Anakan Domba di Bawah Pahat Purnama

Devy Rianita Hanifah

1 min read

Riwayat Domba yang Mendatangi Ajal

Katanya,
kasih adalah apa yang nyata tampak
: pemantik paksa kebenaran.

Pada lapang itu kaubawa aku,
mendekap bebas di rerimbun rumput
dan nujum pandang ihwal mana yang akan lebih dulu
kausantap.

Kau menyemai doa
pada duka yang akan kuperankan
—menakhlikkan muslihat
senyap kaurengkuh aku
di ujung ajal.

Serupa bocah dalam sedan hunian,
kau adalah tuan yang pernah kujuakkan,
juga tuan yang berujung sesal kujadikan tunjuk arah penentu langkah.

(Klaten, 2022)

Anakan Domba di Bawah Pahat Purnama

“Hari ini seekor anakan domba memangku duka,
memandang binar purnama
yang di mana terpahat samar durja kawannya di sana.”

Sedari pagi,
semua tampak asing
sejak tuan datang mewartakan sedan.
“Sedari itu aku tak lagi dapat percaya.”

Di tangan tuan
belai kasih memahat perangkap
membuai indukku agar penuh perah didapatnya.

Pun tak lain jua denganku,
nan nyalar dihujani munajat
agar kelak tinggi hargaku
: pendek umurku.

“Sedari kini, aku tak benar-benar tahu tentang mana yang selayaknya kupercaya.”
Segala tampak suram,
sebermula tuan menyemai harap
di antara kasihnya,
petaka membelukar
menumbuh waspada.

(Klaten, 2022)

Api yang Bergemuruh Liar di Kepala Bapak

Di mata bapak
murka adalah api yang membakar,
—juga menyala terang.

Barangkali ia mampu mengabukan apa yang mulanya utuh
meski tak jarang jua ia meredam segala yang buruk
membawanya meniti terang
—sarwa benderang.

Kadang kala api keluar dari mulutnya
serupa ular meramu bisa
: tulah membawa petaka,
pada apa-apa saja yang semula tampak baik-baik saja;
meski tak jarang jua
api itu pula yang menjelma teduh,
meredam segala prahara
—pekik melaju bergemuruh.

Di kepala bapak, api menjejal
membakar siluet tenteram
yang bersarang dalam angan
: memercik lengang—penat—murka
& tulah.

(Klaten, 2022)

Corak Prihatin di Netra Ibu

Pada sepasang mata
putih pudar terairi getah
yang kelak di tiap-tiap malam
akan nyalar siaga berpangku doa.

Di sana ibu menanak harap
agar panjang nyawaku dirangkul ihsanat
: suang menemu mujur
lekas meramu sembuh pada tiap bilurku.

Di sepasang netra ibu, mutiara bersemayam
putih memudar
pasi merengkuh teduh
: mematri prihatin agar kelak tak lagi ada sembilu
—mengoyak turun-temurun.

(Klaten, 2022)

Resah Kawanan Kurcaci Penggalas Retak Atap

Tiap waktu,
selalu ada hal yang membuat kawanan kurcaci berpagut ragu
: meski malam tak pernah lelah menyampaikan pesan
yang ditujukannya kepada gagak
—agar tak terus menabur petaka.

Di durjanya, gerising tampak nyata memahat penat—
engap—sedan—
dan resah yang tak letih mengembara
melintasi tapak memoar usang.

Sebab di bawah retak atap
tempat di mana detak menemu patah,
rumah memaksa ramah tak lagi mewarna
—legam kuasa mengiris atma
: memaut resah,
akan bagaimana kelak kawanan kurcaci memulai kembali awal lembaran.

(Klaten, 2022)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Devy Rianita Hanifah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email