“Tidak ada pantai di negara kami,” seorang gadis Hazara pernah mengatakan itu kepadaku.
Aku sedang kebelet pengin merokok ketika kali pertama bertemu dengan si gadis Hazara itu. Itu terjadi pada suatu malam bulan di April tahun yang lalu. Waktu itu aku baru saja memulai hobi baru memancing setelah keluar dari pekerjaan yang menjadi sumber martabatku selama empat tahun terakhir, di sebuah toko perlengkapan olahraga. Dengan sisa-sisa tabungan aku membeli satu set alat pancing di toko barang bekas di internet dan menghabiskan malam-malam membosankan sendirian di tepi sungai Jeneberang.
Aku akan duduk di atas sebuah batu besar sambil mengisap rokok, membiarkan wajah menjengkelkan kepala-cabangku-yang-baru berputar-putar di pikiranku. Sosok yang kenal pun tidak tapi entah mengapa begitu membenciku dan akan melakukan segala cara untuk membuatku tak nyaman. Begitulah, aku terpaksa melepas pekerjaanku setelah salah seorang kawan mengaku kepada polisi bahwa aku menyuruh mereka membuntuti dan mengeroyok si bos dalam perjalanan pulang ke rumahnya pada suatu malam.
Banyak malam berlalu dan tak pernah sekali pun pancingku disambar ikan.
Biasanya orang-orang Hazara muncul ketika sore belum jatuh sempurna, lebih awal dari siapa pun. Mereka akan berbaur dengan penduduk setempat di hamparan padang rumput yang membentang sepanjang sungai Jeneberang sampai ke laut di luar. Mereka menonton perlombaan merpati atau anak-anak bermain bola. Kadang juga terlihat mereka sedang berbincang-bincang dengan imigran kulit hitam asal Sudan dan Somalia.
Orang-orang Hazara akan menggelar tikar, bersantai di dermaga batu yang terbengkalai, atau joging di atas tanggul dan berhenti untuk menyaksikan matahari perlahan tenggelam dilahap oleh ketenangan laut Makassar.
Orang-orang Hazara muncul berkelompok, menaiki sepeda atau berjalan kaki sejauh lima kilometer dari pusat kota. Perawakan mereka cukup mengundang perhatian warga lokal. Mereka memiliki tinggi badan di atas orang Indonesia pada umumnya dan berkulit putih. Orang Hazara memiliki sepasang mata kecil, tulang pipi runcing, dan hidung pendek yang diturunkan selama puluhan generasi dari nenek moyang pengembara Asia Tengah mereka. Namun, tak banyak yang tahu bahwa orang Hazara berasal dari Afghanistan.
“Wah, aku kira Afghanistan itu orang Arab.” Komentar yang paling sering kudengar atas penampilan mereka.
“Kalian lebih mirip orang Cina atau apa gitu.” Kata yang lainnya.
Orang-orang Hazara akan tersenyum dan menggeleng. Sering juga ada yang menjawab sebisanya.
“Jadi kalian imigran?” Tanya yang lain lagi.
“Oke. Kalian itu suku Hazara, ya? Sementara Taliban adalah suku Pashtun. Dan kalian sedang mencoba lari dari kekacauan di negara kalian, begitu?”
“Kejam sekali, tapi mengapa Taliban sangat ingin menghabisi Hazara? Apa itu tidak terlalu berlebihan atau…”
Lebih sering orang-orang Hazara tak menjawab pertanyaan terakhir ini. Sebagian karena mereka terkendala bahasa untuk menjelaskan, yang lainnya memilih diam saja demi mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang tak menyenangkan.
Namun, gadis yang muncul pada malam itu sangat berbeda dari orang-orang Hazara yang kutemui sebelum ini. Hujan baru selesai turun sejak sore, dan hawa dingin begitu menusuk persendian. Aku sedang menyisir sela-sela bebatuan dengan kesal, sembari mengarahkan senter ke sana kemari, menduga-duga di mana aku secara tolol menjatuhkan korekku. Ketika hampir menyerah dan berpikir untuk pulang saja, aku merasakan kehadiran seseorang yang berlari-lari kecil di puncak tanggul. Dari jaket parasut yang digunakannya, celana training dan sepatu lari, aku menduga dia seorang pemuda Hazara.
Hanya orang Hazara yang keluar joging tengah malam begini, di tempat seperti ini. Aku menggoyang-goyangkan sinar senter ke arahnya dan berteriak.
Tapi sepertinya ia tak mendengarku.
“Aey, ada korek tidak?” teriakku lagi.
Sosok itu berhenti. Wajahnya samar tertutupi tudung jaket. Lama ia mematung memperhatikanku, sampai-sampai aku merasa seperti seonggok batu dipandangi begitu. Tapi alih-alih menjawab ia justru menuruni tanggul. Bertumpu pada bokong dan kedua kakinya, sosok itu meluncur di atas rumput dan mendarat dengan sempurna, lalu berjalan menghampiriku. Barulah ketika menurunkan tudungnya kutahu bahwa ia seorang perempuan.
Aku mencoba tidak terkejut. Aku terpaksa menanyakan korek sekali lagi tanpa yakin.
