“Orang miskin tidak bisa memberikan apa-apa,” kata Sabar. Pemuda berotot liat itu mengaduk kopinya dengan bungkus plastik yang ia lipat panjang. “Aku sendiri awalnya heran kenapa mereka beranak-pinak banyak-banyak.”
Aku ingin memukul wajahnya dengan asbak, andai saja ia bukan sesama orang miskin yang tiap hari mendorong gerobak bersamaku. Sambil memperhatikan bulu hidungnya yang merebak keluar, aku meminum kopi yang sudah ia aduk.
“Bangsat. Minum kopimu sendiri!” ocehnya saat aku baru menyeruput dua teguk.
“Kan gelas Aqua-nya bekasku,” aku memberi pembelaan, “toh rokokmu juga ngambil punyaku.” Sabar langsung berlagak amnesia.
“Kamu tahu sendiri ada berapa saudaraku.”
“Tujuh, bukan?”
“Bayangkan apa yang bapakku pikirkan tiap bikin bunting ibuku saban tahun.”
Tentu Sabar hiperbola, sebab jika bapaknya membuntingi ibunya saban tahun, tentu saja saudaranya bisa mencapai… tiga puluh dua biji. Tapi kubiarkan saja. Kalau hal-hal kecil selalu kukomentari, aku tidak akan bisa mati dengan tenang, dan arwahku pasti jadi arwah penasaran.
“Mungkin di situ sisi kuatnya Bapak,” gumam Sabar.
Dunia ini memang lucu dan siapa yang bisa menduganya? Biar kujelaskan silsilah orang miskin bernama Sabar ini. Bapaknya bernama Kuwat, pakai w di tengahnya. Pak Kuwat tubuhnya seringkih daun kering yang menggantung di pucuk pohon jambu, sekali angin kencang lewat, terhempaslah ia. Maka tiap ada pohon roboh menghalangi jalan desa, warga selalu melarang Pak Kuwat bila ingin membantu berbakti kepada desanya. “Pak Kuwat gak kuat, bikin gorengan saja.” Takut-takut persendian lengannya lepas dari sikutnya.
Sabar lain lagi. Anak ketiganya itu kuatnya tidak nanggung-nanggung, sedang sabarnya hampir-hampir tidak ada. Saking kontrasnya potongan bapak dan anak itu, dan betapa terbaliknya nama yang mereka tanggung dengan sikap dan perawakan masing-masing, sampai-sampai warga selalu bilang ke Pak Kuwat, “harusnya kamu tukar saja namamu dengan anakmu!” dan bila mereka bertemu Sabar saat ludahnya tumpah ke mana-mana karena ia salah menuang gula dengan garam, mereka akan balik berteriak, “harusnya kamu tukar saja namamu dengan bapakmu!”
Perbandingan nama itu berhenti dengan sendirinya setelah Pak Kuwat tak kuat lagi hidup dan ditanam di tanah belakang sekolah. Warga kampung sepakat dalam diam tak lagi mengungkit-ungkit namanya selain dalam doa.
Nama adalah doa, dan beberapa doa memang melenceng jauh dari apa yang diharapkan. Atau mungkin ada saja orang tua yang memberi nama anaknya tanpa menyelipkan doa dalam nama tersebut, dan semata-mata biar gampang disebut, atau tidak mudah dilupakan saat mereka sudah menderita alzheimer.
Dan aku suka sekali membandingkan nama seseorang yang diberikan orangtuanya, dengan nama yang menurutku seharusnya ia miliki sejak lahir hanya dari melihat sekilas wajahnya. Aktor Mathias Muchus itu, melihat wajahnya yang seperti betah berlama-lama di masjid, aku pikir namanya lebih cocok sebagai Muhammad Sajid. Sekali waktu aku pernah bilang ke Sabar, “aku tidak paham Mathias Muchus biasa dipanggil apa di rumahnya, tapi bila ada kesempatan ketemu, pastilah ia kusapa, Mat!” Lalu aku ceritakan soal imajinasi nama tadi.
Sabar tertawa tapi tampak kurang puas dan tidak setuju. “Kenapa? Kamu punya ide lebih baik?” tanyaku. “Yah,” katanya, “Lebih bagus Husni.” Gantian aku bertanya-tanya.
Sabar memasang sikap aku-juga-tidak-tahu-dapat-dari-mana, lalu sebelum menghabiskan pisang gorengnya, ia bilang, “Buatku Muchus lebih seperti guru olahraga yang sabar.”
