Sambal Ibu

Aisha Shaidra

5 min read

Aku mati. Tertabrak truk saat memburu waktu.  Malaikat maut menarik ruhku tanpa ragu. Sakitnya bukan kepalang. Tapi lebih sakit lagi saat aku ingat sesuatu. Ada seseorang yang harus aku temui. Aku tak tahu apa masih punya waktu. Tapi aku harus memanfaatkannya. Sebelum tubuhku ditimbun tanah.  Sebelum kuburanku ditinggal tujuh langkah. Dan matahari belum tinggi. Tapi panasnya terasa membakar sekujur badanku. Aku melihat petugas ambulans membawa jasad bersimbah darah itu pergi, jasadku sendiri.  Dan aku masih berdiri. Menatap orang-orang yang tampak iba melihat jasadku. Beberapa dari mereka, mungkin sedang membayangkan apa rasanya mati seperti ini. Sementara aku, sedang merasakannya sendiri.

***

Dalam hitungan detik, aku melangkah mengikuti petugas yang menggotong jasadku. Pandanganku rasanya kosong, melihat diri terpisah. Inilah aku saat ini, tinggal ruh. Aku tak tahu apakah aku ini sudah benar-benar mati. Mengapa ruhku bisa berkeliaran seperti ini? Kukira begitu lepas dari tubuh, maka ruh segera ditangkap. Dibawa ke sebuah dimensi yang entah. Apa aku sebenarnya masih hidup? Atau setengah mati?

Ah, rumah sakit selalu menjadi tempat yang tak menyenangkan. Tanpa tubuh saja, di sini aku merasa makin tak punya daya. Bau karbol dan alkohol menyeruak, belum lagi macam-macam suara beradu. Aku menyusuri lorong  sepi menuju ruang jenazah. Suara roda beradu dengan ubin-ubin bisu. Apakah setiap jiwa yang mati punya pengalaman seperti ini? Melihat dirinya terlepas, melihat tak ada daya apa pun saat tubuh tak terisi lagi? Apakah rasanya seperti ini? Dingin, ya aku merasa kedinginan. Sesak. Aku merasa sesak sedari tadi. Semenjak dugaan kematian tiba, dadaku rasanya ditekan habis-habisan.  Ada apa ini? Bahkan setelah mati pun aku masih dipenuhi banyak pertanyaan.

Seharusnya aku tak usah peduli lagi soal jasadku yang diurus para perawat. Otomatis, nanti jasadku akan dihantar ke rumah. Setidaknya nanti akan ada yang datang untuk memastikan ini jasadku. Aku tak usah khawatirkan itu.  Yang harus kulakukan sekarang adalah melanjutkan perjalanan. Bukannya itu alasan aku pergi sedari pagi?

Mungkin ini akan menjadi pengalaman terakhir yang paling mengasyikan. Ya, aku harus membuat tugas ini menjadi purna. Aku harus pergi, tapi bagaimana? Aku baru saja mati. Kukira ruh benar-benar punya kemampuan untuk menghilang dan tiba di tempat tujuan dalam sekali kejap. Ternyata tidak. Aku tak bisa menghilang, hanya saja kebetulan orang tak lagi bisa melihat keberadaanku kini.

Jadi menuju ke sana, aku masih harus melakukan cara konvensional? Kusaksikan sendiri tadi, motorku hilang bentuk. Aku harus mencari halte bus atau stasiun. Aku tetap berjalan, tidak terbang.  Namun langkah lebih ringan, seolah 79 kilogram berat tubuhku menguap. Kadang bisa agak melayang. Yah, naik sekitar beberapa senti,  tapi aku tidak terbang. Bonusnya, aku tak perlu keluarkan uang. Oh, ternyata mati memang tidak menyelesaikan masalah hidup. Mungkin aku jangan banyak bicara. Yang kuingat kenapa aku bisa mati, bisa jadi karena kepalaku bicara tanpa henti sepanjang waktu. Sepanjang hidup kepalaku ramai. Dan di sanalah aku kerap berbagi cerita, tentang diri sendiri, dengan diri sendiri.

***

Persidangan selesai. Nurdin masih tertunduk lesu di kursi ketika Rendra menghampirinya. “Mas Nurdin, ayo kita pindah. Tadi ada titipan nasi timbel, semoga masih hangat.”

Nurdin mengangguk lemah. Pekan depan, merupakan sidang putusan. Nurdin merasa putus asa dengan nasibnya ke depan. Sudah pasti ia akan menerima hukuman. Tak tertolak. Ia menoleh ke barisan kursi di belakangnya. Istrinya Dyah tak hadir. Tak ada juga anggota keluarga lainnya, pun Ibunya. Ia paham, butuh waktu dan uang untuk menempuh perjalanan ke Jakarta dari pinggiran Bogor sana.