Ia menggeleng. Aku jauhkan sorot senter dari tubuhnya dan mendesah pelan. Aku berjalan kembali ke pancingku.
“Banyak ikan, ya?” ia mengikutiku dari belakang.
“Susah,” jawabku. “Eceng gondok, habis hujan,” kutunjuk gumpalan gelap yang bergoyang-goyang menutupi hampir seluruh permukaan air.
“Malam ini sendiri lagi?” Ia bertanya lagi.
Aku tak ingin menjawabnya. Kubiarkan pertanyaan itu mengambang bersama dingin di udara dan eceng gondok sialan itu.
Selanjutnya sunyi yang canggung mengambil alih.
“Kamu Afghan, kan?” tanyaku setelah ia tak menunjukkan tanda-tanda untuk pergi.
Gadis itu mengangguk dan tanpa diminta ia duduk di sebuah batu tak jauh dariku. Dari sudut mataku, kusadari ia tengah memperhatikanku.
“Sudah berapa lama kamu di Indonesia?”
“Empat tahun,” katanya sambil mengangkat empat jari di depan wajahnya.
Jadi kukatakan bahwa ia tak perlu melakukan gestur seperti itu, karena bahasa Indonesianya sudah lumayan bagus. Entah mengapa ia tersenyum mendengarnya. Gadis itu menambahkan bahwa meski banyak yang berkata demikian, tetap saja ia merasa kesulitan berkomunikasi karena begitu asing dengan aksen Makassar. Lagi pula, ia sangat jarang berinteraksi dengan orang lokal sehingga sedikit takut jika salah ucap.
Aku bilang tak perlu repot-repot menyesuaikan aksen. Orang Makassar tak peduli dengan hal itu.
Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Zohra. Ia datang ke Indonesia sebagai imigran pada tahun 2017. Ia sekarang tinggal bersama kakaknya Murtaza di Community House yang disediakan pemerintah. Sebenarnya mereka datang bertiga bersama ayahnya. Namun, ayahnya yang bertindak sebagai ketua rombongan harus kembali Jakarta mengurus kepastian pemberangkatan mereka ke negara yang mau menampung.
“Australia, ya?” tanyaku.
Ia mengangguk antusias. “Di sana bagus. Ada banyak pekerjaan.”
“Tentu saja, dibanding di sini,” balasku.
Kami terdiam lagi. Gadis itu seperti memikirkan tanggapanku. Bibirnya terlihat bergerak-gerak namun tak kunjung keluar suara.
“Jadi kau punya kenalan di sana?” aku tak mau percakapan kami berakhir menggantung.
“Banyak,” ia berpikir sebentar. “Beberapa teman di kampung halamanku berangkat lebih dahulu.”
Zohra berasal dari sebuah desa kecil di Mirzawalang, provinsi Sar e Pol yang terletak di sebelah utara. Tempat itu dikenali sebagai wilayah yang banyak ditinggali etnis minoritas Syiah dari suku Hazara. Ibunya menjadi salah satu korban ketika Taliban yang bekerja sama dengan ISIS (Islamic State) menyerang kota itu pada pertengahan 2017. Taliban mengepung rumahnya pada suatu malam dan mencari ayahnya yang bekerja sebagai seorang jurnalis. Karena tak menemukannya, Taliban lalu menyeret sang istri yang tak sempat kabur setelah meloloskan Zohra dan kakaknya melalu pintu belakang untuk bersembunyi ke sebuah bukit. Keesokan harinya mayat sang ibu ditemukan di pintu masuk desa dengan lubang peluru di sekujur tubuhnya. Taliban telah mengeksusinya bersama puluhan lainnya.
Aku meletakkan pancingku. Kurasakan hawa semakin dingin. Seorang Hazara berbicara tentang hidupnya secara terbuka kepadaku. Aku kenal beberapa di antara mereka, tapi semuanya laki-laki. Kami bertemu di gym atau kafe-kafe yang tersebar di sepanjang jalan dekat rumahku. Sesekali kami ngobrol tapi tak pernah sampai sejauh ini. Aku bahkan tak pernah berniat menanyakan nama mereka karena hal itu, tak bisa tidak, akan berlanjut ke pembicaraan perang yang penuh trauma. Setidaknya itulah yang tertanam di kepalaku sejak kecil setiap kali terbangun untuk kencing tengah malam dan melewati Bapak sedang duduk di ruang televisi, menonton liputan Timur Tengah yang menampilkan orang-orang mengungsi meninggalkan kota-kota yang hancur dihajar bom.
Zohra memandang ke muara di luar sana. Aku bisa merasakan kesedihan menguar dari dalam dirinya. Kualihkan pandangan pada lampu-lampu berkelip pada perahu-perahu nelayan yang bersandar di sepanjang sungai. Suasana begitu sunyi. Hanya sesekali mobil melintas di jembatan di atas kami. Aku melirik jam tanganku, hampir pukul sebelas malam.
“Kau pasti bertanya-tanya kenapa seorang gadis sepertiku menceritakan ini kepadamu,” katanya sesaat kemudian.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Zohra bangkit dari duduknya, menepuk-nepuk belakang celananya dan bersiap untuk pergi.
