Gugurlah Segala Kata

Siska Permata Sari

1 min read

 

JENDELA LOKET BUSWAY

pagi menjatuhkan kota, air hujan, matahari terbenam, angkutan umum, dan taksi yang tak mengenal terminal.

jendela mendatangkan busway, sepeda motor yang ugal-ugalan, lampu merah, lampu kuning, lampu hijau, pepohonan yang basah, dan tetes-tetes hujan yang membuat pikiran kau tumpah ke jalan-jalan.

mata kau mengelilingi seluruh wilayah jakarta selatan yang macet. telinga kau mendengar percakapan sibuk tentang tata kota, negara, intrik politik, toko buku, tempat wisata, kopi, sastra, seni tari, teater, serangan teror dan hal-hal yang mampu membangun pintu jiwa antara dua manusia. lidah kau mengudap kopi buatan mesin yang membuat perut kau ingin mencium kamar mandi.

busway datang. ketika tubuh kau berceceran menjejali kota jakarta. pintu terbuka lebar seolah menawarkan cara cepat sementara melupakan kenangan atau bayang-bayang yang secara serampangan datang tanpa diundang.

kau melangkah masuk. memungut cepat-cepat seluruh tubuhmu yang berceceran. kau menyumpal telinga kau dengan bahasa-bahasa asing yang membuat kau sedih. lalu kau menutup mata, menghindari mata jendela, yang selalu menguntit kau sepanjang sejarah.

 

GUGURLAH SEGALA KATA

Segala yang mati menjadi udara. Jiwa-jiwa yang mengembara. Tak lagi membara. Padam sudah itu kau punya bara dalam dada; yang pernah terbakar, yang pernah risak dalam derai tawa. Kau bawa pulang semua lara. Langit membentang luas menampung segala dosa. Hujan turun merintik di kaca jendela. Semua orang berduka. Tapi hilang sudah semua kau punya nestapa. Udara menjatuhkan kau sebagai hujan atas segala kau punya pahala dan dosa. Gugurlah segala kata. Tanah menampung semua cerita pada mereka yang duka. Lesap dari segala hiruk-pikuk, kau mengubah diri jadi cahaya; yang tidak dikenal siapa-siapa.

 

LAMUNAN MALAM

Langit malam tak sepekat dulu. Kau bertanya-tanya. Laut tak seasin dulu. Kau bertanya-tanya. Rindu tak sesakti dan sesakit dulu. Kau bertanya-tanya.

Malam meluntur, kata melantur. Terkatung-katung aku memandang bulan nganga di matamu. Tak ada warna. Hanya serupa keping koin di saku celanamu. Bisa dibelanjakan duka kali lipat lagi.

 

LUBANG PAGI

pagi mengeruk sepi dari kening malam. dinginnya hening tak mampu menjangkau ceruk mataku dan matamu. sebuah lubang di dadaku akan terus tumbuh seperti bunga atau bocah kecil yang kini mencintai layang-layang, dan esok lusa yang tak mau menyentuh layang-layang lagi, begitulah cara lubang di dalam dadamu bekerja. kau tak mampu membayangkan dan menduga-duga dan bersangka-sangka. kata tanya jadi sia-sia di hadapan lubang. namun ketika pagi mengeruk sepi dari kening malam, apa yang kaulakukan dengan lubang itu adalah rahasia bagi dirimu dan lubangmu. begitu juga aku.

 

JERUK PERAS DI TANGANMU

kau memotong jeruk peras itu serupa kau memotong-motong kesedihan kau.
kau belah-belah jadi dua. jadi tiga. jadi lima. jadi delapan. jadi sembilan.

aku mau buat jus jeruk, kata kau.
untuk apa? kubertanya.
untuk kuminum, jawab kau.
tak adakah jawaban yang lebih panjang untukku? tanyaku sendu.

kau diam. memotong-motong jeruk peras lagi jadi sebelas.
dua belas. empat belas.
hingga seluruh jari-jari kau.

 

SENDIRI

Abadikanlah aku dalam kesendirian kau. Bagai sajak-sajak yang pernah terperangkap di mata kau. Bagai dongeng dan cerita pendek yang kau baca sebelum kau matikan lampu. Bagai kesepian kau yang tiba datang, yang tiba pergi. Bagai jalanan kota yang tiap malam kau lintasi. Bagai ruang yang kau masuki dan kau kunci. Bagai kapuk kurang empuk yang kau tiduri. Abadikanlah aku dalam kesendirian kau. Bagai bagian diri kau sendiri.

Siska Permata Sari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email