Di tengah badai yang menyerang kewarasan, menulis selalu menjadi titik terang untuk membuka jalan.

Hayat Janat

Gilang Satria Perdana

10 min read

Pada akhirnya aku menyerah. Aku tak tertarik lagi membujuk pria ini untuk merawat ibunya. Persetan, lah. Terserah. Lalu aku kembali terjebak dalam kebingungan. Sesekali memaki diriku sendiri yang mudah merasa kasihan.

“Terima kasih ya, Mbak, sudah perhatian sama ibu saya,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari gawainya. “Sekarang… barangkali Mbak ada acara lagi, silakan lho.”

Aku ingin memakinya. Tapi aku tahan karena aku tak ingin cari masalah.

“Saya paham Bapak kecewa berat dengan semua perlakuan Bu Omi pada Bapak, dulu. Tapi…”

“Kenapa lagi?”

Aku sudah tak tahan untuk mengutarakan hal yang sebenarnya.

“Kalau Pak Sony tidak bersedia merawat Bu Omi, maka saya tidak jadi pindah kosan.”

Mana si Kunti itu juga doyan ganggu, pula… tambahku dalam batin.

“Mbak kalau mau pindah kosan ya tinggal pindah saja. Biarkanlah ibu saya itu sendirian. Masih ada Mang Yayat, kan?”

Melihat pria 40 tahunan ini malang kerik sambil melotot membuatku jiper sekaligus makin sebal. Dengan sekejap kutinggalkan rumah yang harum aroma gurih daging berkecap itu. Aku yakin, bila pembicaraan kami akrab-akrab saja, Bu Sony pasti sudah mengajakku makan malam.

Sial, sial. Aku harus kembali ke kosan itu. Kosan yang tak tega kutinggalkan lantaran aku terlanjur kasihan pada sang induk semang.

***

Setelah memarkir motor di lorong yang biasa digunakan sebagai garasi, aku mulai melangkah sambil bergidik. Bukan tanpa alasan. Mataku menangkap wajah pucat wanita berambut panjang berdaster putih sedang mengintip dari puncak tangga. Alah berani karena biasa. Dia adalah sosok kuntilanak yang doyan bergentayangan di kosan ini.

“Nggak usah malu-malu, lah, kalau menyambut. Sini, sini! Turun!” tegurku, berusaha berani. Rasa takut membuatku sebal. Namun, sosok Pak Sony membuatku sadar bahwa manusia bisa lebih menakutkan dari setan jenis manapun rasanya.

Ihihihihi!” wajah pucat itu menghilang ketika aku mulai menaiki anak tangga.

“Ah! Dasar Kontolonok!” teriakanku menggaduhkan lantai dua yang kosong. Seluruh kamar kosan ini telah lengang sejak tiga bulan lalu. Si kuntilanak itulah biang keroknya. Siapa yang sanggup hidup bersama setan berwajah pucat dengan mata hitam mengerikan yang doyan mengikik? Tahu-tahu dia sudah duduk di atas lemari saat tengah malam. Siapa yang tak heboh?

Meski demikian, waktu membuktikan, hanya aku yang bertahan. Aku dan Mang Yayat. Kami bertahan demi menjaga Bu Omi, induk semangku.

Rumah Bu Omi tepat di sebelah bangunan kosan ini. Di dapur lantai satu terdapat pintu yang menghubungkan rumah Bu Omi dengan properti 12 kamar ini.

Adalah rutinitas harianku mengunjungi Bu Omi kapan saja Mang Yayat kebelet BAK atau BAB. Ketika Mang Yayat menangkap keibaanku pada kehidupan senja Bu Omi, pria itu memberiku jabatan sebagai asisten karbitan. Meski sering mangkir, hatiku selalu berselimut rasa puas yang hangat tiap usai menolong Mang Yayat. Barang sejam-dua jam, biasanya aku menemani Bu Omi menonton TV, berjemur di halaman belakang, atau membacakannya aneka majalah wanita jadul.

