Hujan dan Kematian dan Puisi Lainnya

Ade Kurniawan

1 min read

Meja Makan dan Kelaparan yang Berulang

Mari kita selesaikan lapar
di meja makan
dan kita susun ulang kelaparan lain
sebelum matahari meninggi
dan siang menuntut kita
untuk memanggul makna
di punggung sajak yang renta.

Lalu kau bayangkan
pagi menjadi panjang
tanpa satu pun rupa makanan.

Mungkin dapur kita juga jenuh
tak pernah membuat tanak siapa-siapa
tak pernah melambungkan doa
siapa-siapa melalui asapnya.

Tetapi, katamu
sajak pun membuat kita kenyang,
asal kau percaya!

Dan dengan selembar kertas
kau membuat sketsa-sketsa aneh
pola huruf yang tak tertebak
yang tak mampu kumaknai.

Namun setelah kau rampung
aku merasa lambungku
tak lagi suwung.

(Malang, 2024)

Tubuh

Tubuhku ialah tanah
yang selalu birahi dengan hujan
Kelak ia merekah menguarkan bau-bauan
yang kerap dianggap musim baik

Rambut dan jantungku ialah hutan
dan gambut
yang terjebak dalam suatu iklim kacau
tentang hujan yang tak pernah jatuh
serta langit yang sepenuhnya keruh.

(Malang, 2024)

Kunang-Kunang Jalan Semarang

Mungkin Tuhan
telah mengutuk kunang-kunang
menjadi jelaga
sejak hujan sore tadi
menerbangkan bau tanah.

Tetapi kau selalu percaya
meski Tuhan memadamkan mereka
mereka akan lahir kembali
sepanjang kau terus membunuhku
dengan tajam perasaanmu.

Degan begitu
dadaku melahirkan bangkai
terkulai
dalam naungan pokok cemara
kemudian meriapkan cahaya
melalui darah
di ujung-ujung jarinya.

(Malang, 2024)

Loji, Hujan, dan Kematian

Di beranda loji
kau dan aku duduk
menekuni kaki hujan
yang melukai tanah.

Kita terjebak di ruang yang sama,
kau bergegas ingin pulang
untuk mencium kening ibumu yang dingin
sedang aku ingin sekali membakar
tembakau linting.

Tetapi kau segera berkata,
“Jangan pernah menyalakan tembakau
ketika duka melanda! Itu sama saja kau
tak berbela sungkawa.”

Dingin menjadi beku, lalu sepenuhnya bisu.

Dalam kepalaku aku menyusun ulang perkataanmu,
“Toh semua asap sama saja, dupa yang kau bakar nanti, tak berbeda jauh dengan tembakau yang kusulut api. Hanya saja, mungkin, asap dupa menerbangkan doa
sedang asap tembakau menerbangkan imajinasi. Mengapa kau menolak
fiksi yang kubangun tentang Ibu,
bukankah kau ingin segera menciumnya?”

Hujan mereda, kau dan aku bergegas
menunggang kuda besi tua
menerabas dingin kota
dan ingin segera sampai di halaman rumah
yang telah tersusun dari konstelasi duka usang.

Sebuah keranda telah berjalan
sewaktu kita sampai di depan gang
berbendera palang.

(Malang, 2024)

Di Atas Meja Ia Terserak

Meski kutahu
ia bakal terserak begitu saja
di atas meja
tanpa membuat siapa-siapa kecewa
atau membuat siapa-siapa berpikir
tetap kususun ia menjadi sebuah sajak
yang parau
di atas hujan pagi
sebelum siang menghanguskannya.

Ia berjalan, menjadi medan makna
menggugurkan igauan
sedang aku, darinya,
menjual kesedihan di pasar imajinasi
yang kerap
menjadi ladang basah
bagi para pencuri.

(Malang, 2024)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ade Kurniawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email