Sudah 210 tahun lamanya, sejak Amerika Serikat (AS) mencitrakan diri sebagai negara yang murah hati dan suka memberi. Ini bermula kala AS berperang melawan Britania Raya tahun 1812 karena alasan pembatasan perdagangan dan perekrutan ilegal Britania Raya terhadap pelaut-pelaut AS. Tujuan perekrutan itu adalah sebagai langkah memperkuat pertahanan Britania Raya yang juga berkonflik dengan Prancis. AS merasa kedaulatannya tidak dihormati Britania Raya, sehingga perang 3 (tiga) tahun terjadi dari 1812-1815.
Baca Editorial:
Selama masa perang, seorang pedagang asal New York bernama Samuel Wilson menjadi pemasok daging untuk militer AS. Pada kemasan daging tersebut tertulis kode “US” (United States). Namun, para militer yang menerima paket tersebut salah mengartikan makna “US” yang dianggap sebagai akronim dari “Uncle Sam” atau Paman Sam.
Cerita sosok Samuel Wilson (Paman Sam) sebagai sosok pelindung, pengayom dan penolong kemudian berkembang begitu mudah dan cepat setelah dipublikasi di media-media nasional AS. Bahkan karakter Paman Sam terus dimodifikasi yang mengarah pada sosok laki-laki tua bejenggot putih dan dermawan mirip Sinterklas yang juga punya sifat suka memberi hadiah pada hari Natal. Personifikasi terhadap Paman Sam terus dikembangkan dan berujung pada gambaran dunia untuk melihat pemerintahan Amerika Serikat.
Citra Paman Sam membuat AS seolah menganggap dirinya sebagai sosok ayah yang mengayomi anak-anaknya. Keterlibatan AS dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II menjadi bukti banyak negara-negara yang terlibat meminta pertolongan. Bantuan yang diberikan AS sangat mendasar, sama seperti yang pernah dilakukan Samuel Wilson yang mengirimkan daging sebagai bahan makanan pokok bagi militer AS. Bedanya, di masa Perang Dunia, AS mengirimkan bantuan militer, persenjataan dan alutsista. Pun jika negara-negara tersebut berada pada ujung kekalahan, maka AS akan turun langsung dengan paket militer yang hanya mereka yang punya, yaitu Bom Nuklir.
Ketergantungan dunia terhadap AS terus membuncah, utamanya ketika dunia memasuki Perang Dingin (1946-1991), hingga masa sekarang ketika dunia memasuki era digitalisasi. Perbedaannya, motif ketergantungan bukan hanya berkaitan dengan politik dan militer, akan tetapi merambah ke urusan ketergantungan ekonomi.
Pelbagai operasi rahasia AS yang memanfaatkan jaringan Central Intelligence Agency (CIA) telah banyak mengobrak-abrik kedaulatan sebuah negara. Utamanya negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam gas, minyak bumi dan tambang mineral lain yang bernilai ekonomi tinggi.
Jika Anda pernah membaca buku yang ditulis oleh John Perkins (2004) berjudul “Confession of an Economic Hit Man” atau Pengakuan Seorang Bandit Ekonomi, setidaknya kita akan menemukan gambaran umum, bagaimana cara kerja politik luar negeri Amerika Serikat yang menyusupkan agen ekonomi untuk menciptakan ketergantungan.
Negara-negara seperti Panama, Ekuador, Kolumbia, Arab Saudi, Iran dan Indonesia disebutkan dalam buku tersebut menjadi korban keserakahan AS. Skemanya adalah agen-agen bandit ekonomi yang dikirim untuk mempromosikan kepentingan Korporatokrasi (Koalisi pemerintah, bank dan korporasi) yang dikendalikan oleh langsung AS dengan ragam cara.
Mulai dari cara yang paling halus yaitu penyuapan, cara yang tergolong sedang yaitu kudeta, sampai cara yang paling kasar yaitu pembunuhan terhadap pemimpin berpengaruh. Hal ini dialami oleh Pemimpin Panama bernama Omar Torrijos yang dibunuh tahun 1981 akibat menolak bekerja sama dengan para bandit ekonomi AS.
Selain itu, AS juga tidak segan-segan untuk melancarkan intervensi militer melalui invasi ke sebuah negara bilamana Departemen Pertahanan (Pentagon) merasa perlu melakukannya untuk kepentingan yang lebih besar. Misalnya ke Libya, Venezuela, Irak, Iran, Afganistan hingga Suriah, dengan motif yang berbeda-beda. Ada negara yang diinvasi oleh AS dengan motif melawan terorisme atau alasan ideologi (komunisme), seperti yang dilakukan oleh AS saat menginvasi Vietnam di sekitaran tahun 1957-1975.
“Hemat saya, Amerika Serikat itu seperti musang, jika kita membiarkannya masuk ke kandang ayam maka yang akan tersisa adalah bulu dan darah”
Intervensi AS di G20 Bali
Pada hari Kamis, 24 Maret 2022 Presiden Amerika Serikat, Joe Biden memberikan pernyataan soal pelaksanaan G20 di Bali yang dikaitkan dengan posisi Rusia.
Isinya secara verbatim kira-kira seperti ini:
“Seharusnya Rusia dikeluarkan dari pelaksanaan G20 dan Indonesia tidak mengundang Vladimir Putin. Kalau Indonesia tetap menghadirkan Rusia, maka Ukraina juga harus diundang walau bukan anggota G20”
Pernyataan Joe Biden tersebut tentu mengidentifikasikan sedikitnya 2 hal penting yang akan menjebak Indonesia:
Pertama, pada kalimat “seharusnya Rusia dikeluarkan dari pelaksanaan G20 Bali”. Semua negara anggota G20 paham bahwa Rusia adalah mitra strategis bagi banyak negara di dunia. Pasokan gas dan minyak bumi Rusia yang berasal dari Siberia berkontribusi besar dalam kestabilan ekonomi sebuah negara. Pada posisi ini, ketika Rusia tidak diundang Indonesia ke G20 Bali, maka akan menyebabkan kemarahan bagi sekutu dari Rusia yaitu China, India, Meksiko, Arab Saudi dan Afrika Selatan.
