Generasi 90-an tentu tidak asing dengan kisah perjalanan Biksu Tong mencari kitab suci. Memori akan serial Kera Sakti tersebut kembali hidup ketika melihat ritual thudong yang dilakukan oleh 32 biksu dari Thailand. Para biksu melakukan perjalanan panjang spiritual menuju Candi Borobudur di Magelang. Puncaknya mereka akan melaksanakan ibadah Waisak di sana.
Terlepas dari tradisi agama Buddha, religi keliling yang dilakukan oleh para biksu tersebut dapat dimaknai secara universal. Terlebih lagi, ajaran ziarah ( ziarah ) dapat ditemukan dalam setiap agama dan keyakinan. Apalagi, tanpa direncanakan, ritual thudong tahun ini dilakukan hampir bersamaan dengan ibadah haji. Baik thudong maupun haji mempunyai substansi yang sama, perjalanan spiritual menghadap dan menghadap sang pencipta.
Lantas, pelajaran apa yang bisa diambil dari pengembaraan ini?
Baca juga:
Pertama, laku sederhana. Semua sepakat bahwa kehidupan para biksu adalah simbol kesederhanaan. Mulai dari pakaian yang digunakan hingga kehidupan sehari-hari yang jauh dari hiruk-pikuk keduniaan. Perjalanan para biksu yang memilih berjalan kaki menyusuri jalan panjang, alih-alih menggunakan transportasi mewah, adalah bukti nyata.
Sejatinya, nilai-nilai kesederhanaan ini juga diajarkan oleh setiap agama. Ironisnya, justru banyak pemuka agama yang hidup jauh dari teladan ini. Mereka bermegah-megahan dalam membangun rumah ibadah hingga berlomba-lomba menggunakan fasilitas dan teknologi terbaru dari uang umat yang membiayainya.
Padahal, kesederhanaan bukanlah antitesa dari kekayaan. Banyak pula orang berharta yang hidup sederhana. Karenanya, yang penting untuk dipahami adalah pola pikir dan sikap dalam menyikapi harta benda. Seseorang yang hidup sederhana tentu tidak menjadikan materi sebagai obsesi kehidupan.
Hal ini kembali bisa dilihat dari teladan para biksu. Mereka bisa hidup mewah dari sumbangan yang diberikan umat Buddha. Akan tetapi, para biksu tersebut lebih memilih hidup dalam perjuangan melawan hawa nafsu.
Arti selanjutnya dari ritual thudong adalah perjuangan. Perjalanan yang penuh perjuangan ini jelas dapat dilihat dan ditangkap oleh semua orang. Berjalan kaki dari Thailand ke Indonesia butuh fisik yang tangguh. Kekuatan fisik tersebut dapat lahir dari semangat jiwa yang membara untuk melaksanakan teladan Sang Buddha. Berjuang untuk hidup sederhana ini adalah jalan sepi di era digital saat ini.
Alih-alih berjuang untuk laku hidup yang apa adanya, manusia modern justru berlomba-lomba hidup dengan semangat ada apanya. Semua diukur dengan kekayaan hingga menghalalkan segala cara demi menjadi kaya. Dengan cara pikir ini, metode atau proses tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang urgen. Hal yang terpenting adalah mengejar hasil. Terobsesi dengan hasil tanpa mempertimbangkan jalan yang dipilih membuat orang banyak yang terjerat sikap koruptif, destruktif, dan konsumtif.
Peziarahan biksu ini menjadi kritik keras terhadap fenomena modernitas yang fokus pada kecepatan ketimbang ketepatan. Semua dikemas serba instan, bahkan makanan pun dibuat dalam sekejap mata. Kecepatan ini akhirnya menggerus semangat menghargai proses yang menjadi kearifan masyarakat tradisional. Fenomena serba cepat ini juga berujung pada ketidaksehatan manusia dan hidup yang tidak seimbang.
Betapa sabar dan kuatnya para biksu menjalani proses yang tidak singkat. Kita yang terbiasa berjalan cepat tentu akan sulit mengikuti ritme sang biksu.
Makna lain yang dapat diambil adalah perjalanan panjang tersebut menjadi cara para biksu untuk menyapa mereka yang berbeda. Berjalan keluar dari Thailand adalah simbol meninggalkan zona nyaman. Para biksu memilih melihat orang-orang yang berbeda suku dan agama. Dari satu tempat ke tempat lain, negara ke negara, berbagai ruang perjumpaan terjadi.
Betapa sering kita hidup dalam tempurung kelapa. Hanya berjumpa dengan mereka yang berfrekuensi sama. Alhasil, kita tidak dapat belajar lebih jauh. Bahkan, yang lebih parah, adalah memonopoli kebenaran karena tidak mau mendengar pandangan yang berlawanan. Padahal, dunia ini terlalu luas untuk disempitkan dengan kacamata pribadi.
The last but not least, laku peziarahan ini juga memberikan pelajaran penting bagaimana menyatu dengan alam. Perjalanan yang selama ini kita lakukan dengan menggunakan teknologi, disadari atau tidak, memberikan luka dan rasa sakit bagi semesta. Mulai dari pembabatan hutan untuk jalan raya hingga pencemaran udara.
Tentu, dalam hal ini, kita tidak bisa melepaskan peran teknologi. Jika setiap hari beraktivitas dengan berjalan kaki, akan memakan waktu dan efisiensi. Poin pentingnya bukanlah anti penggunaan teknologi, tetapi menumbuhkan kesadaran ekologi. Pemakaian teknologi sebisa mungkin dilakukan dengan mempertimbangkan ekosistem semesta.
Baca juga:
Belajar dari perjalanan para biksu, siapkah kita menciptakan rute peziarahan kehidupan? Peziarahan yang membawa perubahan pada pola pikir. Dengan berkelana melihat semesta, kita akan menemukan cerminan diri yang terpampang nyata.
Sebagaimana alam raya menyimpan banyak misteri, diri ini mengandung banyak teka-teki. Selayaknya diri ini yang tidak mau disakiti, sikap ini juga yang harus kita lakukan kepada bumi pertiwi. Dengan berjalan, kita akan menemukan sosok diri dalam pribadi sang liyan.
Editor: Emma Amelia