I write words for a living. Sometimes they even make sense.

Finale

Rizal Nurhadiansyah

6 min read

Langit mendung menggantung rendah di atas alun-alun kota. Hujan yang baru saja reda meninggalkan genangan-genangan air yang memantulkan cahaya dari obor-obor yang berjejer. Kerumunan orang berkumpul, menciptakan riuh rendah yang tak beraturan. Di tengah-tengah alun-alun, guillotine berdiri tegak, tua dan berderit seperti saksi bisu zaman yang sudah terlalu sering menyaksikan darah dan air mata.

Tempat eksekusi ini bukan sekadar tempat mati, melainkan panggung hiburan bagi masyarakat yang haus tontonan. Para pedagang menjajakan kacang goreng dan minuman keras, anak-anak berlarian dengan suara tawa yang menggetarkan suasana. Ironi tercium di udara, di mana kehidupan berjalan selaras dengan bayangan kematian. Di sekitar alun-alun, bangunan tua menjulang, mengintip seperti saksi bisu yang enggan berpaling.

Di bawah pisau guillotine itu duduk seorang lelaki tua. Diktator yang pernah menguasai tanah ini dengan tangan besi, kini hanya tersisa bayang-bayang dari dirinya yang dulu. Rambut putih tipis melambai tertiup angin. Tangannya terikat erat, sementara matanya, yang pernah memancarkan wibawa dan ancaman, kini berkilat dengan senyum getir yang menyelip di bibirnya. Ia menatap massa yang datang untuk melihatnya mati. Ironi itu tidak lepas dari pengamatannya—mereka yang dulu bersorak memuja kini menuntut darahnya. Ada kebencian di sana, tetapi juga sesuatu yang lain, mungkin rasa lega karena akhirnya bisa melepaskan beban masa lalu.

Sang diktator menarik napas dalam. Bau tanah basah dan keringat menyergapnya, mengingatkannya pada hari-hari peperangan, saat ia masih menjadi pahlawan sebelum berubah menjadi monster. Sebuah tawa kecil meledak dalam hatinya; hidup ini, pikirnya, benar-benar panggung komedi yang kelam.

***

Sang diktator memejamkan matanya sejenak, membiarkan riuhnya kerumunan menjadi latar suara yang samar. Dalam gelap yang diciptakannya sendiri, ingatan melesat kembali ke masa-masa ketika namanya dielu-elukan di jalan-jalan. Wajah-wajah berseri menyambutnya saat ia berjanji akan membebaskan negeri ini dari korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan. “Reformasi untuk semua,” katanya kala itu. Dan semua bersorak, bertepuk tangan. Mereka percaya, atau mungkin terpaksa percaya, bahwa perubahan ada dalam genggamannya.

Namun, kekuasaan memiliki cara unik untuk meracuni hati. Setiap keputusan kecil yang diambil, setiap pengkhianatan yang dilakukan demi menjaga stabilitas, menumpuk dan mengeraskan hatinya. Sang diktator ingat saat pertama kali memerintahkan penangkapan lawan politiknya—orang itu dulunya teman seperjuangan. Tapi waktu itu, membungkam satu suara terasa seperti harga murah untuk ketertiban. Hari berikutnya, suara lain muncul, lebih lantang. Dan ia tak ragu untuk menguburnya.

“Seperti memotong rumput liar,” gumam sang diktator dalam hati, bibirnya melengkung pahit. “Tapi tanah yang gersang selalu menumbuhkan benih-benih perlawanan.”

Kisahnya sebagai pemimpin besar berlanjut dengan darah dan besi. Tidak ada penyesalan yang terasa, setidaknya sampai saat ini. Saat orang-orang datang menuntut pembalasan, mengangkat pedang mereka, ia menatap mereka dari balik jendela istananya. Mereka ingin revolusi. Sebagian besar bahkan tak tahu apa yang diperjuangkan. Diri mereka telah ditaklukkan oleh kemarahan dan manipulasi propaganda yang begitu ia kuasai. Dulu ia tertawa, sekarang tawa itu kembali menghantui pikirannya.

