Ibu yang Membaca Mantra dan Puisi Lainnya

Bagus Sentanu

2 min read

Ibu yang Membaca Mantra

Di tubuh Ibu,
mulanya akar-akar tumbuh seperti doa
menyambung jarak antara langit dan bumi

Pada kanal di tubuhnya,
air mengalir lamban dan khidmat
Sebelum anak-anaknya sibuk membangun kota
di atas sungai.

Di bawah bayang pohon yang tinggal batang,
Ibu menganyam daun-daun yang berhasil dia pungut menjadi humus,
menyemai harapan di tanah yang dipijak.

Sementara itu anak-anaknya menghunus belati
Merobek ganas kulit langit
Menusuk-nusuk matahari
Asap yang terbang adalah roh dedaunan.

Di kota ini
Yang terbuat dari kerangka baja dan beton
Harga satu embun pagi yang segar begitu mahal
Tangan-tangan menggenggam api
Di sampingnya mesin-mesin meraung memamah batu bara.

Sungai menjadi melata yang lapar
Menjilati batu-batu
Menelusuri tulang-tulang beton
Ibu semakin terlihat sekarat
dengan segenggam biji-biji kecil
diharapkannya melahirkan pagi yang baru
dari rahimnya.

Ibu membaca mantra di tanah lembab,
membisikkan pada biji-bijinya,
“Jadilah akar-akar, jadilah pohon-pohon.
Kitalah nadinya. Bertahanlah, meski yang kokoh
telah banyak berpulang.”

Kemudian badai datang dengan napas samum,
menanggalkan apa pun yang dilewatinya.

(Cibingbin, 2024)

Gunung, Sungai, Senandung Lalat

Gunung-gunung baru bermunculan
Namun tidak dilahirkan dari tektonik
Gunung itu tumbuh dari plastik
sisa panganan yang pernah tersaji di meja makan
dan dari bungkus-bungkus kebutuhan hidup yang ditinggalkan
oleh tangan-tangan terburu.

Di sini, bumi berkerut dahi,
awan-awan menolak singgah,
takut lekat oleh bau yang membelah udara
atau metana yang sewaktu-waktu menyala.

Sungai mengalir dengan hitam
yang bersenandung dengan dengung lalat.

Di sisi lain, truk-truk berdatangan,
memuntahkan isi perut kota
menimbun tanpa ampun jejak-jejak manusia.

Orang-orang di atas puncak gunung itu,
tangannya menyibak alas puncak yang kotor,
mencari sisa-sisa yang bisa ia tukarkan
dengan sepotong kehidupan.

Hidup yang dipungut dari botol plastik
di antara piring pecah dan jaket sobek
yang dulu pernah hangat di tubuh seorang anak.

Bumi merintih,
sembari menanti penanggulangan
atau pasrah menjadi monumen busuk
serta cemar tak berkesudahan.

(Cibingbin, 2024)

Tidak Ada Mereka di Berita

Berjejer pundak di hadapan gudang pemilik modal
Sepasang pundaknya dihargai delapan puluh ribu sehari
Di kota, mereka memanggilnya buruh
dan dalam setiap gigi yang mengunyah nasi
tidak ada mereka di sana.

Karung-karung di pundaknya bukan miliknya,
meski tubuhnya ikut terisap dalamnya
Beras yang dipuja kelegitan dan wanginya
adalah tubuh mereka yang tercuri
Debu mengepung bulan dari pundaknya,
mengabarkan kepada malam bahwa
keringat tak pernah menjadi berita utama.

Semuanya seperti jejak suara yang dihapus oleh langkah gaduh.

(Cibingbin, 2024)

Catatan di Pesisir

Laut katamu, adalah cermin bagi yang mencari diri
Tapi pagi ini
aku tak menemukan bayanganku sendiri
Ombak memikul beban yang terlalu berat
seperti sejarah yang tidak bisa disusun bahasa

Di desa kecil itu
pasirnya telah berubah
Tidak lagi memeluk langkah kaki pelaut
doa-doa berkarat sekarat

Di tikungan angin, seorang anak bertanya,
“Ke mana ikan-ikan pergi?”

Kita semua tahu jawabannya
tapi memilih membisu
seperti karang yang dipecah palu.

Keadilan adalah kabut
melayang di antara janur yang semerawut
Hukum, seperti perahu tua tanpa layar
Tergeletak di bibir pantai

Di meja rapat, nama-nama pulau ditulis
dengan tinta hitam dan kepentingan
Di bawahnya, tubuh-tubuh kecil menunggu
keputusan.

Apa yang kita pahami tentang pembangunan?

Sepi
Malam datang
dan bintang-bintang tak berani menampakkan diri

Di sela senyap, hanya terdengar suara pasir
menyelinap ke celah puisi
mencari tempat untuk mengingat dirinya sendiri.

(Cibingbin, 2024)

Dalam Dua

Di bawah langit yang kian samar
hidup dibagi dalam dua:
antara yang menghitung untung dari derita,
dan yang hanya bisa menelan debu sambil menggerutu

Sempat kita mengenal tanah ini
dengan segala cerita yang terkandung di dalamnya.

Sekarang tanah ini dipeluk tangan raksasa,
dengan indra mana pun tidak akan sanggup menangkapnya
tangan yang tidak mengenal kata luka,
tangan yang mencabik segala yang baik,
lalu membuangnya seperti cucuk ikan yang tersangkut di gigi rakusnya.

(Cibingbin, 2024)

*****

Bagus Sentanu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email