Kebisuan Waktu
Aku mendengar nasib yang menggigil di kebisuan waktu.
Nasib yang gagal di ceruk-ceruk waktu.
Harapan yang mati muda di jurang-jurang waktu.
Waktu,
kebisuanmu adalah kesunyian malam
yang tak terjamah cahaya bulan
tak terjamah bintang.
Waktu,
keheninganmu adalah riuh ramai kota
yang membiarkan seorang anak menangisi
kematian bapaknya,
yang menidurkan seorang tukang becak
dalam kekosongan batin dan dompetnya.
Waktu,
ketabahanmu adalah tangan ibu
yang melingkari nasib baik manusia
yang melindungi anak dari nestapa.
Waktu,
mengapa kita tak berbahagia?
(Kediri, 2024)
–
Pada Sebuah Sabtu
Yahweh memberhentikan penciptaan pada hari Sabtu.
Itulah mengapa Sabtu menjadi hari untuk beristirahat
—bagi penganut Yudaisme
Sementara itu,
di Palestina tiada kemanusiaan
yang beristirahat. Tiada waktu
untuk bersedu-sedan itu.
Doa baik untuk mereka.
Sementara itu juga,
di sini kulihat wajah-wajah pilu
pada sebuah Sabtu
pada saban Sabtu.
Nasib kere melilit diri
Sabtu menjelma hari yang tabu
sebab untuk bermalam Minggu
ada airmata yang harus direbus.
Untuk diminum lalu dimuntahkan
kembali
dan terbang
dan melayang.
Menjadi kunang-kunang
yang mengingatkan sepasang kekasih
yang saling menderu napas dalam kamar sempit
tentang kematian
kemiskinan
kekosongan.
Aku melihat itu
pada sebuah Sabtu
di pinggir losmen
kota yang riuh
di Kediri
(2024)
–
Kemungkinan
Mungkinkah ketidakmungkinan itu bisa digapai?
Ucapmu pada suatu sepi.
Bukankah kita pernah saling bersekata, berseiya,
bahwa kita akan selalu menjabat tangan kemungkinan
bahwa kita akan selalu, sekaligus, mencoba menembus
batas-batas ketidakmungkinan?
Atau barangkali kita telah lupa
sebab kita tak saling bahagia.
(Kediri, 2024)
–
Waktu Itu Fana, Kecemasan Abadi
Masih kita ingat betul perkataan dari bapak Hujan Bulan Juni itu
bahwa yang fana adalah waktu, kita abadi. begitu, ‘kan, sayangku?
Bolehkah kita gugat saja hal itu, sayang?
sebab kita sudah terlalu lama tertidur dalam bayang-bayang
kemapanan.
Kita selalu takluk dan terus-menerus takjub
pada kefanaan waktu
dan keabadian kita.
Apakah kau tak mencoba merenungi, sayang?
bahwa yang fana adalah kebahagiaan
kecemasan abadi.
Kebahagiaan, sayangku, adalah ketidakmenentuan yang melulu kita pegang.
Kebahagiaan, adalah sepeda motorku yang mati lampu
yang masih melaju saat hari telah petang.
Kecemasan, sayangku, ia hadir dalam rupa tawa dan sendu
apapun itu.
kecemasan tak mengenal-dikenal waktu
tak pernah merasa jemu.
kecemasan itulah, sayangku, yang selalu tabah berdenyut
di nadimu
meski hidup acapkali naif dan palsu.
(Kediri, 2024)
–
Kehidupan Selepas Pukul Enam Pagi
Kendati hari tetap berjalan seperti biasa, waktu yang tetap begitu,
dan napas yang tetap bernas
namun kehidupan selepas pukul enam pagi adalah suatu hiatus
dalam hidup.
Serupa arloji yang detiknya berhenti berdetak
serupa teks yang kehilangan konteks
serupa puisi ini yang tak lagi puitis.
Barangkali, selepas pukul enam pagi
manusia mulai melepas bajunya.
Kita, manusia, memilih hidup dalam telanjang:
menjadi praktis dan teknis.
Selepas pukul enam pagi, anak-anak bergegas masuk
ke inkubasi industri yang diluhurkan negara:
sekolah.
Selepas pukul enam pagi, orang-orang bertungkus lumus
merajut keterasinganya sendiri yang dilanggengkan
negara: buruh.
Selepas pukul enam pagi, manusia memupuk-tumbukan
kesepiannya, melupakan waktu, lalu
dihempas kenyataan:
bahwa hidup tak ubahnya rentetan kekalahan
kehampaan.
Selepas pukul enam pagi, kemanusiaan perlahan kita lepas
selepas-lepasnya, selepas pukul enam pagi
yang melepas kehidupan
dari hidupnya.
(Kediri, 2024)
*****
Editor: Moch Aldy MA