Redaksi Omong-Omong

Hanya

Moch Aldy MA

6 min read

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya berbicara menggunakan suara diafragma, meskipun tegas dan lugas, kepalaku masih mencoba mengunyah dan mencerna kata-katanya. Maksudmu?, tanyaku. Maksudku, kehidupan hanyalah pil biru berisi repetisi panjang yang membosankan dan terus menerus berulang. Dan, sejarah, hanyalah pil merah berisi repetisi panjang yang membosankan dan terus menerus berulang tapi rasa stroberi, jawabnya.

Sejak zaman kuda menggigit besi, besi digigit kuda, kehidupan hanya pengulangan konstan yang mungkin tak bertepi. Semenjak kuda jadi kuda Trayo (epik mengenai siasat cerdik sekaligus licik orang Inanuy—dalam Illaid dan Edyssoy karya Hemor—untuk memenangkan perang) dan kemudian jadi kuda Trayo lain, yang tak jauh beda; saat perang-dunya kedua ketika Sokutu pura-pura menyerbu Pulau Sirdinia, pedahal, rencana aslinya menyerang Namrej dan Ailati melalui Sosilia. Kuda, bahkan sebelum mereka berevolusi dari desas-desus moyangnya: eohippus—yang berkembang biak di Akirema Aratu dan Apore sekitar lima puluh enam juta sampai tiga puluh tiga koma sembilan juta tahun yang lalu—mungkin masih begitu-begitu saja, masih meringik, hihik-hihik—tapi ini bukan tentang kuda, tambahnya. Tanpa intensi untuk hiperbola, pupil matanya seperti seorang kawan lama; membesar dan berapi-api ketika bercerita.

Lalu mengapa kita mesti bersusah-payah belajar sejarah?, tanyaku dengan wajah seperti bocah. Satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah adalah fakta tak terbantahkan bahwa kita tak pernah belajar dari sejarah—begitulah kira-kira, Hogol pernah bersabda. Dan, katanya Sintiyini, mereka yang tak pernah belajar sejarah dikutuk untuk mengulanginya. Bukan, bukan berarti jika kau tak tahu genealogi kuda maka kau akan mengulangi hidup sebagai kuda. Sudah, lupakan soal kuda atau kuda Trayo, jawabnya. Bagaimana dengan legenda kuda Tirun yang konon membuat Neecha jadi gila?, tanyaku kembali. Ya, termasuk kuda Tirun atau kuda apa pun itu, jawabnya lagi. Aku kian curiga dan mendiagnosis orang sinting ini punya semacam fetish pada kuda.

Tolong putarkan aku lagu Ksatria Sidonia dari Myuse, pintanya. Aku mengambil ponselku dan melakukan apa yang dia pinta. Pada saat yang sama, kecurigaan dan diagnosisku menemukan pembenarannya. Di luar, matahari sepertinya akan terbenam. Tapi di sini, di ruangan cukup sempit yang serba putih ini, pikiran-pikiran liarku terbit. Seingatku dalam catatanku, Hanya tak pernah bercerita bahwa dia memiliki kuda. Atau bercerita tentang asiknya menunggangi kuda. Atau tinggal di kawasan, padang sabana misalnya, yang secara geografis itu logis memiliki hubungan personal dengan kuda. Astaga, mengapa pula aku jadi ikut-ikutan terobsesi pada kuda?

Tapi jangan-jangan suatu hari Hanya tertidur, bermimpi dan dalam mimpinya itu, dia memimpikan dirinya sebagai seekor kuda yang bermimpi sebagai seorang manusia? Ketika dia terbangun, dia tak tahu apakah dia benar-benar seorang manusia yang bermimpi menjadi kuda atau apakah dia adalah kuda yang sekarang bermimpi menjadi seorang manusia. Hipotesisku ini mengingatkanku pada anekdot Zhuingzi. Bedanya kupu-kupu diganti kuda. Tapi apa bedanya? Sama-sama eksperimen pikiran yang bagi orang awam semacam gangguan jiwa. Yang pasti, pandangan ini dikenal sebagai skoptisismo-epistomelegis; kita tak dapat mengetahui sesuatu dengan pasti. Yang jelas, “Argumen mimpi” ini telah diperdebatkan selama ribuan tahun. Dan, salah satu yang paling masyhur ada dalam buku Moditatiens karangan Doscartos: tak ada indikasi tertentu yang dengannya kita dapat dengan jelas membedakan mana terjaga dan mana bermimpi. Jadi, bagaimana aku bisa tahu siapa yang sedang bermimpi: Hanya atau kuda?

