan kepala sambil menangis di depan kalian. Berharap kalian tahu bahwa kami juga makan ikan asin.
Sebelum pergi, kami simpan diri kalian dalam mulut kami. Mulut kalian berkecipak. Bersorak-sorai: pilih nomer satu, pilih nomer dua, pilih nomer tiga!
Sesampai di rumah, kami mengelap seluruh tubuh kami dengan sabun anti-bakteri, lalu tidur sampai pemungutan suara tiba.

Kami menang, dan boleh masuk parlemen. Kalian sorak sorai di sana.
Kami naik kursi dan makan sampai kenyang, bahkan tidur sampai lupa jabatan kami apa.
Kalian menonton kami rapat di televisi. Tapi kalian tak mengerti kami sedang rapat apa.
Tenang, kami juga tak mengerti, kami sedang apa dan mengapa.

Kini kami ingin jujur agar tidur kami menjadi lebih pulas:
Mengapa kami simpan diri kalian pada mulut kami?
Kami butuh suara kalian. Kami butuh ember yang dapat menampung semua kebohongan kami. Itu yang kami sebut sebagai persyaratan demokrasi.
Semua pelukan itu omong kosong. Kami tidak ingin jadi kalian, itulah sebabnya kami ingin masuk parlemen.
Sebenarnya kami tak suka mulut kalian yang bau ikan asin. Cecunguk keparat yang tiap siang bau badan.
Dan maaf, mulut kami sudah wangi parfum dari Prancis. Tadi kalian baru dimuntahkan saat pengangkatan kami.

Bunga

Bunga ini untukmu, Nak. Ia tak punya makna. Tapi ini pemberian Bapak.
Malam tadi Bapak membelinya, enam ribu rupiah, dari pedagang yang matanya buta. Jika suatu hari bunga ini layu, bunga itu akan hidup selamanya di hatimu.

Kini bunga itulah yang mengiasi pusara Bapakku.

*****

Mochammad Fajar
Mochammad Fajar Satir, ironi, suram.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email