“And what you realise when you’ve lived with a cat for a long time is that we may think we own them, but that’s not the way it is. They simply allow us the pleasure of their company.” – Genki Kawamura
Jika kalian ke rumahku lalu naik ke lantai dua, akan kalian temui kamar yang berukuran sedang dengan pintu kayu berwarna cokelat. Agak bau dengan pengharum ruangan dan bekas asap rokok (seperti bau studio band kata salah satu kawan) – dalam kamar itu ada kasur lantai yang berwarna hijau, dan di pojok ruangan yang agak remang dan lembab, akan kalian jumpai rak kayu berisi susunan buku-buku yang disusun dalam posisi berdiri tegak – saling bersandar. Di antara buku-buku yang kebanyakan adalah judul-judul sastra dan buku religi, di sanalah – kalian akan sering menjumpai buntalan bulu berwarna oranye, putih, dan hitam. Mendengkur dan seringnya dalam keadaan tertidur, pada posisi yang melipat seperti spiral. Itu Mona – kucing kami yang telah hampir 7 tahun mendiami rumah.
Mona sering masuk ke kamarku untuk tidur di celah lebar susunan buku yang masih lowong. Seakan ia mengejek keseriusanku dalam mengoleksi buku – dengan menempatkan dirinya untuk tidur di celah rak buku tersebut, seakan-akan ia berkata: “jika tak mampu beli buku, setidaknya biarkan aku molor di sini – daripada ditempati rayap dan debu”. Setidaknya itu yang aku pikirkan dari tatapan sinisnya – yang selalu berhenti sejenak untuk menengok ke arahku seakan meminta izin, sebelum akhirnya loncat mendiami rak buku. Aku selalu membiarkannya selama ia tidak mengacak-ngacak buku-buku tersebut, toh ia bisa jadi teman hangat bagi Budi Darma, Sapardi, Faulkner, Sebald, dan banyak nama yang jarang kubaca ulang. Membaca ulang sebuah buku tak pernah menggairahkan untukku.
Baca juga: Cerita dari Kota Suara
Dalam keremangan lampu kamar dan buku-buku, Mona tak sedikit pun menambah estetika ruangan. Ia hanya di sana – seakan buku-buku dan tumpukan paper lama adalah singgasana kerajannya.
Pada suatu hari sepulang kerja – setelah tubuh begitu remuk dengan tugas dan tuntutan, aku berjalan gontai ke kamar dan menjumpai hal yang akhirnya selalu aku takutkan. Buku-buku berserakan dari lemari kayu tempat seharusnya ia saling bersandar layaknya pagar betis, kertas-kertas berserakan dari meja baca, dan bau anyir busuk agak mengganggu penciuman. Dengan kaget dan kesal aku lihat Mona terkulai dengan posisi perut menghadap langit-langit, ujung kakinya tertekuk layaknya lengan seekor T-rex mabuk – mendengkur, ia sedang tidur. Sialan.
Tidak jauh dari tubuhnya yang pulas seperti orang keracunan kangkung – seekor cicak mati terbelah, dengan isi perut memburai dan kerumunan semut mengitari bangkainya seperti altar sesembahan – cicak itu tewas mengenaskan. Si pelaku kejahatan tertidur pulas tanpa dosa tak jauh dari tempat kejadian perkara.
Metafora Jiwa
Pada beberapa kepercayaan, kucing kadang muncul sebagai simbol kesialan — terutama kucing hitam. Saya punya satu kucing lain berwarna hitam legam, bulunya pendek dan seperti aspal jalanan — hanya bagian matanya yang tak terlihat kelam. Layaknya kebiasaan orang-orang di negeri lucu ini yang mencintai mitos — beberapa kerabat menyarankan membuang kucing hitam ini. Namun keluarga saya lebih memilih akal sehat dibandingkan kepurbaan pikiran. Toh, keruwetan dan kesialan dalam hidup tetap saja datang — mau diundang kucing atau tak ada mereka.
Baca juga: Hewan Suci dan Hewan Najis: Konstruksi Budaya dan Nilai Agama
Namun, bukan berarti hidup tak memiliki hal-hal bahagia. Seperti dalam Cerpen “Kucing” karya Putu Wijaya, sang tokoh utama yang secara tak langsung membunuh kucing peliharaan tetangganya (berikut penggalannya):
”Ya untungnya begitu. Tapi sebenarnya dia sudah mati sejak Bapak mematahkan kakinya.”
Saya tidak menjawab.
”Sejak kakinya patah, kucing itu tidak berani lagi sembarangan masuk ke rumah. Bukan hanya rumah Bapak, juga rumah saya dan rumah-rumah yang lain.”