Terbaru adalah Turki. Melalui pemimpinnya, yaitu Presiden Erdogan, Turki menolak memberi sanksi pada Rusia karena ia tidak ingin masyarakat Turki mati kedinginan. Alasannya, selama ini Rusia merupakan mitra strategis Turki untuk urusan gas dan minyak bumi. Sikap Erdogan ini pada akhirnya memaksa Joe Biden keliling Eropa. Melalui pertemuan dengan pemimpin Uni Eropa, Biden meyakinkan bahwa negara-negara Eropa yang memberi sanksi pada Rusia tetap aman yang diklaim sampai 2030.
Kedua, Pada kalimat “jika Indonesia menghadirkan Rusia, maka Ukraina juga harus diundang walau bukan anggota G20”.
Jelas forum G20 adalah konfrensi ekonomi bukan politik. Artinya tidak ada urgensi Ukraina harus hadir dengan keterkaitan ekonomi. Membawa Ukraina masuk ke G20 berarti membawa forum ini ke arah politik global yang punya keterkaitan dengan militer dan pertahanan.
Ketika Indonesia mengundang Ukraina, berarti kita memasuki arena perang. Alasannya, Indonesia dianggap tidak netral karena bersekutu dengan AS untuk membangun garis demarkasi politik terhadap negara sekutu Rusia di forum G20.
Artinya, saat ini Indonesia sedang didikte oleh AS dengan memaksa menjadi bagian dari negara yang mengucilkan Rusia. Tentu tindakan AS untuk memengaruhi Indonesia adalah dengan upaya melanggar kesepakatan G20 dengan membawa forum ini keluar dari jalur urusan kepentingan ekonomi.
Siasat Joe Biden
Menurut pendapat saya, selain alasan kepentingan nasional Amerika Serikat yang harus bertahan sebagai negara adikuasa dengan citranya sebagai negara yang kuat, murah hati dan suka memberi bantuan. Intervensi Joe Biden pada rangkaian rencana pelaksanaan G20 Bali tidak jauh-jauh dari kepentingan pribadinya sebagai seorang politisi serta kepentingan Partai Demokrat sebagai partainya bernaung. Apalagi pada November 2022 nanti, AS akan melaksanakan Midterm Elections (Pemilihan Paruh Waktu).
Singkatnya, di AS terdapat 2 (dua) pemilu yaitu Pemilu Presiden yang dilakukan sekali 4 tahun untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta Midterm Elections (Pemilihan Paruh Waktu) untuk memilih anggota-anggota Kongres, parlemen negara bagian, dan beberapa gubernur negara bagian. Artinya, setiap 2 tahun ada proses pemilihan di Amerika Serikat.
Hasil dari Pemilu Paruh Waktu ini tentu secara matematis berpengaruh pada posisi Joe Biden untuk bertarung kembali di pemilihan presiden Amerika Serikat 2024, dan juga isu Operasi Militer Khusus Rusia ke Ukraina yang terjadi sejak 24 Februari 2022 menjadi isu yang paling menyita perhatian publik dan yang paling mendapatkan rating tertinggi dalam setiap poling jelang pemilihan. Apalagi menurut jajak pendapat di Amerika Serikat, hampir 95 persen warganya mengutuk tindakan Operasi Militer Khusus Rusia ke Ukraina Hal ini dimanfaatkan oleh Joe Biden untuk mengamankan suara Partai Demokrat yang memegang teguh nilai-nilai kebebasan, HAM dan kesetaraan.
Selain kepentingan merebut suara masyarakat AS, Joe Biden juga masih berharap mendapat dukungan dari eks-militer dan eks-petinggi Badan Pertahanan AS, Pentagon. Apalagi sebelum Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada November 2020 yang lalu, Joe Biden sudah punya beberapa kesepakatan dengan elit Pentagon soal bisnis persenjataan.
Salah satu kesepakatannya adalah soal perdagangan persenjataan Pentagon bisa lebih masif seperti masa Presiden George Bush (2000-2008) dan Presiden Barrack Obama (2008-2016). Kemudian Pentagon tidak mendapatkan intervensi negatif soal anggaran pertahanan seperti yang pernah dilakukan oleh Donald Trump tahun 2018 yang lalu.
Situasi ini, di satu pihak tentu menjadi penting bagi Pentagon mengingat di masa Presiden Trump (2016-2020) Pantagon seperti terkungkung, mengingat kebijakan luar negeri Trump lebih suka melakukan perang ekonomi dengan China dibandingkan melakukan invasi seperti pendahulunya di Gedung Putih. Selain itu, semasa Trump berkuasa, Pentagon seolah mengalami kemunduran karena minimnya perang militer. Selain itu pemecatan Menteri Pertahanan Mark Esper oleh Donald Trump karena alasan pribadi menjadi luka bagi beberapa elit Pentagon.
Pada kesimpulannya, siasat Joe Biden mempengaruhi rencana pelaksanaan G20 Bali, selain didorong alasan kepentingan nasional AS adalah juga untuk kepentingan merebut hati masyarakat jelang Pemilihan Paruh Waktu AS, dan tetap menjaga hubungan baik antara Joe Biden dan Pentagon. Sialnya, Indonesia terkait dengan siasat busuk Biden tersebut.