Ibu Burung

Tegar TP

2 min read

Kata Mamah, aku lahir dari perkawinannya dengan seekor burung. Meskipun keturunan burung, aku tak memiliki sayap—ini membuatku sedih.

Tapi, aku tak boleh bersedih, sebab Mamah berjanji akan membelikan sayap di hari ulang tahunku yang ke sepuluh. Karena membeli sayap memerlukan uang, maka Mamah sibuk kerja.

Setiap malam sebelum aku tidur, ia sibuk di depan kaca—aku senang melihatnya memoleskan tinta merah ke bibirnya. Pernah sekali kupakai pada bibirku, meskipun tak berasa, tinta merah membuatku merasa lebih cantik. Begitu juga pada Mamah.

Mamah memang cantik, tubuhnya berisi, tak kurus sepertiku. Tapi, aku mewarisi kecantikannya, maka aku senang berlama-lama menatap cermin seperti Mamah menatap kecantikannya.

Karena Ayah seekor burung, ia sibuk mengelilingi dunia, maka aku sering kesepian. Apalagi ketika Mamah sudah berangkat kerja—rumahku sangat membosankan, tak ada televisi atau gim untuk menghilangkan kesepian. Oleh karenanya, aku tak melakukan apa-apa selain menatap diriku di depan cermin sambil memakai pewarna di bibirku. Sialnya aku tak pernah berhasil. Rupanya aku belum cukup umur untuk melakukan hal itu.

Sejak kecil, aku tak pernah melihat Ayah sekalipun, foto juga tak ada. Sepertinya, Mamah tak menyukai kenangan. Tak seperti Doni temanku, Ayahnya sering mengirim surat yang isinya: Doni izin tidak masuk sekolah, karena ingin foto keluarga untuk kenang-kenangan bersama.

Doni selalu diberi izin oleh Ibu Guru Jasmine. Katanya Doni mengidap penyakit dan hidup Doni tak mungkin sampai dewasa. Meskipun begitu Doni adalah satu-satunya teman di kelasku.

“Kata Ibuku, aku enggak boleh main sama kamu,” ujar Santi saat itu. Aku diam, tak merespon ucapan Santi.

Setahuku, Santi orang yang sangat baik. Karena Santi baik, teman-teman sangat menyukainya. Tapi, aku tak menyukai Santi. Meskipun ia baik, ia sering membujuk teman-teman untuk menjauhiku.

Hanya satu teman yang tak mengikuti Santi. Dialah si Doni. Doni orangnya pendiam, tak banyak bicara dan tak senang bermain bola—tak seperti anak laki-laki pada umumnya. Doni gemar sekali batuk, juga sering mengeluh bahwa dadanya sakit. Sesekali ia dirawat, karena sesak napas. Doni dan aku senasib, sama-sama dijauhi teman-teman.

Aku sering mengajaknya berbicara. Suara Doni serak seperti orang dewasa. Mengobrol dengan Doni sangat menyenangkan, tapi kalau Doni tak masuk sekolah, aku sangat kesepian.

“Mamah, teman-teman di sekolah menjauhiku semua,” ujarku sepelan mungkin. Mendadak Mamah berpaling dari cermin, menatapku serius.

“Kenapa teman-teman menjauhimu? Apa Ayana ingin pindah sekolah lagi?”

Pertanyaan itu membuatku terdiam. Kalau sudah seperti ini, aku tak berani menatap wajah Mamah.

“Ayana,” lanjutnya.

Aku berusaha menatap matanya. Sepertinya Mamah mengharapkan jawabanku secepat mungkin. Lantas aku menggelengkan kepala. Tiba-tiba ia terkejut.

“Karena aku anak pelacur. Santi yang mengatakannya, ia membujuk teman-teman untuk menjauhiku. Aku tak mengerti apa yang dikatakan Santi, tapi kurasa apa yang dikatakan Santi adalah sesuatu yang menyebalkan. Tapi Mamah, apa itu pelacur? Kata Santi, pelacur itu pekerjaan kotor, sebab agama melarang pekerjaan itu. Aku tak ingin pindah sekolah, Mamah. Aku ingin berhenti. Di mana pun aku pindah, aku tetap tak memiliki teman.”

Tiba-tiba Mamah beranjak dari tempat duduknya, lalu mendekatiku di kasur. Kemudian ia memelukku. Entah mengapa, kehangatan tubuhnya membuatku ingin menangis.

“Ayana tak boleh seperti itu. Ayana harus tetap sekolah. Ayana kan mau jadi anak pintar. Teman-teman Ayana memang menyebalkan. Ayana tak mau menjadi orang yang menyebalkan, kan?” Tanya Mamah.

Segera aku mengangguk. Aku tak ingin menjadi orang yang menyebalkan.

“Temanmu salah. Pelacur bukan pekerjaan,” kata Mamah tiba-tiba.

“Pelacur itu tempat berkumpulnya burung-burung se-Indonesia. Seperti burung Perkutut, burung Ekek Geling, burung Jalak Bali, bahkan burung gereja atau burung termahal di Indonesia; Murai Batu,” ujar Mamah sambil mengelus rambutku.

Aku terdiam, menikmati tangan lembutnya sambil memikirkan ucapan Mamah. “Jadi, Ayah jenis burung apa, Mamah?” Tanyaku spontan.

“Murai Batu,” ujarnya seraya tersenyum. Tiba-tiba ia beranjak dan bergerak keluar kamar. Lantas tubuhnya lenyap di balik pintu.

 

Cirebon, 22 Oktober 2021

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Tegar TP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email