Malam yang mengecewakan ini mendorongku ingin kembali mengunjungi Bu Omi. Saat melangkah masuk ke kamar Bu Omi, terendus olehku bau busuk campur asam khas tinja. Aku ingin menutup hidung. Namun dari balik pintu aku lihat Mang Yayat tengah membersihkan sisa-sisa kotoran Bu Omi di lantai dengan tabah.

“Nggak sempat ke kakus, Mang?” sapaku.

Mang Yayat menoleh. “Tadi sempat saya tinggal matiin kompor, Neng. Eh ternyata… hahaha!” Mang Yayat mengeluarkan tawa khasnya. Tawa dengan penekanan yang unik pada setiap suku kata “Ha”. Aku memahami tawa itu sebagai hadiahnya untuk beragam situasi buruk yang ia hadapi.

“Bu Omi mana?”

“Masih di kakus, Neng.”

“Saya bantu cebokin ya?”

“Wah, hanupis, Neng!”

Dan inilah “topeng sakti Amala”. Topeng yang selalu kukenakan setiap kali aku membantu Mang Yayat mengurusi Bu Omi yang lumpuh karena penyakit entah-apalah-itu-aku-tak-hapal—mungkin struk atau semacamnya. Topeng ini membuatku tersenyum walau ingin berjengit. Topeng ini membungkam mulutku yang hendak menembakkan rentetan keluhan. Sejauh ini, aku berhasil mempertahankan topeng tak kasatmata ini. Yah, setidaknya lebih tak kasatmata daripada kuntilanak sinting itu. Tunggu, kuntilanak mana ada yang waras, ya?

Bermodal “topeng sakti Amala”, aku berhasil membersihkan sisa tinja di dubur Bu Omi. Wanita tua itu tak bisa melakukan apa pun selain menatapku dengan alis bertaut. Kukira Bu Omi marah, awalnya, tetapi Mang Yayat menjelaskan bahwa Bu Omi kesulitan mengubah mimik wajahnya. Mungkin, itu adalah ekspresi terakhir sebelum ia lumpuh total.

Iwa awi aaa…” Bu Omi mencoba mengatakan sesuatu padaku usai aku membantunya mengenakan daster batik kembali.

Aku membalasnya dengan senyum. “Sama-sama, Bu.”

Menurut analisa asal-asalanku, Bu Omi mengatakan terima kasih. Jadi, aku membalasnya demikian.

“Neng Ama tumben belum tidur?” Mang Yayat menanyaiku sambil membopong Bu Omi ke ranjang tidurnya.

“Emang Mang Yayat tahu, saya biasanya tidur jam berapa?”

“Hahahaha! Nggak tahu, sih.”

Tawa Mang Yayat adalah penyulut gelak terkocak.

“Habis ini saya masih harus setor gawean, Mang.”

“Oh… ya udah, mangga atuh, Neng. Hatur nuhun ya sudah bantu-bantu,” Mang Yayat tersenyum padaku sambil menyelimuti Bu Omi.

Hatur nuhun doang nih? Bayar, Mang!” candaku.

“Ya udah, tuh ambil di tas saya, Neng, hahahaha!”

Aku melirik tas hitam kecil milik Mang Yayat yang biasa ia geletakan di rak buku kamar Bu Omi. “Hm? Emang ada duitnya?” cibirku.

“Nggak ada. Cuma KTP. Hahahahaha!”

“Ahahahahaha!”

Gelak tawa kami membuat Bu Omi mengangguk-angguk cepat. Aku jadi ingat kakatua milik Bapak dulu: Si Compo. Acap kali Compo mengangguk-angguk aktif kala Bapak memutar kaset Rhoma Irama. Persis seperti Bu Omi sekarang. Apakah Bu Omi dan Si Compo sama-sama tenggelam dalam kebahagiaan? Hanya mereka yang tahu.

