Ibu Masih Makan Cahaya dan Puisi Lainnya

Dimas Haryo Metaram

1 min read

Ibu Masih Makan Cahaya

Ibu kembali menatap
memoria di dalam pigura.
Di rumah yang letih ini,
semua coba untuk kembali dirawat
Menyapu kata anjing dan bangsat
yang bahkan tidak sempat
terucap di meja

Mengepel keringat
resahnya yang telah lama
menyatu dengan ubin
Mengusir hantu-hantu lama
yang kadang masih nongkrong
di sudut rumah

Setahi-tahinya
tempat kejadian perkara itu
Ibu akan terus kembali
membuka gembok berkarat,
pintu kayu lapuk, dan
pigura memoria di lantai
di mana trauma-trauma
besar menghantui dan
kematian-kematian
cilik terjadi.

Berisik di Ruang Hampa

Marah ini sunyi

Mengeras, membeku
menjadi cangkang kokoh melindungi
Nyatanya, maaf dan ampun
merupakan api eksplosif
melelehkan bebatuan keras
mengerak di kedalaman
ego yang rapuh

Sampai kapan mesti
memandang kasih
sebagai seseatu yang harus
dilibas sampai habis?

Kepalan yang memukul
bisa jadi tangan
yang sama dengan
yang menyembuhkan

Saat semua ribut-ribut usai
Ada badan yang digotong
ke kasur dengan ramainya
ruang tengah yang masih berkoar,
bisingnya masuk ke telinga
sebagai lulabi sempurna
sampai lelah menutup mata

Ada api yang memaafkan
Ada dingin yang menerima
Ada panas yang membuang
Ada air yang mengutuk

Udah Nih? Pada Cabut?

Hangat tanpa gelora api liar
Dengan tubuh yang tepat
Dentuman lampu dan
pengeras suara menjadi
lembut di bibir gelas
yang kecut itu

Menakar kehilangan
satu per empat sloki
Menyisakan tiga per empat
untuk kedatangan apapun

Andai memori ini buka 24 jam
Mungkin semua goresan
bisa dibalut dengan
mata air sampai tuntas
Atau mungkin tidak perlu juga
Ruang kosong di antara
kata yang terucap
menyala diam-diam

Malam ini bukan tentang
teriakan atau bising di luar sana
Dalam remang cahaya
yang menyelimuti, gerai ini
akan segera tutup
Maka segera telan
apapun yang masih tersisa
di meja dan pergi dari sini

Gelap, Jangan Lupa Nyalain Lampu Ya

Matahari ini tenggelam
Namun gemerlap kota
sebentar lagi terbit
dengan segala kasih
dan ampunnya

Aku akan melewati
semuanya walaupun harus
keluar terpincang-pincang

Hantu-hantu ini mungkin
tak akan pernah meninggalkan
langit-langit kamar dan lelap tidurmu

Tetapi akan selalu ada
pesta yang menunggu
di bawah silaunya cahaya lampu
jalanan dan jiwa-jiwa
yang saling bersulang
di dalam ruang terang

Semua baru akan dimulai
setelah matahari tenggelam
ditelan resah recehan
yang tidak seberapa itu

Sebab mata ini akan selalu
menemukan cara
menyesuaikan gelap dan terang
tepat di tengah, sekalipun ia
diletakkan di kamar gelapmu itu

Mainan Api

Cermin ini goblok
Ia seharusnya mencerminkan
apapun yang ada di depannya
Tapi aku hanya menatap
pecahan-pecahan
dari cerita kegelapan

Bukan lagi aku ketika
berdiri di depannya
Di satu titik semua terasing
Di satu titik semua terbuang

Aku bisa melihat aku
meluncurkan peluru
tajam menuju kepala mereka

*****

Editor: Moch Aldy MA

Dimas Haryo Metaram

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email