Pada cerpen ini kucing awalnya menjadi sebuah simbol petunjuk bagi kebahagiaan. Sang tokoh mulanya senang karena kucing memberikan petunjuk bahwa hidangan buatan sang istri ternyata disimpan dalam almari dan ia tak jadi melampiaskan emosi akibat pikiran buruk pada istrinya. Namun sebagaimana tabiat mahluk berbulu ini — “tak memiliki simpati dan egois sebagaimana mestinya,” kata Haruki Murakami, akhirnya tetap – sifat degilnya muncul dan di saat lengah mencuri hidangan sang tokoh utama yang baru saja hendak akan disantap. Kebahagiaan berubah kekesalan, dan kucing akhinya kembali menjadi simbol kesialan. Sebab setelah kejadian itu — renteten hal-hal sial menghampirinya. Namun hikmahnya (manusia selalu mencari hikmah, kan?) – sang tokoh utama dan istrinya kembali kompak untuk sama-sama membenci satu hal — kucing. Tetap ada yang harmoni bukan? dalam segala keruwetan dan kesialan hidup. Tinggal cari hikmahnya – pada akhirnya. Seperti biasa.
Jika diingat-ingat, Mona pertama kali dipungut oleh ayahku pada pertengahan tahun 2016. Aku masih ingat tahunnya sebab kehadiran Mona bertepatan dengan awal aku masuk perkuliahan. Mona – yang setelah satu bulan semenjak kedatangannya baru aku sadari berkelamin betina, pertama kali hadir dengan tubuh yang ringkih dan sangat kurus. Ayahku bukan seorang pecinta binatang, tapi saat itu – ia bilang tak tega melihat anak kucing kurus berwarna oranye, hitam, dan putih itu terus-terusan mengikutinya.
Layaknya anak yang hilang, Mona kecil tak tahu ke mana ia harus berteduh dan tinggal. Akhinya Ayah membawa Mona ke rumah, dan semenjak itu ia menjadi kucing pertama yang keluarga kami pelihara secara “resmi”. Kenapa demikian? Sebab sebetulnya, di sekitar rumah sudah ada beberapa kucing liar yang bermain di halaman dan Ibu selalu memberi mereka jatah makanan sisa yang masih segar. Namun Mona adalah yang pertama – untuk dirawat dan dibiarkan berkeliaran di dalam rumah – berkuasa sepenuhnya.
Lambat laun Mona tumbuh menjadi kucing yang aktif dan bisa dibilang ikonik di lingkungan rumah kami. Setiap pagi ia sering mondar-mandir di halaman rumah, mengundang siapa pun yang lewat untuk menegurnya. Tetangga, tukang sayur, tukang prabot rumah, tukang kue keliling, bocah-bocah SD yang berangkat sekolah, sering berhenti sejenak untuk sekedar memanggil: “Mona, Mona!” – dan kucing sombong ini cuma melengos untuk memalingkan kepala atau mendiamkan mereka. Kasihan.
Dengan begitu sebetulnya keberadaan Mona sudah menjadi salah satu dari ciri khas rumah kami – atau bisa dibilang ia telah menyatu menjadi bagian keluarga kami. Kawan-kawanku yang sering ke rumah, teman-teman sekolah adikku, teman-teman arisan Ibu, hingga partner bisnis Ayah – semua kenal dengan Mona. Pasti mereka akan turut juga menanyakan keberadaan Mona jika tidak terlihat mondar-mandir di rumah, entah karena peduli atau hanya pemantik obrolan basa-basi.
Mona bukan satu-satunya kucing yang kami pelihara semenjak itu. Beberapa saat kemudian, Ayah dihibahkan dua ekor kucing persia kembar berwarna abu-abu yang dinamai Kalio dan Chico. Ayah sangat suka dengan mereka berdua karena tidak seperti Mona yang bawel – dua kucing persia tersebut cenderung kalem dan jarang mengeong. Belum lagi tampilan fisik mereka yang jauh dibandingkan Mona si kucing kampung. Namun keberadaan Kalio dan Chico tidak berumur panjang di rumah kami. Kalio mati setelah batuk-batuk pada suatu siang yang nahas dan mengeluarkan cairan hijau – ia tewas diracun orang.
Semenjak kematian saudara karibnya, Chico jadi cenderung pendiam dan akhirnya jadi jarang aktif bermain, bahkan jarang memakan habis makanannya. Karena tak tega dengan keadaanya, dengan berat hati Ayah merelakan Chico diadoptasi seorang kenalannya. Di tempat kenalannya itu banyak kucing yang “sejenis” dengan Chico dan harapannya mereka dapat membuat semangatnya kembali.