Mang Yayat sontak bungkam melihat Bu Omi bertingkah seperti itu. Ia kembali menenangkan majikannya itu dan membaringkannya dengan lembut. Aku, yang masih menahan pingkal, berjalan keluar kamar Bu Omi dan menemukan si kuntilanak sialan itu sedang terkikik di eternit ruang TV.

“Astaga, setan!”

Ihihihihi!”

Sosok itu lalu menghilang sambil menyeringai dingin dan menggeleng-gelengkan kepala. Walau mengerikan, tapi aku tetap pelototi matanya yang hitam dengan marah.

“Dasar, nggak ada sopan-sopannya ya setan jaman sekarang. Gue usir juga lu!” omelku pada eternit yang kosong belaka.

“Eh… jangan atuh, Neng, karunya… Kasihan.”

“Astaga, Mang Yayat!” sentakku, kaget.

Mang Yayat menutup pintu kamar Bu Omi dan mulai menggelar kasur tipis yang biasa ia gunakan untuk tidur di ruang TV. Ia selalu tidur persis di depan kamar Bu Omi.

“Kasihan, Neng. Rinem juga makhluk Alloh. Dia cuma numpang di sini. Hahahahah!”

Aku tak habis pikir. “Rinem? Si kuntilanak itu punya nama?”

“Tiap makhluk, kan, ada namanya, Neng.”

“Mang Yayat sudah saling kenalan ya?”

“Kenapa enggak, Neng?”

“Iiih!” kataku sambil bergidik. “Kenalan kok sama setan.”

“Dia mah bangsa jin, Neng. Sama kayak manusia. Dia juga punya kewajiban untuk beribadah pada Alloh.”

Mendengar kata “beribadah”, aku jadi tidak nyaman. Apakah aku sudah lebih setan dari setan? Terlalu banyak tanda dan hal-hal yang menyesakkan dada, membuatku lupa bahwa aku belum makan malam.

“Mang Yayat sudah makan, belum?”

“Sudah, sih, Neng… Tapi kalau dibeliin makanan sih, saya mah doyan aja, hahahaha!”

Setelah mencibir Mang Yayat lagi sembari bergurau, aku berjalan ke tenda nasi goreng terdekat. Mang Yayat tak pernah pilih-pilih makanan. Walau begitu, aku perhatikan, Mang Yayat sangat lahap saat menyantap mie kuah bertabur cabai rawit. Katanya, itu adalah pembunuh rindu pada istri dan anaknya. Mereka telah pulang kampung meninggalkan Mang Yayat dari kota metropolitan ini.

Kapan hari, Mang Yayat bertutur bahwa istrinya menggugat cerai. Kapan hari yang lain, Mang Yayat berujar bahwa mantan istrinya telah menikah lagi. Kepala desa mereka yang melamarnya. Aku belum pernah bertemu dengan keluarga Mang Yayat. Namun di kepalaku, tergambar sosok wanita molek jelita yang menuntut banyak hal pada pria yang memilih untuk mengabdikan diri pada majikannya yang lumpuh.

Memikirkan hal ini sama saja dengan menggoreskan belati pada hatiku. Maka, setelah kuantarkan sebungkus mie kuah panas pada Mang Yayat yang telah mendengkur di kasurnya, aku lekas kembali ke kamarku untuk menyetorkan pesanan klienku. Pekerjaan ini memampukanku bertahan hidup di situasi yang semuram senyum si kuntilanak sontoloyo itu.

Pertama-tama, aku harus menghubungi pelangganku terlebih dulu. Malam ini aku harus mengirim pesanan pada Om Hafid, Om Yulius, dan Kawamura-san, seorang ekspatriat dari Jepang yang tergiur menggunakan jasaku berkat promosi dari Om Yulius.

Om Hafid menghendakiku untuk meneleponnya. Maka, setelah Om Hafid menjawab, “Siap, Ma, Om sudah buka celana nih…” aku segera mengeluarkan suara yang ia inginkan:

“Aaahh… aah… ah… ah… ooh… ooh…!! Ooh!! Oooh!!” lengkingku. Sebisa mungkin, aku berusaha terdengar penuh nafsu.

