/1/ Kehidupan Pasar
Uang tumbuh di pasar
Ia kadang berjalan merangkak, kadang pula dikejar-kejar
Ia bahkan berbicara terbata-bata, sampai mampu untuk membayar sebuah suara.
Preman pasar ialah orang-orang dengan dompet tebal, bukan soal otot atau tato kepala tengkorak, dan mereka yang patut diberi nafkah ialah penjual, harga diri bagai tumpukan kertas berwajah pahlawan.
/2/ Pasar Grosir Cinta – Tai
Di pasar tak pernah ada cinta, walau mereka lebih buta dari orang biasa, nafsu atas tahta membabi buta, bh diobral bersama isinya, mata keranjang hanya menampung bokong perempuan dan uang jatuh.
Ya, jorok sekali syair ini, seperti toilet pasar yang menjual air kencing botolan, setengah liter sampai satu liter, kencing murni para penjual selalu putih, mereka tak pernah kekeringan air minum, perut-perutnya buncit mengikuti hutang-hutangnya.
Sementara itu, dalam ruangan yang nyaman dan aman orang-orang berdasi berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, bagi kami mereka hanya tukang-tukang yang dibayar untuk membela bos besar, ya, sama joroknya dengan toilet pasar.
/3/ Teori Ekonomi
Ekonomi itu luas, katanya
Bagi kami ekonomi itu uang
Bukan hanya kata uang saja
Melainkan uang yang kami genggam.
Persetan dengan kelas atas-menengah-bawah, bagi kami hanya ada dua kelas, kelas yang dermawan dan kelas yang pelit.
Menteri keuangan itu pintar mengelola uang, bagi kami ia tetap kacung, bos besar tak pernah muncul dalam layar kaca atau radio, mungkin ia termasuk jajaran kelas pelit.
Rezeki itu luas, katanya
Bagi kami rezeki itu uang
Bukan hanya kata uang saja
Melainkan uang yang kami genggam
Mereka lantunkan doa-doa pelancar rezeki, juga mengajarkan kami soal bersyukur, mereka sering ke rumah ibadah, tempat paling bersih dan suci, tapi ibadah mereka dapat iuran tiap bulan, setidaknya cukup untuk menghidupi keluarganya.
/4/ Kotor
Sekotor-kotornya pasar, ia tetap rumah bagi beberapa orang, sebagai tempat bertahan di kota besar, juga sebagai pelindung dari orang-orang besar, tapi ini bukan soal besar atau kecil, melainkan sebagai wadah yang tak ingin aku kenal.
Orang-orang soleh menyebutnya sebagai “takdir” yang harus diterima oleh umat manusia, memang seharusnya untuk manusia bukan makhluk-makhluk pasar yang lebih mirip hewan buas, pemangsa orang-orang miskin berkaki dua, beberapa dari mereka memiliki keluarga, istri-istri mereka selalu dinafkahi, hanya sandang-pangan, namun birahi milik mereka masing-masing, birahi juga ada harganya selain cinta.
/5/ Tak Ada yang Gratis di Pasar Ini
Jika ada kejuaran untuk menyengsarakan rakyat, negeri ini pasti juara tanpa perlu latihan, toh lawan tanding mereka rakyatnya sendiri, anehnya mereka sampai membayar wasit pertandingan, pembayaran tunai dengan minimum syarat minimal pembelian satu suara untuk Partai.
Suara di negeri ini lebih berguna dari uang seratus ribu, tapi lebih murah dari uang dua ribu, setiap sudut pasar ada harga serupa setiap sudut kota, sepuluh ribu pasar mampu menghidupi satu kota besar, palugada dalam pasar serupa palugada dalam kota, lumpuh pasar maka lumpuhlah kota.
Makan cinta tak cukup, makan sekali sehari juga tak kenyang, rumah tinggi pun tak aman, serupa orang-orang pasar, kita dilahirkan dengan nafsu tak wajar.