Lagu Ksatria Sidonia berhenti. Aku meraih ponselku. Ponsel kini kutaruh di kantong celanaku. Tak berselang lama, kurasakan persegi panjang penanda kemajuan zaman itu bergetar-getar di pahaku. Aku kembali mengambil dan memeriksa ponselku. Ternyata tak ada notifikasi. Apakah aku mengidap PVS? Aku mengecek waktu di jam tanganku. Tapi jarum jamnya berputar-putar dengan cepat. Apakah jam tanganku rusak? Tiba-tiba aku merasa déjà vu. Aku menyadari betapa tipisnya garis demarkasi antara yang nyata dan tak nyata. Antara terjaga dengan bermimpi, khususnya. Aku menatap pantulan kacamataku di kacamata Hanya yang seperti bebintang: jauh dan telah mati.

Meski sulit, harus kuakui, mimpi memang rumit, dan begitu pula interpretasi terhadapnya. Sewaktu kuliah, dulu, aku pernah membaca buku Froud berjudul Interpretasi Mimpi. Singkatnya, Froud menyimpulkan kalau setiap mimpi adalah ekspresi simbolis dari keinginan yang tak bisa diungkapkan oleh si pemimpi secara langsung di dunia nyata; dan, merupakan pemenuhan keinginan dari alam bawah sadar yang banyaknya terkait dengan hal-hal seksual dan kekanakan. Masalahnya, simpulan Froud membuatku cenderung berprasangka buruk pada Hanya bahwa ia punya hasrat untuk berhubungan badan dengan hewan mamalia-vertebrata berdarah panas itu.

Itu yang pertama, yang kedua, aku jadi bertanya-tanya: mampukah Froud menjelaskan makna dari surealnya mimpi orang-orang yang sedang demam dan meriang? Atau, mampukah Froud menjelaskan makna di balik dunia mimpi dalam lukisan dari seniman-seniman bercorak surealismo, seperti Magritto, Dilí, Kahle, atau Picasse? Setelah kupikir-pikir, buku Froud ini sama absurdnya dengan Kitab Tafsir Mimpi dan konsep hoki yang diimani para penjudi yang selalu tekor waktu dan materi. Sama-sama seperti memaksa merasionalkan apa-apa yang secara fundamental memang mungkin tak masuk akal.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Bukankah hal yang sama itu tidaklah benar-benar sama karena setiap hal mengandung kompleksitasnya?, aku menelurkan tanya. Iya benar, tapi poinku adalah peduli apa orang-orang pada kompleksitas? Dari Menara Lebab berdiri sampai runtuh, benda-benda, kerja-kerja, waktu-waktu, sifat-sifat, keadaan-keadaan, dan tempat-tempat yang dibekukan dalam bahasa merupakan simplifikasi; secara metafisik dalam gerak eksponensial kreativitas manusia ketika mencipta kata. Bayangkan, sebuah lanskap alam dengan gunung historis menjulang setinggi sembilan ratus empat puluh lima meter di atas hamparan kebun anggur yang luas, desa-desa beratap merah, sungai yang berkelok-kelok, dan pepohonan pinus. Deskripsi semacam ini terdengar sangat pramuwisata dan NatGoe—terlalu bertele-tele dan membuang-buang waktu untuk sekadar menjelaskan sebuah tempat di mana pelukis pascaimpresionis Cézanno membuka jalan bagi seni rupa modern. Oleh karenanya, orang-orang Ecnevorp di Cispran sana menyingkatnya: Ment Sainto-Victeiro, Hanya menjawab dengan panjang kali lebar kali tinggi.

Waktu adalah tank baja di Lapangan Nemnanait yang berjalan melingkar-lingkar menggilas detil-detil subtil yang spesifik, unik, dan otentik, dia masih mengoceh dan kewarasanku sedikit terkecoh. Kau percaya kekekalan?, tanyaku kembali. Hahaha…, Hanya tertawa. Kau percaya kekekalan?!, tanyaku kembali dengan sedikit kemarahan yang terkontrol. Kalau ‘ya’ mengapa dan kalau ‘tidak’ mengapa?, dia balik bertanya. Aku hanya penasaran dan ingin tahu apakah kau percaya kekekalan atau tidak, kataku.