“Hmm… Terusin, Ama… Terusin.” Balas Om Hafid di seberang sana.

Aku terus mengeluarkan suara seolah sedang orgasme tanpa sedikit pun membuka baju. Tak ada video call dalam bisnis ini. Murni suara. Dan suaraku adalah komoditas berharga bagi mereka yang menyukainya. Oh, bukan sekadar menyukai. Pelanggan-pelangganku ketagihan dengan suaraku.

Kadang, aku membuat improvisasi dengan mengeluarkan lebih banyak desahan napas. Kadang aku melenguh puas. Kadang aku mengaduh kesakitan. Kadang staccato: “Ah-ah-ah-ah-ah…” lalu kuakhiri dengan lengkingan panjang yang penuh rasa puas.

Khusus demi Kawamura-san, Om Yulius memintaku belajar bahasa Jepang agar ekspatriat itu bisa mendapatkan kepuasan yang sama. Ah, merepotkan saja. Untunglah sesi dengan Kawamura-san berjalan lancar. Modalku hanya mengeluarkan kata-kata macam, “kimochi…!” atau “itai! Itai!” selebihnya aku mengandalkan aneka varian “Ah” dan “Oh”.

Esok paginya, aku menerima pemberitahuan dari mereka perihal rupiah yang sudah masuk ke rekeningku. Malam itu aku menghasilkan tiga juta rupiah dari tiga pelanggan. Lumayan, lah.

Sayang, aku tak akan bisa menggunakan uang itu untuk mencari kosan yang lebih nyaman. Apalagi ketika suara Mang Yayat di telepon terdengar panik karena Bu Omi tak sadarkan diri.

***

Punten…” suara Mang Yayat hadir saat aku menyodorkan suapan bubur ke sekian ke mulut Bu Omi.

Aku menoleh dan menatap Mang Yayat yang membawa kantung plastik hitam dan menyodorkannya padaku.

Mangga, Neng.”

Aku menerimanya dengan kecut.

Wawaw wa…,” Bu Omi mencoba mengatakan sesuatu.

“Neng Ama pulang dulu saja. Biar saya yang jaga Ibu.”

Tak kupungkiri aku amat lelah. Aku dan Mang Yayat sudah dua hari bergantian menjaga Bu Omi di salah satu ruang rawat inap rumah sakit. Kantong plastik yang Mang Yayat sodorkan padaku berisi lembaran rupiah merah dan biru sebagai ganti biaya rumah sakit selama tiga hari yang kutalangi sementara. Tak perlu kutanyakan, aku yakin Bu Omi telah mempercayakan pengaturan keuangannya pada Mang Yayat.

Siang ini Bu Omi sudah diizinkan pulang oleh dokter. Petang lalu aku dan Mang Yayat sudah menyelesaikan urusan biaya rumah sakit. Walau tak sampai menguras habis tabunganku, tetapi jumlah biaya rumah sakit Bu Omi lebih banyak dari penghasilan yang kuperoleh kemarin tulat.

Seorang pegawai rumah sakit mencegatku begitu aku keluar kamar rawat inap.

“Mbak, ini KTP bapaknya dan KTP mbaknya ya…”

Aku menerima dua kartu biru itu. Ah, KTP milikku dan KTP milik Mang Yayat. Di situ tertulis nama lengkap Mang Yayat: Hayat Janat. Aku tersenyum. Orangtua Mang Yayat pasti menggemari pantun atau lirik berima atau semacamnya. Di detik itu, aku masih belum ingin tahu apa arti nama Mang Yayat. Namun, jawaban itu datang beberapa hari setelah Bu Omi pulang.

