Hari Terakhir Kota Ini

Rakhan Wardhanni

3 min read

Pemberitahuan itu muncul tanpa suara. Tidak ada sirene. Tidak ada pidato panjang. Tidak ada kemarahan. Hanya selembar kertas yang tertempel di setiap dinding, setiap sudut, setiap layar yang masih menyala.

“Kota ini akan dihancurkan dalam 24 jam. Semua warga dipersilakan menulis satu kalimat terakhir pada papan pengumuman di alun-alun.”

Tidak ada penjelasan. Tidak ada alasan. Tidak ada siapa pun yang bertanya kenapa.

Seseorang tertawa pelan di perempatan jalan yang sepi. Seseorang mengunci pintu rumahnya meski tahu tak ada gunanya. Seseorang menyalakan televisi hanya untuk melihat layar kosong. Di tengah kota, papan pengumuman berdiri. Bersih. Kosong. Menunggu.
Langkah pertama terdengar. Seseorang datang membawa spidol hitam.

“Aku mencintaimu, tapi aku tak pernah bisa mengatakannya.”

Seseorang membaca. Menghela napas. Mengangguk. Lalu menulis di sampingnya.

“Kota ini selalu menolak keberadaanku, jadi kenapa aku harus peduli?”

Seseorang yang lain menulis lagi.

“Aku hanya ingin mencium anakku sekali lagi.”

Dan yang lain.

“Ironis. Aku menunda-nunda, lalu dunia berakhir lebih dulu.”

Hari masih panjang. Kota masih bernapas. Tapi papan pengumuman mulai penuh.

Di rumah yang remang, seorang ibu menggenggam foto anaknya. Tangannya gemetar. Matanya mencari sesuatu yang tak ada. Di sudut jalan, seorang gelandangan tersenyum sendiri. Ia merasa lebih hidup ketimbang sebelumnya. Di kamar yang berantakan, seorang mahasiswa menatap laptopnya yang masih menyala. Lembar kosong. Kursor berkedip. Di bawah lampu jalan, seseorang yang tanpa nama berdiri lama. Memandang tulisan di papan. Menghela napas. Pergi tanpa menoleh.

Seorang bocah datang dengan kapur warna-warni. Ia tidak bisa membaca. Tapi ia menggambar matahari kecil di sudut papan. Seseorang di sampingnya menulis, “Aku ingin hujan turun sebelum semuanya hilang.”

Di restoran yang tak lagi melayani pesanan, seorang pelayan duduk sendiri. Piring dan gelas tetap di atas meja. Tak ada yang peduli. Di apartemen lantai sembilan, seorang pria tua membuka jendela. Kota tampak sama seperti kemarin. Langit masih biru. Burung-burung masih terbang. Di halte bus, seorang wanita membaca buku yang tak akan pernah selesai. Di luar toko bunga, pemiliknya menulis dengan tangan yang kotor penuh tanah, “Siapa yang akan merawat bunga-bunga ini?”

Waktu berjalan. Orang-orang menulis. Beberapa membaca. Beberapa hanya melihat.

“Apakah kita pernah benar-benar hidup di kota ini?”

“Aku berharap ada lebih banyak waktu.”

“Aku tidak tahu harus menulis apa.”

“Aku ingin pulang. Tapi ke mana?”

“Jika aku tidur sekarang, apakah aku akan bangun di tempat yang lain?”

Papan semakin penuh. Seseorang menulis di atas tulisan orang lain. Kata-kata mulai bertumpuk, bercampur, membentuk kalimat-kalimat yang tidak sengaja.

“Aku menunda-nunda hujan yang ingin pulang.”

“Aku tidak tahu siapa yang merawat hidup kita sebelum semuanya hilang.”

“Siapa yang mencintai kota ini, tapi tidak pernah bisa mengatakannya?”

Seseorang tertawa pelan. Seseorang menangis. Seseorang duduk diam.

Malam datang. Kota masih di sini. Tapi esok tidak ada janji.

Di kamar kecil, seorang perempuan mengirim pesan yang tak akan pernah dibaca. Di kantor kosong, seorang pegawai merapikan dokumen seolah masih ada hari Senin. Di toko musik, pemiliknya memutar lagu terakhir.

Di depan papan pengumuman, seorang anak kecil bertanya, “Apa yang tertulis di situ?”

Tak ada yang menjawab.

Di langit, bulan tampak lebih terang dari biasanya. Kota menunggu.

Malam turun seperti debu. Pelan. Tanpa suara. Lampu-lampu masih menyala. Lalu lintas tetap bergerak. Kucing-kucing masih berkeliaran di gang sempit. Tapi semua orang tahu. Kota ini sudah mati sejak pagi.

Di alun-alun, papan pengumuman semakin sesak. Tulisan saling bertindih. Huruf-huruf kehilangan bentuknya. Kalimat-kalimat bercampur seperti obrolan dalam mimpi.