Lalu, datanglah masa-masa gelap ketika para menteri dan sahabatnya perlahan-lahan menghilang, dibunuh oleh faksi-faksi dalam lingkarannya sendiri. Kesetiaan menjadi barang langka, sementara ketakutan menyebar lebih cepat dari wabah penyakit. Ia tahu waktunya semakin sempit. Di malam-malam panjang, ia terjaga, menatap langit-langit kamar yang kosong, mengingat bagaimana ia dulu adalah orang biasa yang bermimpi mengubah dunia. Kini, ia menjadi raksasa tanpa hati.

“Menjadi monster itu mudah,” pikirnya. “Semua orang hanya butuh alasan.”

Kilas balik itu membawa rasa getir. Di tengah ingatan ini, pandangan matanya tertuju pada kerumunan yang masih berteriak-teriak di alun-alun. Banyak dari mereka yang ia kenal. Petani yang ia bantu saat harga beras naik, pedagang yang pernah ia selamatkan dari penjarahan. Wajah-wajah itu berubah oleh waktu, dan mungkin juga oleh luka yang tak pernah bisa sembuh.

Ia merasakan kelembutan di sudut hatinya—sebuah emosi asing yang mencoba merayap ke permukaan. Penyesalan? Atau hanya keinginan terakhir seorang pria yang akan mati untuk meyakinkan dirinya bahwa ia pernah berarti? Apa pun itu, ia menolaknya.

Ia membuka matanya, menatap guillotine di atasnya. Seberapa banyak nyawa yang diputus oleh pisau itu atas perintahnya sendiri? Ia hampir bisa mendengar suara pisau meluncur cepat, membelah udara, dan tawa yang diiringinya saat itu. Ironi kembali menusuk—ia, yang pernah menjadi hakim atas kehidupan dan kematian, kini berada di sisi yang lain.

“Seberapa cepat kita beralih peran,” bisiknya. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum getir, kali ini dengan kesadaran penuh bahwa ia adalah badut terakhir di panggung ini. Tapi apakah rakyat menyadari bahwa setelah tawa, mereka akan kembali menjadi pion di tangan penguasa baru?

Ia menundukkan kepala. Langkah-langkah kaki terdengar mendekat. Sebuah suara dari belakang memanggilnya, mempersiapkannya untuk babak terakhir yang akan ia hadapi—sebagai monster yang menanti akhir, atau manusia yang akhirnya mengerti tragedi dirinya sendiri.

***

Langkah kaki berderap pelan mendekati sang diktator. Ia mendengar suara besi berderit ketika algojo, pria dengan jubah hitam dan topeng kain kusam, mengambil posisinya. Keheningan tiba-tiba melanda alun-alun. Orang-orang menahan napas, menunggu kalimat terakhir yang akan diucapkan sebelum pisau guillotine jatuh. Namun, alih-alih ketegangan yang pekat, suasana berubah menjadi sesuatu yang tak terduga. Algojo itu tertawa kecil—lembut, seolah mengenang sesuatu yang jauh di masa lalu.

“Kau tahu, Pak Tua, aku tidak pernah mengira akan bertemu kau di sini lagi,” kata algojo dengan nada bercanda yang mengejutkan. “Dulu kau pernah membebaskanku dari tuduhan mencuri ayam. Ironi, bukan?”

Sang diktator menoleh perlahan. Matanya menatap sang algojo dengan pandangan tajam yang perlahan melunak. Tawa getir keluar dari bibirnya. “Ya, aku ingat. Kau bocah yang hampir dipukuli sampai mati karena sepotong daging. Dan lihat sekarang, kau berdiri di sini, siap memenggal kepala yang dulu menyelamatkanmu.”

“Mungkin begitulah roda kehidupan berputar,” jawab algojo seraya mengangkat bahu. “Kau tahu, banyak dari mereka yang berdiri di sana juga pernah kau tolong, tapi sekarang…” Ia mengayunkan tangan, menunjuk massa yang berkumpul seperti serigala kelaparan. “Mereka lebih suka melihat kau jatuh. Setidaknya, ini lebih menghibur daripada mendengarkan pidato politik di musim kampanye.”

Sang diktator menghela napas panjang, seakan kelelahan bukan oleh rasa takut akan kematian, tetapi oleh kebodohan umat manusia yang tak berubah sejak ia pertama kali berkuasa. “Apa yang mereka cari, ya? Balas dendam? Atau hanya sensasi murah melihat darah mengalir?”