Malam itu, seperti yang sudah-sudah, aku dan Mang Yayat sedang mengobrolkan banyak hal. Bedanya, kali ini Mang Yayat bersedia kuajak makan di tenda nasi goreng. Tentunya setelah Mang Yayat mantap dengan kondisi Bu Omi yang telah tidur pulas. Di tengah obrolan tentang makanan khas Sunda yang kami sukai, tiba-tiba rasa ingin tahuku tentang arti nama Mang Yayat muncul dan langsung kutanyakan saja pada si empunya.

“Hayat Janat teh…”

Aku menahan tawa melihat betapa lahapnya Mang Yayat menyantap mie kuah spesial hingga dia memotong kalimatnya sendiri.

“Kata Uwak saya, sih, Hayat teh artinya… naon teh? Hidup meureun ya?”

“Kalau Janat? Naon, Mang, artinya?”

“Janat teh…. Surga meureun ya?”

“Yah, mana saya tahu, Mang,” sergahku, tersenyum geli.

“Pokoknya mah keluarga Mamang mendoakan supaya Mamang punya kehidupan yang baik, bisa jadi manusia yang baik, begitulah. Kan, nama adalah doa, Neng.”

“Coba kita cari di kamus. Kali aja ada, Mang,” kataku sambil mengakses situs pencarian.

“Katanya lihat kamus, kok malah buka hape?”

“Ye…. Sekarang sudah ada kamus di internet, Mang. Sekarang mah serba online, serba internet.”

“Hahahaha! Neng mah penulis, ya. Pengetahuannya luas.”

Sambil menelusur, aku merasakan tohokan di hati. Benar. Aku memperkenalkan diri sebagai penulis buku di mula aku tinggal di sini. Tak sepenuhnya benar, meski tak salah-salah amat. Aku hanya sedang tergiur pekerjaan lain yang ternyata bisa memberiku penghasilan lebih banyak. Juga stabil. Sejujurnya, pekerjaan ini membuatku kerap memaki diriku sendiri. Ribuan kali aku berjanji untuk berhenti melacurkan suaraku. Ternyata, menjadi pemuas nafsu jauh lebih mudah daripada menjadi pejuang nalar. Dan, aku tenggelam kemudahan itu.

“Lama sekali, Neng?”

Aku terkesiap. “Eh, ini… nih, Hayat tuh berarti… hidup. Janat… emang itu Bahasa Indonesia, Mang?”

Mang Yayat menggeleng, “nggak tahu ya, Neng.”

“Ah, ini, Mang, ada. Janat tuh artinya sempurna. Wah, bagus juga arti nama Mang Yayat. Hayat Janat. Kehidupan yang sempurna. Kece badai, Mang!”

“Hahahaha!”

Aku menunggu reaksi selain tawa khasnya.

Tak ada.

Hanya itu. Hanya bisu. Mang Yayat hanya menatap kosong piringnya yang juga kosong.

Hatiku kembali tertohok. Aku curiga, pengetahuan tentang arti namanya sendiri telah mengganggu Mang Yayat. Kami seolah sepakat bungkam sambil menontoni para pelanggan tenda nasi goreng yang silih berganti datang-duduk-makan-bayar-pergi. Sampai akhirnya Mang Yayat memulai kembali dengan berkata, “saya kira doa keluarga saya sudah terkabul, Neng, hahahaha!”

“Hm?”

Maksudku, ayolah. Apa yang sempurna dari hari-hari menjadi peladen majikan lumpuh? Bahkan aku tidak tahu apakah Mang Yayat masih menerima gaji atau tidak.

“Doa keluarga saya, Neng. Hidup yang sempurna. Sepertinya sudah terkabul, Neng.”

Lamat-lamat kutanggapi, “Mang Yayat tidak tertarik untuk jadi… apa, kek, gitu… Berdagang, kek, biar punya banyak uang? Atau… cari istri baru?”

Mang Yayat membalas pertanyaanku dengan pingkalannya yang membuat semua orang melirik.

“Yah, Neng… Ini, maaf ya, Neng, kalau saya lancang.”

“Hm?”