“Aku melihatmu hampir setiap malam di sini,” katanya lagi. “Di batu yang sama. Selalu sendiri.”
“Ya,” jawabku singkat.
Ada banyak orang sepertiku di sepanjang sungai tapi pada dasarnya mereka datang sendiri-sendiri.
Zohra tersenyum sekali lagi dan ditarik oleh sebuah daya dalam dirinya aku juga bangkit berdiri. Ia menyorongkan tangannya. “Aku belum tahu namamu.”
Kusebutkan namaku dan ia bertanya apa aku akan muncul lagi besok malam. Aku mengangguk pasti. Lalu sebelum berbalik pergi, ia mengatakan sesuatu yang kurang lebih seperti ini:
Aku telah menjadi kamu, dan kamu adalah aku
Aku adalah tubuh, kamu adalah jiwanya
Sehingga tidak seorang pun yang bisa mengatakan setelah ini
Bahwa kamu adalah seseorang, dan aku adalah orang lain
“Itu syair dari negaramu?” tanyaku setelah menyadari ini bukan sejenis gombalan.
“Amir Khusrow,” katanya. “Penyair Hazara yang hidup di abad 13. Waktu kecil, ayahku sering membacakan puisi-puisinya sebelum kami tidur.”
Aku memperhatikannya mendaki tanggul rumput yang licin dengan hati-hati. Mataku terus mengikutinya berjalan di bawah sinar lampu-lampu jalan yang berada di pemukiman seberang. Sosoknya tenggelam menuruni tangga lalu sesaat kemudian muncul lagi di undakan menuju jalan utama. Di bawah sebuah papan reklame rokok super besar ia berbalik dan mengangkat tangan untukku, lalu menghilang ke dalam hutan beton gedung-gedung perkotaan.
Sepanjang malam itu tak terhitung beberapa kali aku menoleh ke batu tempatnya tadi duduk. Aku berpikir mungkin menyenangkan jika seorang gadis menemaniku bercakap-cakap. Tapi kemudian aku meralatnya karena tidak semua gadis menyenangkan diajak ngobrol. Aku pernah punya pacar, dua sampai tiga, tapi mereka semua terlalu bodoh. Hanya Zohra, itu dia. Aku sebenarnya menginginkan gadis itu lebih lama lagi di sini, di dekatku. Melihat senyumnya, malam-malam berat menganggur ini bisa sedikit tertanggungkan.
Aku berusaha menghalau pikiran itu dan kembali ke pancingku tapi tidak bisa. Menyadari itu aku dibikin tersipu malu sendiri. Aku bahkan telah melupakan rasa dingin dan keinginan untuk merokok. Wajah Zohra mengingatkanku pada seorang aktris Cina terkenal. Tapi siapa ya?
“Gong Li,” kataku ketika kami bertemu lagi di malam yang lain.
“Siapa itu?” Tanya Zohra.
Aku membuka ponselku dan masuk ke peramban Google. Kuperlihatkan foto artis yang kumaksud.
Ia tertegun sebentar lalu tertawa.
“Tidak… tidak,” katanya menggeleng. “Sangat jauh perbedaannya. Bagaimana bisa kamu berpikir kami berdua mirip?”
Waktu itu aku dan Zohra telah cukup akrab. Ia secara teratur singgah menemuiku dalam perjalanan pulangnya dari Joging. Ini sedikit aneh karena kami bahkan merasa tak harus mengambil nomor kontak satu sama lain dan merencanakannya. Yang kuperlukan hanyalah duduk di sana dan menunggu. Namun, belakangan aku menyadari bahwa pertemuan dengan Zohra telah menjadi sesuatu yang dinantikan, jika bukan dipersiapkan. Aku mulai memperhatikan pakaian yang kukenakan, memikirkan bahan pembicaraan, berlama-lama di cermin untuk mencukur janggut dan kumis -meski tak ada seorang pun yang akan peduli pada semua itu di tengah kegelapan.
Obrolan kami pun berjalan menyenangkan, tak pernah putus, mengalir pelan tapi mantap, seperti arus sungai yang selalu menemukan celah di antara bebatuan untuk membuatnya senantiasa bergerak.
Pantha Rei kata filsuf zaman dahulu. Dalam arus mengalir itu kami mulai mengenali kehidupan satu sama lain. Zohra juga sesekali menanyakan hal pribadi tentang hidupku. Jadi kuceritakan yang umum-umum termasuk tentang pekerjaanku. Tentu saja tanpa memasukkan bagian pengeroyokan bos itu. Aku bilang aku berhenti karena ingin mencoba hal baru.
Zohra juga selalu membacakan puisi-puisi yang diingatnya. Setiap malam ia muncul dengan puisi baru dan berbeda sampai-sampai aku membayangkan kamarnya hanya dipenuhi buku-buku. Ia akan mengucapkannya dalam bahasa Inggris dan aku akan menerjemahkannya ke bahasa Indonesia semampuku. Dari situ aku juga mulai mengetahui bahwa Ayah Amir Khusrow menyeberangi sungai Indus pada usianya yang masih muda kemudian menikahi seorang perempuan setempat dan menjadi pegawai tinggi di kesultanan Delhi.