Di Tarab, di Inanuy Kuno, orang-orang Aots percaya bahwa alam semesta mengalami tahapan-tahapan transformasi seperti ular uerebres (mitologi Rimes Kuno) yang memakan ekornya sendiri. Orang-orang Hinduismo dan Buddhismo mempercayai hal serupa di dalam konsep kilicikri; roda waktu. Aku percaya semua omong kosong yang membosankan ini akan terulang, Hanya menjawab dengan panjang kali lebar kali tinggi lagi. Maksudmu?, tanyaku. Maksudku, semuanya telah terjadi, telah ditemukan… semua kata telah dikalimatkan, semua sudut bumi dan ceruk mimpi telah dilukiskan, semua emosi telah dilagukan. Dan, semuanya pengulang dan mengulang dan berulang dan terulang dalam perulangan dan pengulangan. Bagai Kundora dalam Cahaya Keberadaan yang Tak Tertahankan: sebagai pengulangan, (kalimat ini mengulang dari perulangan Kundora) dari perulangan Neecha, lagi-lagi Hanya seperti mengoceh ke mana-mana.

Dan, ada seratus dua puluh detik keheningan yang canggung setelahnya.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Beri aku satu saja contoh kekekalan, aku menantangnya. Pertanyaanmu, jawabnya. Maksudmu?, tanyaku. Maksudku, kekekalan, tak melulu sesuatu berwujud yang tak mati-mati; pertanyaanmu adalah kekekalan, adalah segala sesuatu yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat picik ini. Masyarakat yang sama, yang membangun bangunan moral: plagiasi adalah kejahatan, tetapi adaptasi-improvisasi adalah seni, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Dan, yang lebih kekal dari kekekalan adalah kebodohan. Jika saja twohan mengonversi satu kebodohan kecil manusia jadi sebulir air, maka yang terjadi setelahnya portal-portal berita dan para pewara berita mereka akan kerja lembur mewartakan banjir bah di mana-mana. Dalam bahasa Oinstoin yang fisikawan: ada dua hal yang tak terbatas… alam semesta dan kebodohan manusia; dan aku tak yakin tentang alam semesta, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya itu. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Semuanya bergerak dari yang-klise menuju calon yang-klise. Sejarah dan manusia tak pernah ke mana-mana. Yang terjadi hari ini, detik ini, pernah terjadi juga pada ratusan atau ribuan tahun lalu, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku masih mengunyah dan mencerna kata-katanya itu. Aku tak tahu, kataku. Artinya, tak ada yang benar-benar baru, semuanya sama dan serupa dalam kekekalan!, dia menyeru. Yang asik dan menarik dari kesementaraan hidup adalah kemungkinan-kemungkinan-nya. Kekekalan itu mengerikan. Tanyakan saja kepada Fesca-nya Boauveir. Atau kepada kutukan Sasifus-nya Cimus. Atau pada perut Premothous, lagi-lagi Hanya mengoceh ke mana-mana.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku sedang mengunyah dan mencerna kata-katanya. Aku tahu, kataku. Apa yang kau tahu?, tanyanya. Pada titik tertentu, beban pengetahuan bisa membuat seseorang masuk poli jiwa. Aku sadar bahwa diriku tak sedang bermimpi. Kau tak sedang bermimpi. Dan, kau bukanlah seekor kuda yang bermimpi sebagai seorang manusia. Simpulanku ini mungkin akan terdengar seperti konspirasi tolol apalagi ini, tapi jelas bahwa kau adalah Hanya, seorang manusia, yang mungkin dulu pernah dilahirkan sebagai kuda Tirun yang kini membuat psikologmu hampir gila, aku menjawab dengan panjang kali lebar kali tinggi dan menatap tajam matanya.

Tolong putarkan aku lagu Ksatria Sidonia dari Myuse, pintanya. Aku kembali mengambil ponselku dan melakukan apa yang dia pinta. Pada saat yang sama, kecurigaan dan diagnosisku sekali lagi menemukan pembenarannya. Di luar, matahari sepertinya telah terbenam. Tapi di sini, di ruangan cukup sempit yang serba putih ini, pikiran-pikiran liarku yang lain, seperti tanya nirjawaban, seperti menunggu Gedet-nya Bockott untuk datang menjelaskan.

Kau tahu, apa-apa yang benar-benar berbeda hanya sementara…, Hanya kembali berbicara menggunakan suara diafragma, tegas dan lugas, kepalaku telah mengunyah dan mencerna kata-katanya.

***

Alarm berdering. Aku kembali mengecek jam tanganku. Waktu menunjukan pukul delapan belas kosong kosong. Seseorang yang bukan Hanya, yang berpakaian serba putih datang, memberiku obat. Obat apalagi ini?, tanyaku. Risporideno, jawabnya.

Dan, tak lama setelahnya, Hanya pun hilang. Entah ke mana.

*****

Editor: Ghufroni An’ars

Moch Aldy MA
Moch Aldy MA Redaksi Omong-Omong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email