Namanya Abu Bakar Muhammad ibn Ali al-Khatami al-Tha’i al-Andalusi (1165-1240 M). Di Timur ia dikenal sebagai Ibnu Arabi, di Barat ia dikenal dengan sebutan Ibn Suraqah, al-Syaikh al-Akbar (maha guru), Muhyiddin, bahkan Neo Plotinus. Ia dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai tradisi kehidupan sufistik yang kuat.
Akan tetapi, Ibnu Arabi sendiri justru tumbuh dengan menempuh pendidikan dengan tradisi intelektual rasional-filosofis yang kala itu berkembang pesat di wilayah Andalusia, Ibnu Rusyd adalah tokoh besarnya kala itu. Tampaknya ini menimbulkan pergolakan tersendiri pada diri Ibnu Arabi sehingga memengaruhi pemikirannya yang dikenal tidak beraturan dan eklektik.
Kelebihannya sebagai guru filsafat paripatetik inilah yang membantunya memfilsafatkan pengalaman spiritualnya sebagai seorang mistikus ke dalam teori metafisik yang berpengaruh, hingga kemudian dikenal sebagai teori wahdat al-wujud.
Baca juga:
Sama dengan kebanyakan para sufi lainnya, Ibnu Arabi percaya bahwa para wali adalah pewaris sipiritual Nabi yang memperoleh cahaya Muhammad. Sufi adalah orang-orang yang dengan segala kemampuannya, baik lahir maupun batin, berusaha mendekatkan diri dengan Allah Swt. Tujuan utama kesufian sejatinya bukanlah hasil berupa surga dan neraka, melainkan proses pengembaraan cinta yang didasari niat sehingga tumbuh perasaan rindu yang mendalam.
Rohani Manusia
Rupa-rupanya, Ibnu Arabi juga mengembangkan pemikiran tentang rohani manusia. Menurutnya, dalam diri manusia terdapat dimensi rohaniah yang terdiri dari unsur psikis, spiritual, imajinasi, dan alam khayal. Rohani dapat membawa manusia ke alam antara sadar dan tidak sadar, di mana mereka dapat mengenal Allah Swt melalui imajinasi kreatif yang terlatih.
Syahdan, kajian rohani itu meliputi dua cabang berurutan. Pertama, kajian tentang kaidah-kaidah yang akan mengantarkan kepada perilaku terpuji dan bermuara pada kebahagiaan batin yang dalam. Kedua, kajian tentang olah rasa yang mengantar jiwa pada cahaya keimanan dan pintu kemakrifatan.
Dalam pemikiran Ibnu Arabi, Allah adalah al-Khaliq bagi seluruh alam. Seluruhnya adalah pancaran iradat Allah. Inilah yang membuatnya menyimpulkan bahwa alam ini adalah esensi dari Allah. Teori wihdat al-wujud ini menegaskan bahwa variasi bentuk dalam wujud ini pada esensinya adalah substansi wujud Allah yang tunggal.
Dari sini, Ibnu Arabi membedakan dua pengertian tentang al-Haq. Pertama, al-Haq fi Dzatiha adalah hakikat mutlak yang transenden. Kedua, al-Haq yang bertajalli ke dalam wujud dan dapat ditangkap alat indra manusia sehingga identik dengan makhluk. Jadi, hakikat wujud mempunyai dua sisi, dari segi dzatnya ia satu, tapi dari segi tajallinya ia beragam.
Terdapat kesatuan antara tasybih dan tanzih yang transenden sekaligus imanen dalam konteks ini. Inilah yang dikenal sebagai prinsip coincidentia oppositorium atau al-jam’ bayn al-adad yang secara paralel terwujud pula dalam kesatuan ontologisme antara yang tersembunyi dan yang manifest, antara yang satu dan yang banyak.
Sebenarnya, jika ditelisik, ide dasar pemikirannya akan bermuara pada Ibnu Masarah, yaitu Wujud Khalil al-Ghaffah. Wujud itu satu, adanya makhluk ini sebagai isyarat nyata wujudnya Khaliq. Jadi hakikatnya tidak ada perbedaan antara wujud khaliq dengan makhluk kecuali dalam bentuk jisim dan rupanya saja.
Konsep ini melahirkan teori Nur Muhammad atau al-Haqiqat al-Muhammadiyah, yang berarti bahwa Allah Swt menciptakan alam semesta ini sebagai pancaran dari esensi-Nya. Inilah yang melahirkan wihdat al-wujud, bahwa Allah merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dengan makhluk. Keduanya menyatu, sekali pun tidak secara fisik, tetapi dalam konsep wahdaniyah Allah.
Yang jelas, jalan yang ditempuh seorang salik menurut Ibnu Arabi adalah taubat, zuhud, atau menjauhkan pikiran dari pengaruh duniawi yang mengantarkan manusia kepada kehampaan dan peniadaan diri di hadapan keagungan Allah.
Pada konteks ini, Ibnu Arabi melihat keniscayaan seorang pembimbing spiritual agar jalan yang ditempuh benar. Ia pernah mengatakan bahwa barang siapa menempuh jalan kesufian (suluk) tanpa seorang guru, maka ketahuilah bahwa gurunya adalah setan. Begitu sebaliknya, bagi salik yang mampu (alim), kehadiran guru justru akan mengurangi konsentrasi riyadhahnya serta akan membatasi daya fantasi dan imajinasinya tentang Allah.