“Seperti Coach Husni?” aku baru menemukan alasannya. Husni tak lain satu-satunya pelatih yang tidak diundang juga tidak dibujuk, tapi menawarkan diri jadi pelatih untuk satu-satunya tim bola kampung kami, Cipari. Dan diam-diam, dalam hati aku juga mengamini kata Sabar. “Sial, seharusnya namanya memang Husni.”
Sabar memasang sikap nah-sekarang-kamu-tahu-alasannya, lalu berjalan pulang. Sambil berlalu, ia balik badan dan menunjuk ke arahku dengan setengah pisang goreng berminyak di tangannya. “Dan kalau aku ketemu dia, tentu bakal kusapa, Hus!” Setelah itu dia benar-benar pergi, dan percakapan kami soal nama tak pernah berlanjut, hingga Kamis malam itu, malam ketika aku menjadi saksi bahwa doa Pak Kuwat untuk anaknya benar-benar terkabul.
Tak semua pohon berbuah dan tak semua buah jatuh dekat dari pohonnya, begitu pula Sabar. Tiga tahun menikah dengan Siti, tak juga ada tanda-tanda mereka bakal diberi momongan. Sabar tak khawatir istrinya mandul, ia justru takut kalau Galih—nama untuk penis tumpulnya itu—yang performanya bodong. Ia takut periksa ke dokter, ia takut akan mengeluarkan uang banyak hanya untuk mendengar penisnya mandul. Sementara beberapa tetangga mulutnya sudah tidak karuan, di depan Sabar mereka menahan-nahan diri, tapi di belakangnya iblis di lidah mereka bersaksi.
“Badannya gede, tapi kalah tokcer sama bapaknya.”
“Gak heran sih, mantan supir truk, dulu pasti jajan sana-sini, maninya keburu abis di jalan.”
“Sabar kok gak subur. Lama-lama istrinya yang gak sabar.”
Di tahun keempat, Sabar bertekad periksa ke dokter dan menghilangkan keragu-raguan itu. Namun, sebelum sempat duitnya terkumpul, Siti mulai sering merasa perutnya kembung, mual-mual, dan lebih lelah dari biasanya. Sabar tak ingin berharap, tetapi Siti membeli alat tes kehamilan dari minimarket depan pom bensin. “Garis dua Mas.”
“Apa artinya?”
“Aku hamil.”
Setelah empat tahun Tuhan akhirnya merasa Sabar dan Siti sudah cukup pantas dititipi anak, dan di pertengahan tahun kelima pernikahan mereka, Siti melahirkan seorang bayi yang diberi nama Tabah.
“Kenapa Tabah?” tanyaku suatu kali.
“Karena ibunya tabah,” ucapnya yakin.
“Ibunya tabah, bapaknya sabar, mbahnya kuat,” aku menimpali, “Jujur saja, kamu kehabisan ide kan?” Dia menjentik jakunku dengan telunjuk kirinya.
Tabah tumbuh seperti harapan orang tuanya, Sabar tak muluk-muluk berharap anaknya bisa lebih sehat lagi daripada itu. Beratnya 25 kg, tingginya 120 cm, dan sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Ia kerap diajak Sabar naik gerobak keliling kampung untuk menggantikan keseruan wahana pasar malam yang hanya beroperasi sesekali. Pernah sekali waktu Tabah mencoba meniru adegan film yang ia tonton di rumah kepala desa, ia nekat berdiri di ujung gerobak seperti sedang di geladak kapal. Badannya terjungkal dan lengan kirinya berdarah-darah tergores sisi pot tanah liat yang tajam.
Tabah kapok macam-macam, tetapi Sabar tak kapok menunjukkan aksi mendorong gerobak cepat dan kelihaian mengepotnya di belokan tajam ke Tabah, suatu kemampuan yang tak bisa banyak dibanggakan selain ke anak sendiri yang naik di atas gerobaknya. Bagi orang-orang yang melihatnya dari jauh, itu hanya tampak seperti pertunjukan norak yang berisik. Bagi Siti itulah alasannya menikahi Sabar. Dan bagiku itulah mengapa Tuhan baru memberinya anak di tahun keempat dan segera mengambilnya kembali—untuk menunjukkan kewenangan-Nya dan memperlihatkan rupa neraka di dunia.
Rabu malam itu hujan menderas dan angin seperti hendak mencerabut tiap pohon dari akarnya. Kegiatan susur sungai yang dikomandoi seorang guru dari sekolah Tabah berlangsung tepat sehari setelahnya, pada Kamis siang yang celaka. Sabar tak tahu apa-apa soal itu, tetapi ia akan segera tahu. Hari itu, Tabah tak kunjung pulang hingga petang menggelap. Sabar menyusuri sekolahan seperti induk ayam yang kebingungan mencari anaknya. Dari seorang guru ia mendengar berita bahwa 60 murid berangkat ke sungai sebelum zuhur, dan hanya 49 orang yang kembali. Sabar meninggalkan gerobaknya dan lari kesurupan ke arah sungai.
