Setelah memakamkan puteri semata wayangya, Pak Pinus berjalan pulang.
Redam rintik menggema di permukaan payung, di sebelahnya hujan deras tanpa suara.
Waktu terasa padam meninggalkan warna tanah yang lembap.
Pak Pinus heran, di kota yang begini besar, hanya satu langkah yang terdengar—langkahnya sendiri. Semestinya tak sesepi ini, bukan? Semestinya ada deru kendaraan, klakson yang menjerit, orang-orang berlalu lalang, juga gemerincing koin dari kaleng gadis kecil yang melintas di atas air kotor. Tapi di mana mereka? Ke mana pun memandang, hanya mobil-mobil bisu yang tampak, juga jendela-jendela yang terkatup rapat. Setiap rumah yang dilewatinya seperti tak berpenghuni.
Gagak-gagak bertengger di tiang lampu memandangnya. Mungkin Maut sudah mengikuti dengan sabitnya yang siap memutus usia.
Kota yang sarat debu dan asap dibersihkan, udara yang kuning pekat sarat debu, jadi mengabu. Biasanya, karena terhalang tabun setebal halimun, Pak Pinus tak mampu menatap melampaui jangkauan tangannya, tapi semenjak hujan turun tanpa henti—sejak pagi hingga entah kapan—matanya jadi tak lagi rabun. Setelah polusi menipis, barulah dia sadar, hanya ada sedikit pohon di kota ini, apalagi jika dibandingkan gedung-gedung bertingkat yang entah bagaimana, sekalipun dicat dengan jutaan warna, hanya memancarkan kelabu.
Tak ada anak-anak jalanan yang biasa berkumpul di dekat tiang lampu, hanya sesekali kertas-kertas berterbangan dipermainkan cuaca—brosur-brosur cerah warna yang menawarkan rumah mewah untuk keluarga-keluarga kelas menengah yang baru menikah; diskon toko yang buka kemarin sore; wajah-wajah yang berharap ditunjuk. Pak Pinus mencium aroma hujan di sela-sela bau busuk, tapi dia tak menyukainya, sebab hanya mempertebal ingatan. Segala yang sanggup dikenangnya menjadi setegas lukisan jari di jendela. Ayah, di rumah nanti, ajari Anna melukis hujan, ya? Belum apa-apa, dia sudah merindukan puteri semata wayangnya.
Meski jauh, Pak Pinus tidak menyewa taksi ataupun becak. Alih-alih, dia berjalan lamat-lamat, menyeret kakinya pelan-pelan, dan membiarkan hatinya hancur berkeping-keping.
Bangkai tikus terbenam di mana-mana. Usus, jantung, paru, dan darah kucing dari daging yang membusuk, membuat isi perut Pak Pinus memaksa keluar. Dan dia tak sanggup menahannya. Cairan asam membasahi janggutnya yang tebal.
Plastik-plastik sampah memuntahkan sisa-sisa makanan, daging yang dikerubungi belatung, roti basi, dan popok berisi segumpal kotoran. Tapi Pak Pinus tak peduli. Diinjaknya segala tanpa berpikir—ya tahi, ya lendir, ya bangkai.
Genangan makin lama makin hitam, seakan yang jatuh bukan air melainkan darah. Mungkin memang sudah seharusnya puteri kecilnya, Anna Maria, mati saja, daripada melanjutkan hidup di kota jahanam ini, dengan tubuh yang selalu dibayangi maut.
Hujan membasahi kabel listrik, memburamkan jendela, menghunjam gedung-gedung, mengaliri genting-genting berlumut, membasuh pohon yang enggan tumbuh.
Di kelokan lampu merah, perhatian Pak Pinus terusik saat melihat gerakan selembut bisik dari salah satu kotak pembuangan, mungkin tikus, kucing, atau hewan lain yang mengais makanan. Tapi yang ditemukannya justru sebongkah jantung, sudah tak utuh lagi—beberapa bagiannya dimamah hewan-hewan pengerat, bagian lainnya dikerubungi semut dan belatung. Tapi, sekalipun nyaris tak bergerak, ia masih berdetak, mendenyutkan hidup, melanjutkan degup. Jantung anak kecil yang terlepas dari surga? —atau bayi-bayi malang yang tidak dikehendaki ibunya sendiri? Pak Pinus menggusah wirog-wirog yang mengerubungi. Semut lebih sukar digusah, tangan Pak Pinus bengkak dan ketiaknya memar tersengat.
Lalu, Pak Tua memasukkan jantung kecil itu ke dalam mantel kelabunya yang penuh tambal—terasa hangat, berdetak seirama jantungnya sendiri. Dia jadi sedikit terhibur—seolah jantung puterinya kembali berdetak. Pak Pinus tersenyum samar, pemandangan kotanya tak lagi kelabu. Masih menyengat bau busuk, sampah, bangkai, lendir, dan darah; masih terdengar raungan pemadam mendekat dan menjauh; hujan pun menguyupkannya yang tak lagi berpayung; tapi jantung kecil itu menabahkannya.
Ketika sampai di gubuk kecilnya, Pak Pinus memasuki kamar Anna Maria yang hampa dan belum berdebu. Ah, puterinya pasti marah jika dia melewati pintu dengan bersepatu, berkeliling ruangan dengan pakaian kuyup, meneteskan lendir-lendir di tehel yang selalu kilau. Mandilah, Pak Tua!