“Pak Sony menghubungi saya perihal Neng Ama yang datang ke rumahnya… tempo hari.”

“Ha? Sialan tuh orang…”

“Saya paham, Neng. Saya sudah ikut Bu Omi puluhan tahun. Sejak saya masih SMP. Saya paham bagaimana kelakuan semua keluarga Bu Omi. Juga Bu Omi sendiri.”

“Memangnya Bu Omi sejahat itu?”

“Yah… itulah, Neng, kalau kurang ilmu. Tiap-tiap hal kan kudu ada ilmunya. Termasuk mendidik anak. Bu Omi itu tegas dan keras ke anaknya sendiri, tapi halus, bageur, baik pisan lah pokoknya ke orang lain. Tapi ya… itu… ada yang tidak sepatutnya dilakukan. Bahkan ketika dulu Pak Sony bawa piala dari sekolah ke rumah, Bu Omi masih tetap ngomel-ngomel. Banyak lah yang saya saksikan.”

Aku tak ingin menyela.

“Saya kasihan sama Pak Sony, sebenarnya. Tapi… yah… gimana atuh? Hahahahaha!”

“Tapi, Mang, gara-gara Mang Yayat tetap bertahan melayani Bu Omi sampai sekarang, istri Mamang jadi minta pisah, kan?”

“Yah… itu mah… Hahahahaha!”

“Maaf ya, Mang, kalau saya nggak sopan.”

“Berarti kalau Bu Omi nggak punya ilmu mendidik anak, maka saya nggak punya ilmu membina rumah tangga, hahahahaha!”

“Iih… Mang Yayat kenapa sih ketawa terus?” hardikku gemas.

“Yang penting mantan istri saya sudah bahagia dengan orang yang bisa menafkahi dia, mencintai dia, menyekolahkan anak kami juga… Saya sudah bebas tanggungan, hahahahaha!”

“Ihh! Ketawa mulu, nih…. Emang Mang Yayat nggak sedih? Jujur saya sedih lho, Mang, lihat Mang Yayat harus meladeni Bu Omi, saya tuh sebenarnya…”

Aku urung melanjutkan kata-kata. Tiba-tiba aku merasa lancang.

“Neng, kalau mau pindah kosan, mah, pindah aja, Neng. Neng Ama berhak mengembangkan diri. Mumpung masih muda. Belum nikah. Masih bisa bergaul sana-sini. Kayak anak-anak muda sekarang yang canggih-canggih.”

“Terus nanti Mang Yayat sama siapa?”

Di titik ini, aku tak mampu lagi membendung air mataku. Pilu dan malu bercampur jadi satu. Suatu hari yang silam, aku pernah berjanji tidak akan pernah menangis tak peduli seberat apa kondisi yang kutemui. Kini aku terpaksa melanggar janjiku.

“Waduh, Neng Ama kok nangis?” Mang Yayat dengan sigap meraih tisu makan terdekat.

Aku menerima tisu dan mengusap airmata.

“Ini jalan hidup saya, Neng. Saya sudah menerima. Saya sudah memaafkan orang-orang yang menjauhi saya karena pilihan ini. Hidup saya sudah sempurna, Neng.”

***

Dua tahun setelahnya.

Mang Yayat menunduk tenang. Kami sama-sama menunggu Pak Sony selesai meneliti dokumen-dokumen serta lembaran-lembaran uang tunai peninggalan Bu Omi. Dia tak sendiri. Pak Sony dibantu beberapa orang kepercayaannya. Mungkin kuasa hukum atau semacamnya.

Bunga di makam Bu Omi, bahkan, belum kering, tapi Pak Sony dan entahlah-siapa-para-pria ini sudah langsung kasak-kusuk warisan. Mang Yayat, sang peladen segala urusan, hanya ikut melihat semua tingkah Pak Sony yang tak percaya bahwa dirinya telah mencatat segala penggunaan uang dan mengumpulkan salinan aneka surat kuasa yang digunakan untuk mengambil uang Bu Omi di bank. Saat mengetahui hal ini, aku makin menaruh hormat pada pria paruh baya itu. Dia adalah bukti nyata manusia yang hadir utuh dalam memberikan kasih sayang pada orang yang memang membutuhkan.

