Penulis lepas, terlepas dari apa saja. Masih suka bingung mau nulis apa dan bagaimana.

Everything Everywhere All at Once: Narasi Multisemesta yang Sesungguhnya

Dani Alifian

2 min read

Film Everything Everywhere All at Once membawa alur yang segar bagi penggemar sci-fi khususnya teori multisemesta. Sang sutradara, duo Daniel, yaitu Daniel Kwan dan Daniel Scheinert mengolah narasi yang relevan dengan kehidupan saat ini: keluarga dan eksistensialisme. Kepadatan cerita didukung pula oleh sinematografi yang memukau di sepanjang film.

Film ini mengisahkan tokoh bernama Evelyn Quan Wang (Michelle Yeoh), seorang pemilik penatu dengan kehidupan yang berantakan. Evelyn akan digugat cerai oleh suaminya, Ke Huy Quan. Di lain sisi, Evelyn harus berhadapan dengan audit pajak. Masalah lain muncul, saat dia kesulitan menerima preferensi seksual sang anak bernama Joy (Stephanie Shu).

Saat Evelyn, suami, dan ayahnya, Waymond Wang, pergi ke kantor pajak, Waymond tiba-tiba berubah. Ia menyebut dirinya bagian dari semesta lain yang akan menyelamatkan Evelyn di seluruh semesta dari Jobu Tupaki. Jobu Tupaki adalah makhluk misterius yang telah membuat perseberangan lintas semesta jadi berantakan.

Melalui film ini, penonton akan dibawa pada perjalanan Evelyn untuk mengakses pikiran di semesta lain. Langkah itu, membuat Evelyn dikejar oleh Jobu Tupaki yang ternyata masih memiliki hubungan dengannya. Melalui Everything Everywhere All at Once, penonton akan merasakan suasana pengembaraan lintas semesta.

Sisi menarik dari film berdurasi 140 menit ini adalah pembagian tiga babaknya. Babak pertama yang bernama ‘Everything’ di mana Evelyn tengah mengalami masa jenuh dengan semua hal dalam hidupnya. Pada babak ini, ia mulai mengetahui keberadaan semesta lain.

Babak kedua dengan judul ‘Everywhere’ mengisahkan sosok Evelyn yang telah mampu memindahkan pikiran dan mengakses kehidupan dirinya di semesta lain. Semesta di mana Evelyn tidak jadi menikah dengan sang suami, ada juga semesta Evelyn bertangan sosis.

Sementara itu, babak ketiga ‘All at Once’ adalah tahap resolusi kisah yang menceritakan kehidupan Evelyn usai mengarungi satu hari menegangkan di seluruh semesta hingga menemukan suatu kedamaian.

Ketiga babak dibuka dengan satu frame yang sama, memperlihatkan tokoh utama di meja penuh kertas, lalu memperlihatkan betapa kalut kehidupannya.

Multisemesta yang Sesungguhnya

Penggambaran yang disajikan duo Daniel mengenai aturan multisemesta tampak solid, padat, dan tanpa celah. Pembahasan yang kompleks disampaikan dalam satu film.

Bisa dibilang film ini mengisahkan lintas semesta yang lebih padat ketimbang Adam Project (2022) atau Multiverse Of Madness (2022). Duo Daniel mencampuradukkan berbagai premis, mulai dari pertikaian orangtua dan anak, hubungan suami istri, pasangan sesama gender, serta sederet pilihan yang membuat seseorang berpikir bahwa sedikit saja perubahan dalam hidup, akan berdampak besar pada konsekuensinya di masa mendatang.

Balutan absurd begitu kentara dalam jalan cerita. Meski begitu Everything Everywhere All at Once sama sekali tidak membingungkan. Biasanya film bernapaskan multisemesta berjalan membingungkan, menyisakan banyak pertanyaan, dan plot hole yang mengganggu. Namun, duo Daniel berhasil menghindarkan film ini dari kontradiktif semacam itu.

Duo Daniel memakai multisemesta bukan hanya untuk pelengkap atau perangkat gaya-gayaan. Multisemesta berkaitan dengan hubungan antar tokoh protagonis dan antagonis, tentang keluarga, hingga eksistensial.

Tak heran bila Rotten Tomatoes memberi skor 95%, sebab konstruk narasi film ini dijabarkan dengan sistematis dan runut. Meski butuh waktu untuk mencerna, namun plot tentang bagaimana pilihan seseorang dapat mempengaruhi terjadinya berbagai kemungkinan di alam semesta sangat mudah dipahami.

Ending yang Paradoks?

Ending Everything Everywhere All at Once mungkin bisa dikatakan cukup paradoks untuk penonton yang terdistraksi di pertengahan cerita. Film ini memang menghadirkan ending yang metaforis, namun cara itu sangat tepat disandingkan dengan keseluruhan tema dan plot yang disajikan.

Di akhir kisah, penonton akan dibawa lagi pada pertanyaan eksistensial: Apa yang paling penting di dalam hidup? Sebab, tidak semua jalan yang dipilih dapat mengantarkan seseorang pada kehidupan yang lebih baik. Bahkan terkadang bisa menyesatkan dan menyakitkan.

Di balik semua itu, film ini membawa pesan untuk membuat hidup lebih berarti. Tentang bagaimana menjalani kehidupan sepenuhnya dengan ikhlas pada semua yang sudah jadi pilihan. Serta menghargai hal-hal kecil yang menyenangkan.

Keseruan seolah masih membayangi meski film sudah berakhir. Sebuah perjalanan sinematik yang memanjakan mata dihadirkan dari awal hingga akhir, meski klimaks dan resolusi datang di luar dugaan.

Bagi saya, duo Daniel nyaris sempurna menampilkan film tentang multisemesta. Keseluruhan tema dan plot disampaikan dengan lantunan editing serta efek menawan, dilengkapi dua aktor papan atas, Michelle Yeoh dan Ke Huy Quan.

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Dani Alifian
Dani Alifian Penulis lepas, terlepas dari apa saja. Masih suka bingung mau nulis apa dan bagaimana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email