Konsep Sentral Wahdah al-Wujud
Konsep sentral wahdat al-wujud Ibnu Arabi ini adalah tajalliyat al-Haq (menampaknya diri Allah Swt melalui penciptaan alam). Kata ‘jalli’ dalam terma Ibnu Arabi identik dengan konsep faydh (emanasi, pelimpahan). Konsep dasar inilah yang secara ontologis menghubungankan antara khaliq dengan makhluk, yakni yang satu menjadi banyak. Dzat Allah yang asli tetaplah azali dan transenden secara absolut.
Dalam tajallinya, Ibnu Arabi membedakan menjadi dua, yakni tajalli dzati (penampakan diri esensial atau pada dirinya sendiri) dan tajalli suluqi (penampakan Allah dalam berbagai bentuk yang tidak terbatas dalam alam wujud yang konkret). Dan ritual yang paling utama untuk mencapai taraf ini adalah dengan berkhalwat.
Ia percaya bahwa seseorang yang berlatih secara benar, disiplin, dan intensif, maka ia dapat wushul atau bertemu dengan Allah, di mana puncaknya adalah pencapaian pengetahuan dan kebenaran sejati terhadap Allah. Seseorang yang sudah sampai pada tingkat spiritualitas ini dipercaya mampu menembus tabir yang selama ini membatasi antara Allah dengan hambanya melalui mata hati. Jika hal ini tercapai, kesatuan esensi dan rasa seakan telah berakar.
Tak hanya itu, Ibnu Arabi juga memberi makna agama sebagai ketundukan kepada Allah, ketaatan, balasan, dan kebiasaan. Ia memetakan dua macam agama. Pertama, agama yang diserukan oleh para Rasul Allah. Kedua, ilham-ilham kebijaksanaan yang diperoleh melalui Rasul dalam tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tentunya yang pertama identik dengan agama samawi, sedang yang kedua dengan agama ardhi.
Pengaruh Al-Hallaj
Kita tahu, Ibnu Arabi adalah figur representatif yang mengikuti jejak pendahulunya, yaitu al-Hallaj. Ia juga beranjak dari pembacaan atas Allah yang menurutnya tidak dapat terlihat oleh siapa pun. Ia bahkan menolak klaim para sufi yang mengaku melihat Allah dalam keadaan ekstase atau fana mereka. Allah hanya lahir dan nampak dalam bentuk-bentuk epifani (tersusun dalam alam semesta).
Allah hadir dalam keyakinan di hati. Ia membuka rahasia diri-Nya sendiri kepada hati melalui cara yang memungkinkan hati mengakui-Nya. Lantas mata ini menyaksikan hanya Allah dari keyakinan. Keyakinan melahirkan ukuran dari kapasitas hati. Itulah mengapa terdapat banyak keyakinan-keyakinan yang berbeda.
Kepada setiap orang yang percaya, Allah adalah Dia yang menyingkapkan dirinya dalam bentuk keyakinan (iman). Jika Allah menampakkan dirinya dalam bentuk yang berbeda, orang yang percaya tidak dalam bentuk itu akan menolak-Nya. Dan inilah sebab mengapa keyakinan-keyakinan dogmatis bertikai satu dengan lainnya.
Baca juga:
Dengan demikian, konsepsi ketuhanan Ibnu Arabi berdiri di atas dikotomi yang membedakan antara Allah yang sebenarnya dengan Allah yang merupakan persepsi manusia. Allah yang sebenarnya adalah Allah dalam diri-Nya sendiri, dalam Dzat-nya, yang tidak dapat diketahui karena keterbatasan akal manusia. Sementara itu, Allah dalam kepercayaan manusia diwarnai oleh kapasitas pengetahuan dan kesiapan partikular mereka untuk mempersepsi-Nya.
Terlepas dari itu, di tengah-tengah berbagai bentuk keyakinan dan peribadatan yang berbeda tersebut, ahli ma’rifat hanya akan melihat satu hakikat objek sesembahan. Dari titik inilah semua agama adalah sama, dan Islam tidak lebih baik daripada kultus. Di sini tidak menjadi penting keyakinan apa yang seseorang miliki atau ritual apa yang ia kerjakan. Masjid sejati adalah hati yang suci dan jernih, di mana semua orang menyembah Allah di dalamnya (jadi bukan di dalam masjid yang terbuat dari batu).
Ibnu Arabi juga menasihati agar manusia hendaknya tidak terlalu mengikatkan diri secara eksklusif kepada suatu paham keyakinan. Menurutnya, eksklusivisme tersebut hanya akan menggagalkan manusia untuk menemukan dan mengakui kebenaran hakiki dari suatu persoalan sehingga cenderung menyalahkan yang lain.
Padahal Allah yang Maha Wujud dan Kuasa tidaklah terbatasi oleh sekat-sekat sempit suatu keyakinan peribadatan. Dia hadir dalam tiap bentuk kepercayaan manusia. Ibnu Arabi menegaskan tidak ada agama yang lebih mulia dari agama cinta dan rindu akan Allah. Cinta adalah esensi dari semua keyakinan, terlepas apa pun yang menjadi kulit luarnya.
Dalam kitab Futuhat al-Makkiyyah, Ibnu Arabi mengatakan “agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya. Itulah agama dan keimananku.” Beliau mengungkapkan bahwa agama yang sejati adalah agama yang dilandasi oleh cinta kasih, merangkul seluruh manusia, dan membawa pesan-pesan universal yang menuju ke arah kebaikan dan kebahagiaan.
Tentu saja agama cinta yang dimaksud oleh Ibnu Arabi adalah memahami agama sebagai lembaga yang membumikan cinta kasih. Ibnu Arabi ingin menyampaikan kepada para pembaca bahwa jikalau kita menelusuri setiap ajaran, pesan, wejangan para nabi yang membawa agama-agama di dunia, pada hakikatnya esensi utama dari pesan tersebut adalah Cinta.