Sejak kecil Amir Khusro dididik Quran, bahasa Persia, Teologi, dan ia bisa menulis puisi dalam bahasa India dan Persia. Entah ada hubungannya atau tidak, ini mengingatkanku pada Khusrow yang lain. Nashir Khusrow, penyair Persia yang hidup di zaman dinasti Seljuk. Zohra bilang mereka terpaut masa hidup 200 tahun.
“Yang satu ini menulis kitab perjalanan terkenal,” katanya, “judulnya Safarnameh.”
“Apa kau pernah membacanya juga?” tanyaku takjub atas pengetahuannya tentang literatur Persia.
Zohra menggeleng dan tersenyum. “Ayahku menceritakannya kepada kami.”
Ayahnya tentulah seorang yang hebat.
Pernah sekali, Zohra muncul bersama kakak laki-lakinya. Murtaza aslinya sedikit pendiam. Secara fisik bisa dibilang sempurna. Ia memiliki dada bidang dan sepasang kaki yang jenjang untuk membuatnya terlihat tegap. Tatapan matanya sedikit sinis dan ketika kami ngobrol, alih-alih itu jadi pembuka pintu keakraban, kata-kata yang diucapkan terkesan dipilih sehati-hati mungkin sehingga membuatnya semakin tertutup.
Aku menduga Murtaza tak begitu senang melihat adik perempuannya dekat dengan penduduk lokal sepertiku, karena ketika ia menjabat tanganku ada sedikit cengkeraman keras yang menyiratkan permusuhan. Zohra hanya tertawa ketika aku memberitahunya. Ia bilang meskipun Murtaza tiga tahun lebih tua darinya tapi sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari dirinyalah yang memegang kendali. Zohra menentukan apa-apa yang boleh dan tidak dilakukan oleh Murtaza selama ini.
“Dia sebenarnya menyukai seorang perempuan sini,” kata Zohra kepadaku.
“Wah kabar bagus,” kataku bersemangat.
“Bagus kenapa?”
“Tentu saja. Maksudku, hal seperti itu bisa membantunya mengalihkan pikiran, supaya tidak mati dalam kebosanan.”
Zohra menggeleng. Matanya ditujukan ke suatu titik di tengah sungai. Entah mengapa aku merasa bersalah telah mengatakan hal barusan.
“Perempuan itu janda beranak satu. Ia menjaga toko kelontong di seberang jalan tempat kami tinggal. Murtaza membeli keperluan sehari-hari kami di sana.”
Karena statusnya sebagai pengungsi, orang-orang Hazara tidak diperbolehkan untuk bekerja. Mengandalkan bantuan yang tak seberapa dari UNHCR mereka harus berhemat dari hari ke hari. Namun, tetap saja santunan itu tak bisa mencukupi kebutuhan mereka. Bertahun-tahun tanpa kepastian pemberangkatan ke negara tujuan membuat bekal menipis dan hidup terasa semakin sulit.
Para pengungsi yang dibebani harapan untuk menyokong ekonomi keluarga yang ditinggalkan di Afghanistan, ternyata harus berakhir mengemis-ngemis pada kebaikan hati negara yang juga memiliki segudang masalah seperti Indonesia.
Beberapa pengungsi mengambil langkah nekat; laki-laki Hazara akan bekerja sebagai kuli bangunan lewat bantuan mandor nakal atau yang kasihan, membawa mereka sampai ke daerah-daerah di luar kota. Meski akhirnya ketahuan juga oleh petugas dan diangkut kembali ke Makassar. Hal itu membuat banyak di antara mereka frustrasi.
Zohra mengatakan setidaknya telah terjadi empat belas kasus bunuh diri di antara pengungsi sejak kedatangan mereka ke Indonesia. Seorang di antara mereka yang bernama Ali, bahkan teman dekat Murtaza saat masih transit di Malaysia.
Selama beberapa waktu lamanya Murtaza dan Ali menjadi sepasang tak terpisahkan untuk saling berbagi keresahan. Persahabatan yang hangat di antara para pengungsi setidaknya bisa menumbuhkan perasaan sepenanggungan untuk melewati masalah bersama. Tapi tidak bagi almarhum Ali. Suatu sore, karena tak kunjung muncul di bangku taman tempat mereka menghabiskan waktu duduk-duduk, Murtaza yang penasaran mendatangi kamar Ali hanya untuk menemukannya tak bernyawa dengan tali melilit lehernya di langit-langit.
Kematian Ali menjadi pukulan telak bagi hidup Murtaza selanjutnya. Tak disangka sosok bersahaja yang dikenalnya selama ini begitu rapuh di hadapan kenyataan. Murtaza jatuh terpuruk dan semakin murung dari hari ke hari.