Algojo terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan pertanyaan itu. “Mungkin mereka hanya butuh hiburan. Dunia ini sudah terlalu penuh dengan penderitaan dan kemunafikan. Melihat penguasa jatuh adalah semacam keadilan, meski tak menyelesaikan apa-apa.” Ia tertawa getir, menatap mata sang diktator. “Tapi, apakah kau menyesal?”

Senyum sang diktator melebar. “Menyesal? Tidak ada gunanya. Aku sudah hidup seperti seorang raja, mati seperti seorang badut. Mungkin ini harga yang setara.” Ia menoleh pada kerumunan, menatap wajah-wajah yang haus darah. “Jika mereka ingin cerita, maka biarkan aku menjadi akhir yang mereka kenang.”

Algojo mengangguk pelan. “Kalimat terakhir yang bagus. Cukup dramatis.”

“Dan kau,” kata sang diktator, “apakah kau menikmati peranmu sebagai eksekutor terakhir?”

Algojo mendekat, berbisik lirih, “Aku tidak pernah menikmatinya, tapi ada bayaran yang harus diterima. Begitu juga denganmu.”

Pisau guillotine bergeming di atas kepala, siap menjalankan keputusannya. Di bawah tatapan mata massa yang bergelora, sesuatu yang mirip persahabatan singkat terasa hadir. Tawa getir sang diktator bergema terakhir kali sebelum mata pisau mulai bergerak turun.

***

Kerumunan yang memadati alun-alun semakin gaduh. Orang-orang bersorak, meneriakkan kutukan dan cemoohan kepada sang diktator. Di antara mereka, pedagang-pedagang kaki lima sibuk menjajakan dagangan, menjual kacang, jagung bakar, dan botol-botol minuman keras. Seolah ini adalah perayaan, bukan eksekusi. Anak-anak kecil berlarian dengan ceria, seperti tidak menyadari bahwa kepala seorang pria akan terpenggal dalam hitungan menit. Ironi yang getir memenuhi udara, menciptakan suasana yang absurd, di mana kehidupan dan kematian saling tumpang tindih tanpa rasa malu.

Seorang wanita tua di barisan depan berteriak dengan suara parau, melampiaskan amarah yang telah lama terpendam. Ia mengacungkan tinjunya ke arah sang diktator, wajahnya merah padam. “Penghisap darah! Pembunuh!” teriaknya. Di sebelahnya, seorang pria muda ikut menyoraki, matanya berkilat. Ia belum lahir ketika diktator berkuasa, tetapi hasrat untuk membenci telah diwariskan melalui cerita-cerita penuh dendam.

Sementara itu, di sudut lain, sekelompok intelektual muda berdiri dengan sikap sok bijak, mengamati jalannya eksekusi seolah sedang menyaksikan pementasan seni. “Keadilan sosial,” gumam salah satu dari mereka dengan nada penuh keangkuhan. “Sang tiran akhirnya mendapatkan balasannya.”

Di bawah pisau guillotine, sang diktator menatap pemandangan itu dengan senyum yang semakin lebar. Betapa mudahnya massa dihasut, betapa cepatnya mereka melupakan—pernah ada waktu ketika mereka menyembah dan mencium tanah yang ia pijak. Ia melihat wajah-wajah yang sama, yang dulu tunduk kepadanya, kini bersorak untuk kejatuhannya. Kerumunan yang haus darah, tetapi tanpa tujuan. Ia merasa seolah menjadi bagian dari pertunjukan besar, panggung sandiwara yang tidak pernah benar-benar berakhir.

Dalam hati, ia berbisik, “Revolusi ini, hanya ilusi yang berulang.”

***

Pisau guillotine berkilauan di bawah cahaya obor yang berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang menari di wajah sang diktator. Ia mendongak, menatap alat yang sebentar lagi akan mengakhiri hidupnya. Ada keheningan sesaat—kerumunan menahan napas. Hanya angin yang berbisik pelan, menyapu debu di alun-alun. Sang diktator menutup matanya, merasakan dinginnya besi yang menggantung di atas lehernya, sebuah keheningan yang terlalu kontras dengan ingar-bingar di sekitarnya.