Di muara banyak orang berkerumun, lampu-lampu senter menyorot permukaan sungai yang bergelombang halus, perahu karet warna oranye seperti sibuk menjala ikan, dan orang-orang yang mengapung di sekeliling perahu mengantarkan badan-badan kecil berbungkus seragam pramuka. Di bantaran, para lelaki berompi oranye sigap menggotong bungkusan besar berwarna senada, setiap mendengar langkah kaki becek mereka, semakin jelas pula jantung Sabar berdetak lebih kencang. Dari kejauhan ia bisa melihat sepasang lengan kecil menggelantung saat dioper dari perahu ke lengan pria yang entah siapa, terlihat samar bekas luka lurus di lengan kiri yang terkulai jatuh, Sabar hafal betul luka itu, dan seketika juga ia berteriak, “TABAH!”
Malam Jumat itu, ketika Pak Modin selesai mengimami salat Isya di langgar, Muallim Syahbana mengambil mik dan suaranya bergetar di pelantang menyebutkan sebelas nama anak-anak yang mati. Semua begitu tiba-tiba bagi Sabar. Di pagi hari ia masih mengantarkan Tabah yang sehat, di malam harinya ia menemukan anaknya sudah jadi mayat. Setelah tragedi susur sungai maut, tak ada lagi yang sama di rumah Sabar, tidak Sabar, tidak juga Siti. Setiap orang yang kehilangan anaknya dengan cara seperti itu akan merasa menjadi orang tua yang gagal. Seperti gelas yang retak dan menunggu kapan hancur menjadi kepingan kaca, begitulah aku mendengar retakan kaca di rumah Sabar makin lebar setiap harinya. Tinggal berdua di rumah yang dulu dihuni bertiga malah terasa makin sempit. Siti selalu memasak lauk untuk tiga orang, dan Sabar tak pernah lagi kulihat makan di rumah.
Hingga suatu malam Siti menghilang, di luar hujan, dan Sabar mendapati pintu rumahnya tak terkunci saat pulang. Ia bisa mendengar suara gelas yang sudah lama retak mulai pecah. Hanya satu tempat yang terpikirkan oleh Sabar, dan tanpa menunggu hujan lebih jinak lagi, ia berlari kesetanan seperti malam ketika Tabah mati. Istrinya sering mengajak Tabah mencuci baju di salah satu sisi sungai dan bermain air bersama. Jika Sabar punya gerobak sirkusnya, maka Siti punya sungai dan sedikit cipratan air di muka untuk menghibur anaknya. Sabar tak terpikir tempat lain untuk menemukan sang istri selain di sana. Seperti yang diperkirakan, Siti berdiri di tepian tempatnya biasa mencuci baju, memandangi arus sungai yang kencang, dan tanpa sempat menoleh ke belakang untuk melihat Sabar mengejarnya, Siti melompat.
Siti tak mati malam itu. Sabar menyeretnya keluar dari sungai dengan tubuh keduanya nyaris sekarat. Istrinya compang-camping tak sadarkan diri, sementara Sabar seperti cacing tanah menggeliat. Dengan sisa-sisa napas pendeknya Sabar menggendong Siti ke puskesmas, membaringkannya di sana, dan menungguinya dengan infus masih menempel di tangan. Dua malam Siti menginap di puskesmas, Sabar enggan pulang. Ia ngeri membayangkan harus meninggalkan sang istri sendirian dan menemukannya mengambang di muara. Lalu entah kesambet apa, Sabar memilih berpisah dengan Siti, mengakhiri rumah tangganya, dan mengantarnya kembali ke rumah orang tuanya.
Tibalah di malam itu, dan tanpa direncanakan, bagian penting kisah ini selalu berlatar langit gelap dan tanah basah. Istriku menggoreng tempe mendoan lebih banyak dari malam-malam lain, tak habis dimakan olehku, tak habis dimakan olehnya. Beberapa potong masih menunggu nasibnya akan berakhir di perut siapa. “Mas, bawakan saja ke Mas Sabar,” bujuk istriku, “dia kan paling seneng gorengan.”
“Dia seneng karena murah.” Aku mengemas sisa tempe mendoan yang masih hangat. “Aku sendiri saja, tak perlu diantar,” pesanku di depan pintu.
“Memang siapa yang mau ikut? Sudah pergi sana.”