“Dulunya dia anak yang ceria,” kata Zohra. “Usianya akan masuk 25 minggu depan. Ketika kami meninggalkan Afghanistan bertahun-tahun lalu aku masih bisa melihat senyumnya sesekali. Ayah terus menyemangati kami, berjanji bahwa di Australia atau Selandia Baru kami bisa menata hidup kembali. Berbeda dengan yang lain, kami tak punya siapa-siapa lagi di Afghanistan untuk dikhawatirkan. Di tempat yang baru, Murtaza mungkin bisa mengejar cita-citanya sebagai atlet basket dan aku akan mendaftar di sekolah kedokteran. Namun, semua mulai berjalan di luar rencana. Pertama kematian Ali lalu kami terpisah dengan ayahku. Mustahil menempatkan semua pengungsi di satu kota. Jadi kami berdua dipindahkan ke kota ini dan sejak saat itu Murtaza jadi pesimis melihat masa depan.”
Murtaza yang pendiam bahkan mulai menolak untuk berbicara dengan ayahnya lewat telepon. Ia akan mengurung diri di dalam kamar seharian. Ketika Zohra bertanya kepadanya ia akan menjawab bahwa sedang memikirkan Ali. Gadis itu berusaha meyakinkannya dengan kesal bahwa Ali adalah masa lalu. Nasib untuknya mungkin sudah digariskan begitu.
“Lalu, suatu hari,” katanya tersenyum samar. “Aku tidak ingat kapan ia terakhir terlihat bahagia tapi sangat jelas cahaya di wajahnya telah kembali. Kakakku seperti menemukan alasannya untuk tetap hidup.”
Zohra mengira Murtaza telah insaf dan berhasil melihat sisi lain kemalangan hidup yang menimpanya. Murtaza tak lagi mengurung diri di kamar. Ia bangun pagi sekali dan melakukan salat. Lalu ia akan membantu Zohra melakukan pekerjaan rumah. Ia juga rutin berlari setiap pagi dan sore. Hal itu sedikit membuat Zohra lega karena bisa membantunya mengusir pikiran bunuh diri pada kakaknya. Sampai ia mendengar desas-desus dari sesama pengungsi tentang hubungan antara Murtaza dan janda di toko kelontong itu.
“Lalu, bagaimana reaksimu?”
“Aku sangat marah,” Zohra berkata. “Belum pernah aku memarahi Murtaza sekeras ini. Aku bersumpah demi nama almarhum ibuku tak akan membiarkannya mendekati perempuan itu.”
“Kenapa?” tanyaku. “Apa karena dia seorang janda?”
“Bukan begitu,” Zohra berhenti. Ia seperti memikirkan kata-kata yang pantas. “Hanya saja, Indonesia tidak ada dalam rencana kami.”
Ujung pancing yang tertahan di bawah sendalku bergerak-gerak. Sepertinya ada ikan yang termakan umpan. Zohra memperhatikan tali pancing yang menegang tertarik ke tengah sungai. Ia tak berkata apa-apa dan menoleh ke arahku. Ia pasti memergoki ekspresi aneh pada wajahku karena kami saling memandang untuk waktu yang lama. Perasaan kecewa memenuhi dadaku. Indonesia memang tak ada di dalam sepasang mata gadis itu.
“Kamu tahu tidak,” katanya berusaha memecah kebekuan di antara kami. “Afghanistan tidak memiliki garis pantai sedikit pun.”
Seketika hal itu membawaku kembali ke kenyataan.
“Itu artinya kalian tidak pernah melihat laut?” kataku sedikit terbata.
Ia mengangguk.
Masuk akal sekarang mengapa orang-orang Hazara sangat menyukai tempat ini. Jadi aku ceritakan sedikit sejarah bagaimana bibir sungai yang kami berdua duduk di atasnya ini dulunya merupakan pusat peradaban yang cukup kosmopolit di abad ke-15. Kapal-kapal dari seluruh dunia pernah melintas di sini. Portugis, Belanda, dan Tiongkok melakukan perdagangan di kota Makassar.
“Dulu kami memiliki kerajaan yang sangat besar,” kataku. “Kekuasaan dan daya jangkau armada-armada kapalnya sampai ke kepulauan Filipina di utara, Malagasy di barat, dan Benua Australia di selatan. Lalu kemudian Belanda yang serakah datang menghancurkannya.”
“Sepertinya kita hanya menunggu giliran masing-masing,” kata Zohra. Ia terdiam lalu melanjutkan. “Yang kutahu, sejarah sebuah bangsa adalah sejarah jatuh bangun.”
“Bisa jadi,” balasku sambil bangkit berdiri. Zohra bertanya ada apa. Aku mengulurkan kedua tanganku untuk membantunya berdiri. “Aku akan memperlihatkanmu sesuatu.”
Kami meninggalkan peralatan memancing di sungai begitu saja. Aku berjalan di depan menaiki tanggul sambil menyalakan rokok dan gadis itu mengikutiku dalam jarak tetap. Kami melintasi setapak di bawah cahaya bulan yang separuh redup lalu naik ke jembatan tanpa mengambil rute memutar menuruni tangga untuk sampai ke jalan utama. Kupersilakan gadis itu memanjat rangka besi jembatan lebih dahulu dan aku menopang tubuhnya dari bawah. Ketika sampai di atas kami berhenti sejenak menyaksikan sebuah kapal nelayan melintas di bawah kami. Pukul sepuluh lewat seperempat, mereka baru saja mau keluar ke muara.