Kejadian ini nampaknya agak berbekas untuk Ayah – ia berjanji tak akan lagi memelihara kucing dari “ras elite”. “Cukup kucing kampung di rumah ini”, katanya setalah kejadian itu, sambil akhinya – memeluk Mona kembali dan menimangnya layaknya bayi. Setelah itu seperti sebelumnya – Mona kembali menjadi primadona rumah kami dan kembali berkuasa penuh.
Orang berkata seekor kucing hanya mendekati seseorang yang paling lembut jiwa dan jernih hatinya. Mungkin terasa agak berlebihan – namun menjadikan kucing sebagai metafora kondisi jiwa dan spiritualitas bukanlah hal yang baru dalam dunia sastra.
Dalam sajak Sutardji berjudul “Kucing” contohnya – kucing mampu mewakilkan rongrongan jiwa yang haus akan pencarian dan yang lapar akan keruhanian, kita mampu melihatnya jelas dalam penggalan berikut:
tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta
Tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang
sewaktu untuk tenang
Meminta Tuhan sejumput untuk tenang layaknya kucing yang mengekor kaki kita agar diberikan sedikit potongan ikan yang kita santap atau uring-uringan menatap resah ke arah piring hidangan yang tertutup dipan. Kondisi jiwa yang rindu akan kehadiran Tuhan sebagaimana tergambar dalam penggalan tuhan mencipta kucingku // tanpa mauku dan sekarang dia meraung – kucing menjadi metafor bagi raungan jiwa dan mencakar-cakar batin yang dahaga akan hadir-Nya.
Jauh sebelum Sutardji seorang penulis legendaris Irlandia, James Joyce, sudah menggunakan kucing sebagai simbol “jiwa” dalam cerita “The Cat and the Devil” yang pertama kali terbit pada 1965. Dalam cerita ini – Joyce menjadikan kucing sebagai sarana pengorbanan akan sebuah “kontrak” yang disepakati oleh pembesar kota Beaugency untuk membangun infrastruktur jembatan dengan bantuan seorang Iblis. Demi kelancaran kesepakatan ini – dibutuhkan sebuah jiwa untuk dikorbankan agar pembangunan mampu terlaksana, dan kucing – dijadikan “korban jiwa” oleh orang-orang kota tersebut untuk diserahkan kepada Sang Iblis.
Kita agak sedikit muram melihat buntalan bulu lucu ini harus berakhir dalam pelukan Sang Iblis, namun tampaknya – kucing menjadi kawan yang lebih baik bagi Iblis dibanding jiwa-jiwa picik penduduk kota. Seperti yang umum kita dengar, kucing memiliki sembilan jiwa – sedang manusia, punya satu pun pekat dengan kotoran dan muslihat. Sebagaimana Joyce nyatakan: “it has slow and dark birth, more mysterious than the birth of the body” (A Portrait of the Artist as a Young Man).
Kisah dan Kenangan
Beberapa tahun hingga belakangan ini, sudah tak terhitung berapa kali Mona melahirkan tanpa jelas siapa pasangannya. Layaknya semua kucing kampung – ia pulang dengan keadaan hamil setalah main asik di luar beberapa hari.
Sepertinya – jika tidak salah, Mona sudah enam kali melahirkan dan tentu saja tidak semua anak-anaknya masih tinggal di rumah kami. Kebanyakan sudah diadopsi oleh sanak kerabat atau yah – berakhir tragis dan mati. Terakhir ia melahirkan di akhir tahun 2021 dan keluar darinya 3 ekor anak kucing yang menggemaskan. Saat ini, total ada lima ekor kucing anak-anak keturunan Mona yang dipelihara di rumah kami. Maka totalnya – saat ini ada enam ekor kucing di rumah kami. Memang ini jumlah yang tidak sedikit dan sering kali ibu mengeluh dengan jumlahnya yang terlalu banyak sehingga biaya pengeluaran untuk pakan mereka tambah besar. Namun anehnya – bagai hujan yang tiba-tiba datang pada terik siang, rezeki untuk membeli pakan kucing selalu hadir dan tidak pernah kekurangan. Ajaib.
Sebetulnya ada rencana untuk mensterilisasi Mona agar membuatnya tidak terus-terusan hamil dan melahirkan. Namun karena beberapa hal yang akhirnya aku mengurungkan niatan ini. Pertama, aku berprinsip bahwa hewan harus tetap dibiarkan seperti naluriahnya ia berada, mengotak-ngatiknya agak kelewatan. Kedua, aku takut ada resiko yang tidak diinginkan dengan dilakukannya praktik ini. Ketiga, sebetulnya ini adalah alasan yang menghapuskan dua alasan sebelumnya – aku tidak punya uang. Yup, itu saja – atau bisa dibilang uangnya selalu terpakai. Mungkin bisa jadi di kemudian hari hal ini bisa dilaksanakan kelak. Yah semoga.