“Kalimat terakhir!” teriak seorang penjaga dengan suara serak. Kerumunan meledak dalam kegaduhan, saling berebut untuk mendengar apa yang akan dikatakan. Semua mata tertuju ke arah sang diktator. Ia membuka matanya perlahan, menghela napas panjang. Di tengah kesunyian yang mencekam, ia tertawa—tawa yang hampa, namun penuh arti.

“Lucu, bukan?” katanya, suaranya menggema meski tidak berteriak. “Kalian semua berdiri di sini, menyaksikan akhir hidupku, seolah-olah itu akan mengubah segalanya. Kalian pikir darahku akan mencuci bersih dosa-dosa kalian? Sebuah hiburan, itulah yang kalian cari.” Ia menggelengkan kepala, senyum getir menghiasi bibirnya. “Aku hanyalah cermin. Hari ini aku, besok mungkin kalian.”

Beberapa orang di kerumunan tertawa kecut, sebagian marah, lainnya hanya terpaku. Ia mengangkat dagunya sedikit, seperti menerima nasib yang telah lama dituliskan. Algojo memberi isyarat, menarik tuas dengan gerakan lambat yang hampir terasa simbolis.

Pisau guillotine meluncur turun dengan kecepatan yang memecah udara. Waktu terasa melambat. Dalam detik-detik terakhir, sang diktator melihat bayangan dirinya di mata kerumunan—seorang tiran, pahlawan, atau badut terakhir di panggung besar ini. Denting besi bertemu kayu bergema, dan segalanya menjadi sunyi. Hanya angin malam yang melanjutkan perjalanannya, membawa kisah seorang diktator yang menjadi hiburan terakhir masyarakat yang penuh kemunafikan.

***

Saat pisau guillotine menghantam kayu, denting keras memecah keheningan, diikuti dengan seruan histeris dan tepuk tangan dari sebagian besar kerumunan. Darah mengalir, memerahkan tanah yang basah. Di bawah cahaya obor yang bergoyang-goyang, kehidupan kembali berdenyut dengan cepat. Pedagang-pedagang kembali menjajakan barang dagangan mereka, kerumunan perlahan-lahan bubar, membawa serta kenangan akan tontonan hari itu. Bagi mereka, ini hanyalah hiburan yang berlalu, sebuah jeda di antara kekacauan kehidupan sehari-hari.

Namun, di sudut alun-alun, seorang anak kecil berdiri terpaku, matanya menatap kepala yang terpenggal tanpa ekspresi. Ia tidak mengerti kebencian atau politik, hanya merasa asing dengan kegilaan orang dewasa. Ia mendekat, menarik tangan ibunya yang sedang sibuk membeli kacang. “Bu, apa itu keadilan?”

Ibunya tidak menjawab. Ia, seperti orang-orang lain, juga tidak benar-benar mengerti. Sejak lahir, ia hidup dalam lingkaran kekuasaan yang berganti-ganti, melihat orang-orang jatuh dan bangkit seperti daun di musim gugur. Ia hanya mengangkat bahu dan mengajak anaknya pulang, menyisakan kenangan samar akan kejadian yang tak pernah ia pikirkan terlalu dalam.

Sementara itu, algojo menatap genangan darah yang mengering di sepatunya. Ia menghela napas, melepas topengnya. Wajah yang lelah dan tua menatap malam yang kian larut. Ia tahu, meski kepala sang diktator telah terpisah dari tubuhnya, tidak akan ada yang benar-benar berubah. Kekuasaan akan selalu mencari wajah baru, dan massa akan selalu membutuhkan musuh untuk dibenci.

Angin malam membawa aroma darah dan kebisingan yang mulai mereda. Tempat eksekusi itu, yang sekarang sunyi, akan segera dihiasi oleh teriakan baru, oleh nama-nama baru yang siap naik dan jatuh. Sejarah, pikir sang algojo, adalah lelucon yang diulang tanpa henti. Di bawah langit yang kini tampak lebih suram, ia berjalan menjauh, meninggalkan panggung besar kehidupan yang tak pernah benar-benar adil.

Hanya angin yang terus berhembus, membawa cerita getir yang seolah-olah akan lenyap tanpa jejak—namun diam-diam tetap menancap dalam di hati mereka yang mau melihat lebih dari sekadar darah yang tumpah.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Rizal Nurhadiansyah
Rizal Nurhadiansyah I write words for a living. Sometimes they even make sense.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email