“Aku masih penasaran dengan maksud sejarah jatuh bangunnya sebuah bangsa itu.” Kataku ketika kami melanjutkan berjalan di trotoar jembatan.
Zohra bercerita bahwa ia sering mendengar cerita kejayaan nenek moyang suku Hazara yang bisa dilacak hingga ke sosok Jenghis Khan sang penakluk. Secara heroik pasukan berkuda Mongol berhasil menguasai dataran Eurasia pada abad ke-13. Sepanjang masa-masa kegemilangan itu orang-orang Mongol membangun peradaban, bercampur dan menjalin hubungan dengan kebudayaan suku-suku lokal; Persia, Arab, India. Nenek moyang Zohra yang menempati tanah yang kemudian hari disebut Afghanistan itu memutuskan masuk Islam dan sekali untuk selamanya terikat dengan tanah tersebut.
“Sampai sekarang aku masih tak bisa memahami mengapa Taliban selalu menganggap kami orang luar dan terus memburu kami.”
“Guru agamaku di SMA adalah seorang pengagum Taliban,” balasku. “Ia pernah mengatakan bahwa konflik Afganistan adalah perjuangan Islam mengusir penjajah Amerika dan sekutu baratnya. Dan sudah sewajibnya setiap muslim harus mendukung mereka yang melawan.”
“Itulah yang selalu Taliban katakan kepada dunia. Mereka mengklaim sedang memperjuangkan Islam padahal yang mereka lakukan hanyalah membunuh sesama muslim, orang-orang tak berdosa seperti kami.”
“Mereka tak pernah menganggap kalian sebagai saudara Islam, bukan?”
“Mereka bahkan tak punya hak untuk mengatakan kami bukan muslim,” tegas Zohra. “Dan persoalannya bukanlah pada fakta bahwa kami Syiah dan mereka Sunni. Ada juga orang-orang Hazara yang Sunni. Melampaui itu ada sesuatu dalam diri kami yang begitu mereka benci dan ingin mereka hapuskan.”
“Apa itu ada hubungannya dengan kebencian terhadap nenek moyang kalian?”
“Sesungguhnya ada banyak perdebatan tentang hal itu,” Ia berhenti berjalan dan memandangi kapal nelayan yang semakin jauh meninggalkan muara. “Secara fisik kami memang memiliki ciri-ciri mongoloid khas Asia Tengah. Namun, beberapa peneliti mengatakan bahwa kami sebenarnya keturunan Turki, sementara yang lain mengatakan kami campuran keduanya. Tak sedikit pula yang percaya bahwa kami tidak berasal dari mana-mana, kecuali telah mendiami lembah tersebut sejak era Alexander Agung. Sepanjang waktu orang-orang luar terus mendefinisikan kami dengan kepentingan terselubung dan rasa kasihan, lalu menghubungkannya dengan penindasan yang kami terima selama ini seolah-olah itu semua dikarenakan penampilan fisik kami.”
Ia melanjutkan berjalan sambil menunduk, memandangi kakinya yang bergantian bergerak maju.
Sesampainya di ujung jembatan, kami berbelok turun ke setapak kecil untuk melanjutkan berjalan sekitar beberapa ratus meter ke muara di luar. Di kiri kanan kami terdapat semak-semak berduri. Di sini sedikit lebih ramai dibanding tempatku tadi. Beberapa lelaki terlihat duduk di atas batu. Mereka menoleh ketika kami lewat tapi segera kembali memandangi laut, sibuk dengan urusan masing-masing. Suara ombak begitu keras mengempas bebatuan sehingga menenggelamkan bisik-bisik kami. Di luar sana lampu-lampu dari kapal berkelip-kelip di permukaan laut yang tenang.
Aku membayangkan sebuah peta besar Indonesia yang menempel di dinding kelasku sewaktu sekolah dasar dulu. Pulau-pulau yang dikelilingi laut berwarna biru. Di ujung bawah peta terdapat potongan benua Australia serupa cula badak yang ikut ke dalam gambar.
“Kalau aku tidak salah di seberang lautan inilah Australia berada,” kataku menunjuk lautan.
Zohra membuka tudung jaketnya. Ia kini berdiri di tepi pantai, di atas fondasi beton. Busa-busa kecil air laut pecah di bawah kakinya. Bulan bersinar tidak begitu sempurna tapi aku masih bisa melihat wajahnya. Ia benar-benar mirip Gong Li. Rambutnya ia kuncir sederhana. Beberapa helai tipis jatuh di dahinya yang tinggi. Yang baru kusadari adalah ia memakai perona pipi merah muda dan lipstik kali ini. Kami berdua berdiri diam menatap lautan tapi kami sejatinya tak melihat pemandangan yang sama. Tatapan gadis itu seperti melampaui cakrawala, menembus batas-batas fisik penglihatan. Raganya di sini tapi visinya sedang berada di tempat lain. Sekeras apa pun aku mencoba, aku tak menemukan hal lain selain laut yang tenang dan tak berubah seperti kali pertama aku melihatnya.
Ketika aku menoleh kembali kepada Zohra sepasang air mata meluncur membelah pipinya.