Anna Maria pasti sudah menyiapkan air hangat, menyeduh secangkir teh, lalu memaksanya beristirahat, entah di kamarnya entah di ruang tamu. Seusai menjalani hari yang berat, Pak Pinus biasa bersandar di samping jendela yang tirainya terbuka, memperhatikan lalu lalang depan rumah, dengan Anna Maria di sampingnya. Tapi Anna Maria sudah tiada. Hanya gema suaranya yang sayup dan hanya Pak Pinus yang masih mengingatnya.
Di kasur Anna Maria, berbaring bisu boneka tua kesayangannya. Pak Pinus mengambilnya, dan dengan punggung membungkuk, membawanya ke meja. Dia membuka dada boneka itu pelan-pelan, tapi jantung itu ternyata terlalu kecil. Maka, dengan gunting yang sama, Pak Pinus menoreh dadanya sendiri, mengambil jantungnya yang berdenyut masai, lalu menggunting bagian yang berisi cinta, rindu, kedamaian, dan kenangan indah—segala yang menghadirkan Anna Maria dalam ingatannya. Dia menambalnya di jantung kecil dari kotak sampah itu.
Setelah menyatu dengan jantung Pak Tua, jantung kecil itu pun menghangat. Sekali lagi Pak Tua memasukkan jantung itu ke dada boneka Anna Maria—ternyata pas. Pak Tua menjahitnya perlahan-lahan hingga tak terlihat bekas luka sama sekali.
Kemudian, dia membersihkan lantai, lalu menaruh boneka Anna Maria di bangku tua, di samping jendela yang merabun dibasuh hujan. Ia tidak terlihat hidup, tapi dalam rongga dadanya, ada jantung kecil yang berdenyut.
Anna Maria menamai boneka itu Amalia.
Kali pertama menyadari dalam rongga dadanya ada jantung yang berdegup hangat, Amalia merasakan rindu yang teramat sangat kepada seseorang yang selalu ada bersamanya, yang dia tahu, baru saja tiada. Dia ingin menangis, tapi tak bisa; ingin bicara, juga tak bisa; tapi menggerakkan tangan dan kakinya dia sanggup, pun menjelingkan matanya. Amalia memandang pantulan pot di samping radio. Bunga lili di dalamnya sudah hampir layu, mungkin butuh air. Dia berencana menaruhnya di bawah hujan agar kelopaknya cerah kembali. Itu pot yang besar, tapi sepertinya mampu kubawa. Setelah berjingkat-jingkat—dan beberapa kali jatuh sebab belum terbiasa bergerak—dengan berjinjit Amalia meraihnya, tapi saat tangannya berhasil menangkapnya, jahitan lengannya putus dan pot itu hancur berantakan, menyebabkan lantai yang baru saja dipel dikotori tanah. Dua lengan Amalia teronggok di lantai. Pak Tua yang baru saja berbaring di kamarnya langsung berderap menghampiri asal suara. Dia melihat pot itu hancur berantakan. Amalia menunduk dalam-dalam, memohon ampunan. Tapi alih-alih marah, Pak Tua tersenyum dan berkata tak apa-apa, kemudian mendudukkannya kembali di kursi. Dengan tekun, Pak Tua menjahit dua lengan Amalia dengan benang ganda.
Dengan ini, tanganmu akan lebih kuat.
Pak Tua menyapu tanah yang berserakan di ruang tamu, lalu memutar piringan hitam. Seketika saja, lagu-lagu sendu mengisi udara. Hujan masih menderas di jendela, seirama nada A B yang mewakili suara hujan dari simfoni Raindrop’ Chopin. Pak Tua menyalakan lampu warna-warni yang minggu lalu dibelinya—perlahan-lahan mengubah udara di dalam rumah menjadi beraroma Natal. Dia memangku Amalia, mengambil buku biru di sudut lemari, lalu memintanya memilih satu di antara dongeng-dongeng Hans Christian Andersen.
“Saat seorang anak meninggal dunia, malaikat Tuhan datang menghampirinya. Dengan sayap putihnya yang luhung, dia membawa sang anak terbang ke semua tempat yang disukainya selama hidup. Dengan tekun, sang malaikat mengumpulkan segenggam besar bunga, lalu mempersembahkannya kepada Tuhan Yang Mahakuasa—agar mekar di Surga, lebih cerah daripada di Bumi. Setelah menyimpan bunga-bunga itu di hati-Nya, Tuhan mengecup bunga yang paling dicintai-Nya, lalu memberinya suara untuk bergabung dengan paduan suara bahagia di tahta-Nya yang agung.”
Kata-kata ini diucapkan malaikat, saat membawa seorang anak ke Surga. Anak itu mendengarkannya, seolah bermimpi. Mereka melewati tempat-tempat terkenal, tempat si kecil sering bermain, melewati taman-taman indah yang penuh bunga-bunga indah.
“Lalu, di antara berbagai bunga yang tumbuh di taman ini, manakah yang harus kita bawa ke Surga?” tanya Malaikat.
Buku biru di tangan Pak Tua terjatuh.
Jemari keriputnya mendingin.
Ingin rasanya Amalia bertanya apa yang terjadi selanjutnya—apakah anak itu bahagia di surga?—bagaimana dengan orang-orang yang ditinggalkannya?—tapi dia tahu takkan mendapat jawab.
Lagu-lagu berhenti berdenyut, hujan baru saja puput. Amalia turun dari pangkuan Pak Pinus yang tubuhnya sudah sedingin salju, lalu berbaring miring di lantai.
Sambil termangu dalam keheningan yang tak berubah selebar apa pun dia membuka telinga, Amalia akhirnya tahu cara menangis, meski tanpa air mata.
19 September 2023
***
Editor: Ghufroni An’ars