Seseorang menambahkan satu baris lagi.
“Aku harap seseorang membacanya setelah ini semua selesai.”

Tapi tak ada yang tahu apakah ada “setelah ini.”

Di sebuah rumah kecil, seorang ibu duduk di tepi ranjang. Foto anaknya masih dalam genggaman. Ponselnya mati. Tidak ada nomor yang bisa dihubungi. Tapi ia tetap berbisik,
“Nak, kalau kau bisa mendengar, pulanglah sebentar saja.”

Di kamar sempitnya, seorang mahasiswa menatap layar laptop yang masih berkedip. Lembar kosong itu tak akan pernah berubah. Ia menutupnya perlahan, lalu berdiri. Di luar, seorang gelandangan merebahkan diri di trotoar. Ia menatap langit. Tidak ada tanda-tanda kiamat. Tidak ada langit merah. Tidak ada gempa. Hanya kota yang menunggu dalam diam.

Di restoran, seorang pelayan menulis di atas taplak meja dengan pisau tumpul.
“Aku selalu ingin makan malam yang panjang dengan seseorang. Tapi sekarang sudah terlalu larut.”

Di toko buku, seorang penjaga merapikan rak-rak, seolah esok masih ada pembeli. Ia menyelipkan satu buku ke dalam tasnya. Buku favoritnya.
Di jendela apartemen lantai sembilan, pria tua masih berdiri. Mengingat kota ini sebelum semuanya berubah. Mengingat bagaimana dulu ia tiba di sini dengan tangan kosong. Ia menulis di secarik kertas dan menempelkannya di kaca.

“Dulu aku datang tanpa apa-apa. Aku rasa aku juga akan pergi seperti itu.”

Pukul dua dini hari. Papan pengumuman mulai kehabisan tempat. Tulisan-tulisan merayap hingga ke trotoar, ke dinding-dinding sekitarnya. Seseorang menulis di jalan dengan kapur putih.

“Kalau kau menemukan ini, ingatlah bahwa aku pernah ada.”

Seseorang lain duduk bersandar di papan, menatap langit kosong.

“Aku berharap besok pagi aku bangun dan semua ini hanya mimpi.”

Pukul empat. Langit berubah abu-abu. Udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Seorang pria muda berdiri di tepi jembatan. Tangannya gemetar, tapi bukan karena dingin. Ia menatap ke bawah, ke sungai yang mengalir pelan.
Di dinding jembatan, seseorang telah menulis lebih dulu.

“Jangan lompat. Aku tahu rasanya. Tapi bertahanlah.”

Pria itu membaca. Lama. Lalu ia melangkah mundur.

Pukul lima pagi. Kota masih sunyi.
Di sebuah halte, seorang wanita menutup bukunya. Ia menulis satu kalimat terakhir di sampul belakangnya.

“Aku tidak takut akhir. Aku hanya takut tidak ada yang mengingatku.”

Di kafe kecil yang sepi, pemiliknya menyeduh kopi terakhir. Ia menaruh cangkir di atas meja. Tidak ada pelanggan. Tapi ia tetap menunggu.
Di depan toko bunga, seorang gadis menyiram pot yang tidak akan tumbuh lagi. Di kamar hotel, seorang tamu menulis pesan di cermin kamar mandi dengan uap, lalu membiarkannya hilang pelan-pelan.

Di dinding kota, seseorang menulis dengan cat merah, lebih besar dari yang lain.

“Kalau tidak ada yang peduli, kenapa kita masih menulis?”

Tak ada yang menjawab.

Pukul enam. Langit mulai terang. Tapi matahari terasa lebih redup. Di alun-alun, papan pengumuman penuh. Tidak ada lagi ruang untuk menulis. Seseorang tetap mencoba. Ia menuliskan kata terakhirnya di telapak tangannya sendiri. Kemudian ia mengepalkan tangannya rapat-rapat.

Pukul tujuh pagi. Kota tetap berdiri.
Tidak ada sirene. Tidak ada ledakan. Tidak ada tanda-tanda kehancuran.
Hanya keheningan. Seseorang masih menunggu sesuatu terjadi. Tapi sesuatu tidak pernah datang.

Pukul delapan pagi. Matahari naik perlahan. Jalanan tetap ada. Gedung-gedung tetap tegak. Orang-orang masih bernapas. Papan pengumuman tetap berdiri di tempatnya. Tapi kata-kata di atasnya mulai pudar. Satu per satu, tulisan-tulisan itu menghilang. Seolah tidak pernah ada. Seolah kota ini tidak pernah menunggu sesuatu.

Seseorang menyentuh papan itu. Tapi tangannya hanya menyentuh udara kosong. Tak ada yang tertinggal. Tidak ada kalimat. Tidak ada kota. Hanya pagi yang berjalan seperti biasa.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Rakhan Wardhanni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email