Di ruang tunggu, dua pria itu duduk berhadapan. Sebuah kresek merah hadir di atas meja jadi penengah.

“Ini masakan Dyah. Istri saya. Dia tahu sekali saya suka nasi timbel,” tutur Nurdin tanpa ditanya.

Rendra diam, lantas ia membantu Nurdin membuka ujung plastik yang diikat simpul. Ia mengeluarkan gulungan nasi dibalut daun pisang. Harum daun yang dibakar segera masuk ke dalam hidung Rendra tanpa permisi. Ia mengambil satu bungkus dan menyodorkannya kepada Nurdin. “Kalau nasi dibungkus daun begini, saya malah ingat almarhum nenek saya di Sukabumi,” ujar Rendra menyambung pembicaraan.

“Mas Rendra, orang Sunda?” tanya Nurdin tak percaya. Ia mendorong bungkusan itu ke arah Rendra. “Buat Mas Rendra, saya ambil sendiri,” kata Nurdin. Tangannya sigap membongkar bungkusan. Mengambil bungkusan nasi lain. Begitu plastik disibak lebih terbuka, terlihat di dalamnya ada bungkusan ikan asin, sambal, lalapan. Sederhana, tapi dirindukan.

Rendra menggeleng. “Semenjak menikah, Kakek dan Nenek dari pihak Ibu pindah ke sana. Tapi kami semua ya berdarah Jawa, Jawa Timur. Tapi saya ya lahir dan besar di Jakarta,” ucap Rendra, kali ini bungkusan daun pisang telah terbuka. Nasi sudah tak panas lagi.

“Yah, masih saudara, Mas. Jawa Barat, Jawa Timur, sama-sama Jawa ya,” ucap Nurdin mencomot ikan asin.

“Kalau percaya sama kisah Perang Bubat, justru bermusuhan, Mas.” Rendra tergelak.

“Kok bisa?” Nurdin heran, tangannya mencuil sambal terasi yang ternyata sudah diberi perasan jeruk nipis.

“Pernah dengar perang Bubat, Mas? Kisah Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka….”

Wajah Nurdin berubah sesaat begitu mencicip sambal. Nurdin menyodorkan bungkusan ikan asin. “Oh, iya pernah ada waktu sekolah dulu soal Hayam Wuruk, tapi saya enggak ingat, Mas, soal apa saja. Maklum sekolahnya enggak selesai, enggak serius belajar juga mungkin sayanya,” Nurdin mulai mencampur nasi dengan lauk dan sambal.

“Tapi sepertinya kata Mas Nurdin lebih tepat, kita saudara, Mas,” potong Rendra. “Ini sekarang kita bisa makan bareng, enggak peduli dari mana.”

Sejenak keduanya tenggelam menikmati makan siang bersama.

“Yang dari satu daerah aja bisa enggak akur, Mas,” celetuk Nurdin.

Rendra heran, ia mengangkat muka dan menatap Nurdin.

“Saya sama istri saya sama-sama Sunda, kami tinggal satu daerah, cuma beda kelurahan. Dulu pernikahan kami bisa dibilang enggak dapat restu dari Bapak Mertua. Ayahnya Dyah, enggak percaya sama saya. Boleh dibilang enggak dapat restunya sampai sekarang,” ucap Nurdin. Ia terdengar begitu hati-hati mengeluarkan kata-katanya.

“Tapi kok akhirnya bisa menikah? Sekarang bagaimana?” tanya Rendra.

“Apa lagi sekarang! Mungkin ya, kecurigaannya terbukti. Saya enggak bisa membahagiakan istri, malah membuat hidupnya sengsara. Bikin malu, punya suami masuk penjara kayak gini,” ucap Nurdin tertawa getir. Ia mencoba lanjut menikmati makan siangnya. “Makanya saya maklum dia enggak pernah datang ke sini.

Rendra menatap Nurdin lamat-lamat. Ia mengedarkan pandangan terhadap segala hal yang tersaji di atas meja, lengkap dengan tumpukan berkas yang dibawanya dari ruang sidang.

“Mas Rendra sudah menikah?” tanya Nurdin memecah keheningan sesaat itu.

Rendra menggeleng. “Belum, Mas. Belum ketemu jodohnya,” jawabnya dalam kondisi mengunyah.

