Apa yang muncul di benak Anda saat membayangkan ada kendaraan yang bisa mengantar keluar-masuk lintas disiplin ilmu (semesta)? Tentunya itu bayangan yang sangat visioner. Suatu bayangan yang bisa dinikmati dengan kegembiraan. Begitulah konsep sederhana dari alih wahana.
Secara sederhana, alih wahana dalam penjabarannya merupakan pengubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Wahana berarti kendaraan, jadi alih wahana adalah proses pengalihan dari satu jenis kendaraan ke jenis kendaraan lain.
Dalam arti yang lebih luas, istilah alih wahana bahkan juga bisa mencakup pengubahan dari berbagai jenis ilmu pengetahuan menjadi karya seni. Intinya, ada pemindahan media dari suatu gagasan, pikiran, ide, konsep, dsb.
Hubungan antarmedia dalam alih wahana akan menjadi intepretasi utama praktiknya. Yang menjadi dasar dari pemikiran tersebut ialah bahwa yang terpenting memahami apa saja yang berbeda dalam berbagai media itu, dan bagaimana perbedaan-perbedaan itu dijembatani. Inilah hakikat dari intermedialitas (Damono, 2018:10).
Pada era digital seperti sekarang ini, konsep alih wahana, disadari ataupun tidak, sudah beroperasi dengan semakin cepat. Dalam konten tiktok, reels, youtube, dsb., tentu kita bisa melihat bagaimana alih wahana bekerja dan diterapkan. Hanya saja, pemahaman alih wahana masih kerap berkutat hanya pada pengubahan sastra ke film. Padahal, konsep alih wahana sangat luas, bahkan kita secara tidak langsung sudah mempraktikkannya dalam banyak hal.
Hadirnya teknologi informasi beserta atribut penunjangnya, membuat segalanya menjadi mungkin untuk berpindah, berganti, dan bereduplikasi. Apalagi, sejak pandemi Covid-19, masyarakat kita seakan berbondong-bondong memindahkan realitasnya ke simulasi ruang digital. Mulai dari pertemuan hingga pengungkapan pikiran. Semua sudah coba dialihwahanakan.
Dalam beberapa fenomena yang dapat ditemui, banyak praktisi dan pekerja seni memanfaatkan ruang virtual. Mereka mengadakan pameran daring. Terlepas dari unsur kelebihan dan kekurangan di dalamnya, tentu hal ini menarik. Justru lebih dan kurang tersebutlah yang menjadi ciri khas dalam proses alih wahana.
Kita akan dihadapkan oleh berbagai perspektif kehadiran. Tidak jauh berbeda dengan konsep sastra bandingan, alih wahana adalah bentuk perluasan atas itu. Bagaimana kita bisa mencari kelindan interteks di dalamnya. Tidak terbatas pada kajian text to text, melain text to media, atau sebaliknya, dan bisa lebih luas serta variatif. Dari sinilah pisau analisis humaniora menemukan perayaan perspektifnya.
Multiperspektif
Alih wahana menjadi tantangan tersendiri bagi intelektual masyarakat kita. Karena, di dalam alih wahana terdapat unsur utama yang disebut multiperspektif. Poin ini bisa jadi bumerang dalam praktiknya.
Dalam contoh yang sudah berlalu, pengalihwahanaan sastra ke film sering dilakukan. Tapi, masyarakat kita masih selalu gagal memahami poin pengubahan intepretasi. Kebanyakan, hasil dari alih wahana sastra ke film menimbulkan perbandingan yang hierarki. Banyak film yang dirasa gagal mengalihwahanakan sastra. Tentu ini tidak sepenuhnya benar, karena kebanyakan pendapat tersebut masih dalam perspektif sastranya (teks). Jarang ada yang menggunakan perspektif dasar perfilman dalam analisanya.
Contoh terbaru, film “Bumi Manusia” yang diadaptasi dari novel kanon Pramoedya Ananta Toer dengan judul yang sama. Banyak pemerhati masih membandingkan antara isi dan alur cerita dalam novel dengan film. Dampak atau hasil dari cara semacam itu sudah jelas, akan meminggirkan film tersebut, karena kita menggunakan pisau perspektif teks. Kita lupa, bahwa media novel dan film jelas berbeda. Baik dari segi ruang, waktu, dan estetika.
Contoh lainnya yang lebih baru. Pernahkah Anda membuat atau hadir dalam pameran virtual? Di pameran virtual, bukan realitas fisik yang kita jumpai, melainkan wujud tiruannya. Dalam pameran seni rupa daring, kita melihat rupa yang sebelumnya sudah melalui proses pemindahan media (foto-rekam-edit).
Dalam proses tersebut, tentu menimbulkan kelebihan dan kekurangan. Pada poin inilah perspektif media diperlukan. Bukan malah menilai, kok gambarnya jelek, kok tidak lega, kok terlihat aneh, kok warnanya berubah, dsb. Penilaian semacam itu tentunya sudah bagian dari konsekuensi pemindahan media, dan hal itu rasanya tidak perlu dibicarakan lebih dalam.
Pandangan semacam itu menjadi bukti bahwa kita belum sepenuhnya paham apa itu alih wahana. Karena kita masih saja menggunakan perspektif awal terhadap suatu yang baru. Inilah tantangan masyarakat kontemporer. Bisakah kita menggunakan pikiran multiperspektif?
Bisa sedikit disimpulkan bahwa pisau analisis kita dalam alih wahana masih sebatas penerapan ide, gagasan, dan estetika, belum pada tahap analisis media. Padahal, salah satu kajian utama alih wahana ialah bentuk perpindahan media beserta atributnya. Memang, dalam bentuk apa pun, selalu ada ide, gagasan, dan estetika. Tapi, kita juga harus sadar bahwa ide, gagasan, dan estetika tersebut dapat berubah ke dalam bentuk lain yang baru. Dari situlah multiperspektif bekerja.
Tentu dapat dibilang salah kaprah, saat suatu hal berubah ke bentuk yang baru, tapi masih ditafsirkan dengan perspektif bentuk sebelumnya. Sejatinya alih wahana hadir dimaksudkan untuk menjembatani perubahan itu.
Generasi hari ini (atau bisa disebut konten kreator) dapat dikatakan generasi yang sangat visioner, kreatif, dan cepat berkembang. Mereka bisa dengan mudah keluar-masuk (lintas semesta) terhadap suatu pemaknaan. Fenomena ini tumbuh subur dalam belantara media sosial, bagaimana suatu hal terus berpindah, bergerak, dan bertransformasi ke bentuk-bentuknya yang baru. Kita secara tidak langsung sudah mulai mengendarai kendaraan (alih wahana) tersebut. Tapi, kadang kita masih belum mampu memahami kehadiran multiprespektif dari hasil alih wahana.
***
Editor: Ghufroni An’ars