“Mulai sekarang, Mang Yayat boleh istirahat. Kalau mau cari pekerjaan lain, boleh juga,” ujar Pak Sony dengan enteng.

Seolah sudah tahu dengan pengusiran itu, Mang Yayat tersenyum dan membalas, “kalau begitu saya pamit, Pak.”

“Tapi, kalau ternyata ada apa-apa, saya bakal tetap cari Mang Yayat, lho!”

Aku berusaha menahan geramku. Di mana si kuntilanak itu? Di situasi ini, aku bisa menggunakan kehadirannya untuk mengusir manusia tak tahu diri macam Pak Sony. Otakku bekerja mencari ingatan terakhir kapan setan wanita itu hadir di depanku. Sepertinya selama dua tahun belakangan hidupku tenteram tanpa kehadirannya. Tak ada lagi kikikan usil mengerikan, tak ada lagi tatapan mata hitamnya, tak ada lagi geleng-geleng kepalanya. Apakah kini aku merindukan setan? Kurasa aku sudah mulai sinting.

Sore itu, aku pun ikut angkat kaki. Bisa saja aku mencari kosan untukku sendiri. Namun, lagi-lagi, aku memilih hal lain: membalas budi Mang Yayat dengan mengajaknya pulang ke kampungnya. Jadilah sekarang kami duduk di bus AC jurusan Garut.

Kami tak banyak mengobrol sepanjang perjalanan. Mungkin Mang Yayat masih berkabung sepeninggal Bu Omi. Ketika malam mulai turun, aku mendapat ide untuk iseng.

“Mang, kalau ternyata saya betah di Garut, saya mau mulai menulis novel sambil dagang kecil-kecilan, ah.”

“Lah, kan selama ini Neng Ama juga sudah banyak menulis novel? Sok atuh…”

Aku menggeleng. “Nggak, Mang. Belum sama sekali.”

“Bukannya Neng Ama hidup dari menulis? Lantas selama ini Neng kerja naon?”

Aku mendengkus. “Jualan suara pemancing berahi, Mang.”

Mang Yayat mengernyit heran. Lalu terbahak, “Hahahaha!” Seperti yang sudah kuduga. Entah dia menganggap kata-kataku serius atau bercanda. Tak ada yang tahu.

Tak ada yang tahu. Tak ada yang tahu apakah Bu Omi saat ini sedang berada di surga atau tempat lainnya. Tak ada yang tahu ke mana Rinem si kuntilanak itu pergi meski eksistensinya pun juga tak diinginkan orang-orang. Tak ada yang tahu apakah setelah ini akan ada sebuah cerita yang mampu kutulis dan membuatku bisa lepas dari bisnis pelacuran suara. Tak ada yang tahu bagaimana Mang Yayat merencakan kembali hidupnya sepeninggal Bu Omi. Hidup yang sempurna, tampaknya pelan-pelan aku bisa memahaminya. Hidup yang sempurna, tak lebih dari hidup yang terus dijalani, tak peduli misteri apa yang akan datang silih berganti. Bagaimanapun, hidup memang absurd, dan aku tak bisa mengelak darinya.

Dari bangku bus baris paling depan, sewujud wajah perempuan yang pucat dengan mata sepenuhnya hitam menoleh kepadaku. Senyum ganjil tanpa kikik itu tampak mengerikan tetapi entah mengapa, juga kurindukan. Aku membalas senyumnya, sebelum mengalihkan pandanganku, menerawang jauh ke pemandangan hutan di balik jendela.

***

Gilang Satria Perdana
Gilang Satria Perdana Di tengah badai yang menyerang kewarasan, menulis selalu menjadi titik terang untuk membuka jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email