***
Satu tahun berlalu setelah hubungan singkat yang terjalin antara aku dengan si gadis Hazara. Sepanjang waktu itu ada banyak hal yang terjadi dalam hidupku. Setelah malam di pantai musim hujan yang panjang dimulai. Makassar diguyur hujan deras dari pertengahan April hingga awal Desember. Sesuatu yang tak biasa kata penyiar di radio. Makassar terendam banjir berkali-kali dan media sosial diramaikan saling tuding sana-sini. Pemerintah kota mengeluhkan kebiasaan buruk masyarakat membuang sampah sembarangan dan orang-orang mengejek pemerintah yang mencoba mengerdilkan definisi banjir sebagai genangan. Air meluap naik ke padang rumput Jeneberang, menjadikannya tak lagi aman untuk dikunjungi.
Suatu malam aku pergi ke sana berharap melihat seseorang tapi yang kutemui hanyalah dermaga sunyi, lumpur yang menenggelamkan kaki dan beberapa pohon tumbang di mana-mana. Tak ada lagi orang-orang Hazara yang melakukan aktivitas malam di sini, bahkan untuk sekadar berlari-lari di atas tanggul sepi.
Dan ketika musim hujan berhenti aku menerima telepon dari tempat kerjaku yang dulu dan menawariku kesempatan kedua.
“Aih, ternyata kau benar,” bekas partnerku menelepon dari toko alat olahraga. “Pak Wahyudi yang pernah kau bilang bermasalah itu baru saja menerima surat pemecatan dari kantor pusat. Ia benar bersekongkol menilep uang bareng pacarnya Rina di bagian keuangan. Penjualan selama dua tahun ini stagnan di bawah target. Rencana perluasan pasar ke Sulbar gak jalan dan yang paling penting, semua karyawan tak menyukainya.”
Ia berbicara dan terus berbicara. Di akhir sambungan ia menanyakan apa kesibukanku sekarang, tapi tanpa menungguku mengarang cerita ia menanyakan kesediaanku bergabung kembali. Aku hanya diam.
“Gak usah kau pikir yang lalu-lalu itu,” katanya lagi. “Kita ini sedang mencoba keluar dari kelesuan pandemi. Produk baru menumpuk di gudang, kita harus bicara sama orang yang mau diajak bisnis. Sewaktu rapat kemarin, semua orang membicarakanmu, mengingat-ingat kebaikanmu. Kau yang paling tahu urusan seperti ini. Kau bisa jual raket kita bahkan di desa-desa yang tidak ada lapangan tenisnya. Kau bisa yakinkan orang paling malas buat berolahraga. Kepalamu memikirkan segala cara…”
Demikianlah. Aku kembali ke pekerjaanku yang dulu. Aku segera tenggelam dalam kesibukan memasarkan barang dan waktu yang ada untuk mengingat-ingat Zohra pun semakin sedikit.
Aku hampir melupakannya ketika dua hari yang lalu aku kembali bertemu dengan orang-orang Hazara di tempat yang lain. Aku sedang mewakili kantor untuk urusan bisnis di Jakarta. Itu adalah bazar tahunan sejumlah brand apparel olahraga lokal yang diselenggarakan Kementerian Perindustrian. Dari lokasi bazar aku kembali ke hotel tempatku menginap sore harinya menggunakan ojek online.
Di tengah jalan terjadi kemacetan yang cukup parah. Sopir di depanku terus mengumpati dirinya sendiri karena kami seharusnya tidak lewat di depan kantor Komisi Tinggi PBB untuk pengungsi berada. Orang-orang Afghanistan sedang melakukan demonstrasi.
Mendengar itu aku segera turun dari ojek dan berjalan menuju pusat kemacetan. Ada kerusuhan kecil. Terjadi saling dorong antara sekelompok pemuda Hazara dengan polisi berseragam lengkap tameng dengan baton. Polisi memukul, beberapa orang mengerang kesakitan. Orang-orang Hazara berseru melalui pengeras suara meminta polisi untuk tidak bertindak kasar karena ada anak-anak dan perempuan.
Aku melihat beberapa perempuan merebahkan diri di aspal sambil memeluk anak-anak mereka, tak ingin dibubarkan. Mereka menangis, memohon dalam bahasa Indonesia yang aneh. Salah seorang di antara mereka, lelaki paruh baya yang wajahnya tak begitu asing, mengambil megafon dan menenangkan orang-orang. Dari cara bicara dan keletihan di wajahnya jelas bahwa dirinya pemimpin demonstrasi ini.
Orang-orang Hazara akhirnya membubarkan diri setelah seorang perwakilan dari kantor tersebut keluar dan mengatakan sesuatu yang sepertinya janji, tapi tidak begitu kudengar karena tenggelam oleh suara massa yang tak puas. Orang-orang Hazara bersiul, meneriakkan huu! dan mengonfrontasi dengan gaduh.
“Sepertinya tak ada hasil lagi hari ini,” kata sopir ojek yang ternyata ikut menonton di sampingku. “Aku selalu menyempatkan diri untuk menyaksikan demonstrasi mereka. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda mereka akan diberangkatkan ke Australia.” Ia mendecakkan lidahnya.