Rumah Sabar tak seberapa jauh, tapi dengan hujan sederas ini aku tetap harus berpayung untuk menerjangnya. Lampu di dalam menyala dan aku terbiasa langsung masuk tanpa izin sejak Sabar masih membujang. Kini ia tak lagi punya istri, kebiasaan lama itu terulang begitu saja, aku langsung menekan gagang pintu berkali-kali yang tak kunjung terbuka. Ia sepenuhnya terkunci, dan Sabar tak biasanya mengunci pintu rumah jam segini. Sabar tak menjawab meski namanya kupanggil berkali-kali, dan tak juga ada tanda-tanda keluar meski pintunya nyaris jebol kupukuli. Skenario terburuk menghantui kepalaku, siapa saja bisa mati malam ini.
Bahuku menghantam pintu keparat itu dua kali sebelum engselnya terbuka paksa, dan hampir-hampir badanku ikut terjerembab. Aku sepenuhnya melupakan tempe mendoan, dan kehilangan ketenangan. Nama Sabar terus keluar dari mulutku seperti zikir, tapi tak juga ia kutemukan. Jadi, Sabar tak menggantung lehernya, menenggak racun, atau memutus urat nadinya. Beberapa skenario bunuh diri di rumah gugur, aku agak lega, sebelum teringat dengan sungai tempat anaknya mati dan istrinya yang mencoba menyusul Tabah. Baru saja aku hendak berlari keluar, Sabar sudah berdiri di depan pintu seperti hantu.
Bajunya sempurna basah, dan matanya sempurna kosong, aku seperti menatap kuning telur untuk sarapan. Sabar menenteng jerigen putih yang dari baunya bisa kupastikan berisi minyak tanah. “Wati bawain tempe mendoan kesukaanmu.” Aku memungut plastik berminyak yang tergeletak di lantai. “Ayo makan dulu, mumpung masih anget, aku lapar.” Sabar kutuntun duduk di rumahnya sendiri.
“Maaf, pintumu.” Aku merasa bersalah betul telah merusaknya. “Dari mana? Terus itu…” Mataku tak bisa lepas dari dua jerigen minyak tanah yang salah satunya tersisa setengah. “Buat apa?” Karena sepertinya Sabar tak akan makan tempe mendoannya lebih dulu, aku terpaksa mengambilnya pertama.
“Aku baru saja akan membakar sekolah itu.” Sabar memandang lurus ke dua jerigen yang ia bawa. “Sekolah celaka itu, harusnya Tabah tak usah sekolah seperti bapaknya.”
Aku berhenti mengunyah, mana mungkin aku menyela cerita Sabar dengan suara gigiku yang beradu. Dan meski ia kebasahan dari ujung rambut hingga sela-sela jemari kakinya, aku yakin yang menetes dari ujung matanya bukan air hujan.
“Aku tak peduli lagi Rud, aku ingin membakar semuanya, aku tak ingin besok pagi sekolah itu masih utuh.” Sabar meremas lututnya sendiri, dari jarak sedekat itu aku bisa merasakan napasnya memburu, suaranya bergetar, dan seluruh kebenciannya merembes masuk ke kulitku. “Kalau saja hujan tidak turun… kalau saja… sekolah itu besok sudah jadi abu.”
Sabar diam dan aku bisa melihat Tabah dan istrinya di pelupuk matanya. “Kalau hujan sudah reda, dan kamu masih mau membakar sekolah itu, aku tak akan menghalangimu.”
Akhirnya ia menatapku. “Membakar sekolah itu bukan pikiran yang baru jadi malam ini. Aku merencanakannya dari lama.” Lehernya menoleh ke luar jendela. “Tapi hujan ini tidak ada dalam rencana. Begitu turun, aku ingat Siti.” Hujan masih ramai dan belum akan berhenti dalam waktu dekat, Sabar menjaga suaranya tetap jelas. “Aku tak peduli dipenjara, tapi Siti bakal punya mantan suami seorang penjahat. Hidupnya tak bisa lebih hancur lagi, Rud…”
Tanganku menggapai punggungnya yang basah, dan itu sungguh keras. “Aku dulu pernah berpikir namamu itu tidak cocok buatmu. Aku salah malam ini, namamu memang Sabar dan akan selalu begitu.”
Pada saat itulah Sabar berbalik menghadapku, air matanya tak terbendung lagi, dan suaranya pecah. Kami tak pernah sepakat soal nama, dan tidak juga malam itu. Sabar menangis dan hanya ini jawabannya untuk menutup malam yang panjang. “Aku tidak butuh sabar Rud, aku butuh kuat.” Punggungnya masih keras, namanya masih Sabar, dan aku tak mampu berkata-kata lagi.
Jakarta, 2022