Baik, mari kita kembali di hari pada saat aku menemukan Mona tertidur pulas setelah memutilasi cicak dan mengacak-ngacak rak buku. Setalah menahan kesal dengan menggigit lengan baju – aku akhirnya merapikan buku-buku sambil memikirkan apa sebetulnya kejadian yang telah terjadi pada kekacauan ini. Saat menyusun buku satu-persatu – aku menyadari bahwa pada beberapa buku yang disusun di bagian paling atas, terdapat beberapa tahi cicak yang telah mengering. Setelah terdiam sejenak sambil merenungkan kejadian ala Sherlock Holmes – aku sampai pada kesimpulan bahwa sebetulnya Mona ingin melindungi buku-buku ini dari hujanan tahi cicak. Maka ia berusaha menangkap dan membunuh cicak-cicak yang ada di dekat rak buku tersebut. Setidaknya itu yang aku simpulkan – kalau kenyataanya tidak begitu setidaknya itu membuat pikiranku sedikit tenang.
Sambil kembali meletakan Mona yang masih tertidur di antara celah buku kesayangannya – tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah novel dalam susunan buku itu yang belum lama aku beli, mungkin sekitar tahun lalu. Novel karangan penulis Jepang – Genki Kawamura, yang berjudul, “If Cats Disappeared from the World“. Aku kembali teringat cerita novel yang cukup membuat mata berkaca-kaca tersebut. Intinya – apa yang kamu akan lakukan jika harus memilih antara umurmu yang sekarat menuju lahat atau menukarnya dengan “sesuatu” di dunia ini namun mampu menambah panjang umurmu. Setiap hari ada yang ditukar dan dilenyapkan jika umurmu ingin diperpanjang – begitulah kira-kira inti kisah tokoh cerita dalam novel ini. Sampai pada bagian ia harus memilih menghilangkan kucing dari dunia ini.
Cerpen tentang kucing:
Ingat, setiap sesuatu yang hilang berarti hilang juga seluruh kenangan yang terbawa di dalamnya, termasuk semua kisah bersama orang lain yang berkaitan dengan sesuatu tersebut. Jika kucing dihilangkan, si tokoh utama akan kehilangan kenangan indah bersama Ibunya yang berkaitan dengan kucing peliharaanya.
Hari itu – setelah rampung merapikan buku-buku dan sisa bangkai cicak. Aku jadi memikirkan apa jadinya jika pada tahun 2016 Ayah tidak memungut Mona dan kami tidak memeliharanya? Pasti setiap pagi di depan rumah kami, hanya ada sepi yang lewat dari orang yang berlalu lalang. Kawan-kawan dan sanak kerabat tidak ada yang betah berlama-lama di rumah – karena tidak ada yang bisa diajak bercanda dan basa-basi bertanya “mana Mona?”, Ayah juga pasti tidak akan kembali akrab dengan saudara dan kawan lama yang beberapa kali datang mau mengadopsi anak-anak keturunan Mona.
Aku mungkin tak bertemu dengan wanita yang selalu bercerita tentang kucing-kucing anggoranya. Semua kejadian itu berakar pada keberadaan Mona.
Sampai aku sadar pada sebuah titik kesimpulan – Mona bukan cuma kucing kampung yang dipelihara keluaga kami, ia – dengan segala sifat degilnya, telah menjadi anggota keluarga kami. Jika ia tidak kami pelihara dulu atau seperti semua mahluk lainnya, yakni kelak mati – pasti ada kekosongan dan kenangan yang perlahan memudar meninggalkan lubang.
Mona dan kucing-kucing lain yang mungkin kita sedang pelihara adalah sebuah kumpulan cerita. Mereka tidak menjadi sekadar peramai suasana atau penghibur lara – mereka ada, menciptakan sebuah jalinan kisah. Artinya, jika suatu ketika mereka menghilang – ada bagian cerita yang juga ikut lenyap menjadi tak lengkap atau tamat. Sebuah kisah yang lenyap akan berdampak dalam ikatan dan kenangan pada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bisa dikatakan bahwa – manusia, kucing, dan kisah hidup saling berjalin satu sama lain. Membentuk kumpulan ceritanya masing-masing, menggoreskan kisah dengan warna dan alurnya sendiri.
Kucing mungkin tak sesempurna yang kita harapkan – namun seperti hidup dan jiwa kita yang tak selalu murni, mereka bisa mengisi kekosongan pada keseharian, pada celah rak buku, atau pada retaknya jiwa.
Ah, memikirkannya membuat kepalaku pening – sial, layaknya buku, kucing memikul kenangan dan kisah-kisah.