“Umur berapa sekarang, Mas?” Rendra memberi isyarat dengan tangan kanannya, ia membentuk tiga jari dan menggantinya dengan lima jari penuh.

“Wah saya nikah kemudaan ya dulu.  Sekolah juga cuma sampai SD, langsung kerja-kerja enggak jelas, umur 20 udah nikah aja. Sekarang umur saya baru 25, Mas, udah jadi tahanan. Masnya umur 35 keren, jadi pengacara hebat,” ucap Nurdin terdengar tulus.

Rendra merengut. “Biasa aja, Mas. Saya masih harus banyak belajar.”

“Saya sih nerima saja, Mas, nanti dihukum seperti apa. Toh, saya memang salah. Saya itu bodoh. Saya pikir kalau nurut apa kata bos pekerjaan kita aman dan disukai gitu.”

Rendra tersenyum. “Yang bodoh itu ya orang yang mencari keuntungan dengan membodoh-bodohi orang, Mas. Saya sama tim akan mengupayakan agar Mas dapat hukuman paling ringan,” Rendra mencomot potongan timun dan mencocolnya ke sambal. “Sambalnya enak, kayak ada rasa kecombrangnya gitu, ya?”

Nurdin hanya mengangguk sambil tersenyum samar.

“Kalau enggak ada Mas Rendra sama yang lain seperti apa nasib saya ya. Mana ada uang saya buat bayar pengacara. Saya baru tahu kalau ada pengacara yang tidak mau dibayar seperti ini. Kalau gratis dapat uangnya dari mana, Mas?”

Rendra terbahak. “Rezeki ada aja, Mas. Ini buktinya, saya bisa dapat makan siang gratis. Kalau enggak tangani kasus ini, mana ada saya makan nasi, ikan asin, sama sambal yang nampol ini?” Rendra memburu makan siangnya.

Nurdin tersenyum. “Cukup Mas bayarannya nasi timbel? Atau saya nanti rutin kirimkan nasi timbel buat makan siang Mas Rendra?”

Rendra menghentikan kunyahannya. Selama persidangan berlangsung, Rendra beberapa kali mendatangi rumah Nurdin di daerah Jasinga. Ia mencoba mengetahui kehidupan keluarga Nurdin. Memastikan keperluan mereka terpenuhi saat kepala keluarga berada di penjara. Rendra pun mengetahui kalau istri dan dua anak Nurdin kini kembali tinggal dengan orang tuanya. Sebelumnya mereka tinggal bersama Ibu Nurdin yang sudah sepuh. Dan belakangan, sebelum menuju pengadilan, Rendra pergi ke rumah Ibu Nurdin untuk menjemput bekal timbel buatannya. Dan Nurdin tak mengetahui itu semua. Semua makanan yang dibawa Rendra, bukanlah buatan Dyah. Bukan dari istri Nurdin. Rendra hanya merasa tak ingin menambah beban pikiran kliennya, seandainya Nurdin tahu Dyah tak lagi menunggunya.

“Mas, kalau pekan depan sidang terakhir saya, kira-kira apakah nasi timbel ini bisa datang lengkap dengan pembuatnya?” Pertanyaan Nurdin menyentak Rendra.

“Saya, usahakan,” ucap Rendra sembari membereskan sisa makanan. Makan siang bersama terakhir bagi keduanya.

***

Di rumah, Ibu Nurdin sudah bersiap. Ia membiarkan pintu terbuka, seolah tahu sebentar lagi akan ada yang tiba. Tak lama, ia masuk ke kamar, bersalin pakaian. Di kamar, ia menggenggam gulungan uang yang ia kumpulkan dan disimpan di bawah risbang selama ini. Dalam hitungan menit wanita tua itu berkemas dan meninggalkan rumahnya. Kedua tangannya memeluk erat bungkusan untuk anaknya. Dengan langkah ringkih ia berjalan mencari angkutan umum. Memapah diri, menuju tempat di mana nasib putranya akan ditetapkan oleh ketukan palu. Perasaan kuat, ada yang mendampinginya kala itu.

***

Di ruang tunggu, kabar itu sudah sampai. Nurdin terus menangis begitu mengetahui kondisi yang dialami Rendra. “Mas Rendra pasti kecelakaan karena mau jemput Ibu saya,” ucapnya tergugu.

“Lho, bukannya Mas Rendra harusnya menjemput istri Mas Nurdin?” tanya rekan Rendra yang datang mengantarkan kabar duka itu.

“Sambal yang kami makan bersama minggu lalu, Mas. Makanan yang dia bawa, saya tahu itu buatan Ibu. Bukan istri saya.”

***

Aisha Shaidra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email