Orang-orang bubar satu persatu. Sopir ojek itu menyerahkan helm untukku. Bersiap untuk melanjutkan perjalanan.
“Sebentar lagi,” kataku. Aku masih bersandar di tiang lampu memperhatikan orang-orang Hazara menyeberang jalan untuk pulang ke kamp pengungsian mereka di suatu tempat entah di mana. Perempuan, laki-laki, tua atau kanak-kanak, semuanya tampak letih dengan langkah gontai. Ratusan Hazara dalam barisan panjang dan rapi tanpa semangat. Tulisan protes dari karton dan bendera hitam-merah-hijau terkulai lemah di tangan mereka. Semuanya membisu sewaktu melewatiku.
Agak jauh di belakang, lelaki tadi, pemimpin demonstrasi ini mengawasi teman-temannya. Ia satu-satunya yang tersisa dengan kepala tegak. Ketika ia lewat di depanku, kami bertemu tatap. Aku mengenalnya sudah pasti. Sudah lama aku tak melihat wajah itu. Aku tersenyum kepadanya dan ia balas mengangguk dan terus berlalu.
Tetapi aku telah mencengkeram satu pergelangan tangannya. Lelaki itu berhenti dan memandangiku keheranan. Aku mengeluarkan dompet dari celanaku dan dengan sigap ia menepisnya dengan gestur penolakan.
“Bukan uang,” kataku. “Kumohon, tunggu sebentar.” Aku buru-buru mencari dalam dompetku, terselip di antara segala macam kartu, sebuah foto ukuran 2R yang telah dilaminating menyerupai KTP, dan meletakkan ke tangannya yang terbuka. Aku mengatupkan jari-jarinya dengan pelan untuk menggenggam foto itu. Aku lalu mengucapkan terima kasih dan berjalan kembali ke ojek yang menungguku.
Ketika kami telah bergerak menjauh aku menyaksikan dari spion, lelaki itu berlari-lari kecil mengejarku. Namun, aku hanya mengangkat satu jempol memunggunginya. Aku rasa foto itu lebih baik jika dipegang olehnya.
“Kasih apa ke orang itu, Bang?” Tanya si sopir ojek.
“Bukan apa-apa,” jawabku singkat.
Malam itu, aku menggenggam tangan Zohra dan menariknya ke tubuhku. Ia menangis sesenggukan dalam pelukanku untuk waktu yang lama. Tak perlu aku menanyakan apa yang terjadi. Aku mengusap air matanya yang tak mau berhenti mengalir, dan ketika bibirku mendarat di pipinya, rasa asin yang kuat mengirimkan sensasi aneh ke dalam diriku sendiri. Sesuatu yang membuatku ingin menangis saat itu juga. Tapi aku bertahan sekuat tenaga, mengelus punggungnya dan mengucapkan satu-satunya yang bisa kukatakan untuknya, “kau pasti akan keluar dari Indonesia secepatnya.”
Zohra lalu memintaku untuk mengambil gambarnya di pantai itu. Aku mengatakan bahwa resolusi kamera ponselku tidak begitu bagus di malam hari tapi ia hanya tertawa dan berkata untuk kenang-kenangan. Aku terlalu bahagia untuk menyadari bahwa itu adalah momen terakhir kebersamaan kami dan ia menginginkan agar aku memiliki potret yang akan mengingatkanku kepadanya selalu.
Seorang Hazara di pantai. Mengenakan pakaian lari dengan pose satu tangan di pinggang dan satunya lagi mengacungkan dua jari. Peace. Hanya Tuhan yang tahu kapan kata damai itu bisa terwujud. Hari ini Taliban telah resmi mengambil alih pemerintahan Afghanistan dan meski mereka telah berjanji akan bersikap moderat kepada kaum Hazara, orang-orang seperti Zohra dan ayahnya tak bakal percaya begitu saja. Mereka telah memutuskan berlari dan tak ada satu pun yang bisa menarik orang-orang ini kembali.
Aku memperhatikan spion sekali lagi. Lelaki itu tak lagi mengejar. Ia berhenti di tempatnya dan membolak-balik foto itu. Aku mendapatkan kesan yang jelas jika ia geleng-geleng kepala dan tersenyum. Dilambaikannya kepadaku foto itu tinggi-tinggi.
Tak perlu berterima kasih, Tuan. Anda lah pemilik kata-kata itu. Anda lah yang dulu membisikkannya ke telinga anak-anak Anda sebelum mereka tidur, puisi-puisi Amir Khusrow, moyang Hazara Anda. Aku hanya berusaha mengabadikan dengan menuliskannya di balik foto itu agar aku bisa mengingat Zohra dan kenangan malam-malam menyenangkan kami bersama. Syair-syair indah yang menggambarkan betapa lapangnya tempat yang dimiliki putri Anda di hatiku:
Aku telah menjadi kamu, dan kamu adalah aku
Aku adalah tubuh, kamu adalah jiwanya
Sehingga tidak seorang pun yang bisa mengatakan setelah ini
Bahwa kamu adalah seseorang, dan aku adalah orang lain.
***
Editor: Ghufroni An’ars