Sensitivitas kecerdasan buatan Facebook yang kian meningkat membuatnya dicap sebagai “artificial intelligence baper” di kalangan penggunanya. Kecanggihan sensor AI terhadap standar komunitas Facebook sudah di tahap bisa menangkap sinyal untuk mengenali apa yang ada di foto, lalu memahami teks. Meningkat lagi, teknologi Facebook masih terus dikembangkan untuk mendeteksi perbedaan halus pada beberapa konten.
Tidak main-main, Facebook bermitra dengan perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 15.000 peninjau yang bekerja 24 jam sehari. Mereka memiliki sekurangnya 20 situs di seluruh dunia tempat tim-tim tersebut dapat meninjau konten dalam lebih dari 50 bahasa.
Namun, artificial intelligence Facebook belakangan ini dirasa makin baper karena asal tebang unggahan random yang sebenarnya tidak melakukan pelanggaran pedoman di standar komunitasnya. Banyak akun tiba-tiba tidak bisa berinteraksi, bahkan lenyap tanpa kabar.
Keluhan ban dari pembuat konten atau komentar satir dengan niat bercanda pun banyak ditemukan. Asal tahu saja, robot belum bisa diajak bercanda.
Baca juga:
Mari kita kulik bagaimana sistem robot kecerdasan buatan milik Meta bekerja. Perusahaan yang menaungi Facebook itu mengaku memiliki teknologi yang mampu menemukan 90% konten pelanggaran dan menghapusnya sebelum ada yang melaporkannya. Setiap hari, jutaan unggahan dan akun Facebook dihapus karena melanggar standar komunitas. Sebagian dihapus otomatis karena jelas melanggar, sebagian lainnya yang terdeteksi berpotensi melanggar akan dikirim ke tim peninjauan untuk diperiksa dan ditindaklanjuti.
Secara garis besar, Facebook mengklasifikasi konten menjadi dua. Pertama, konten yang tidak diizinkan. Kedua, konten yang memerlukan informasi tambahan berupa layar peringatan atau konten yang hanya bisa diakses pengguna berusia 18 tahun ke atas. Facebook memberi poin khusus pada tindak kekerasan dan kriminal, keamanan fisik dan mental manusia, melarang ujaran kebencian, integritas dan keaslian akun, serta menghormati hak kekayaan intelektual. Hal ini untuk memberikan rasa nyaman dalam berinteraksi di media sosial.
Salah satu contoh kenyamanan yang diciptakan Facebook bisa kita temukan pada poin Ujaran Kebencian. Facebook mendefinisikan ujaran kebencian sebagai konten yang menyinggung bagi orang atau institusi. Kebijakan ini diperlukan untuk menghindari intimidasi dan pengucilan, serta meminimalisir potensi terjadinya kekerasan yang berlanjut di dunia nyata. Tulisan maupun visual yang mengarah pada serangan ras, etnis, kewarganegaraan, disabilitas, agama, kasta, orientasi seksual, jenis kelamin, identitas gender, dan penyakit berat akan mendapat teguran dari Facebook. Konten bermuatan ujaran kebencian bisa langsung dihapus sesuai tingkat pelanggarannya.
Poin lain, Kekerasan dan Hasutan, juga menjadi kebijakan yang penting di tengah maraknya aksi terorisme. Dalam pedoman standar komunitas, Facebook mengaku mengerti bahwa orang biasa mengungkapkan hinaan atau ketidaksetujuan dengan mengancam atau mengajak melakukan kekerasan secara tidak serius. Facebook berusaha mempertimbangkan bahasa dan konteks yang ada untuk membedakan pernyataan yang tidak serius dari konten ancaman.
Larangan tegas dari Facebook adalah segala ancaman yang dapat menyebabkan kematian. Untuk itu, teknologi Facebook dilatih agar bisa menganalisis simbol-simbol yang menunjukkan target dan/atau menyertakan visual persenjataan.
Di balik belasan poin kebijakan dalam standar komunitas, terkadang sebuah konten sangat jelas bagi seseorang, tetapi kurang jelas bagi teknologi. Sensor spam dan violation dirasa masih lemah. Alhasil, ia memberi teguran secara acak kepada konten yang tidak melanggar.
Fakta dapat kita temukan di unggahan-unggahan Facebook ini.
Akun Tania L*na mendapat peringatan karena melanggar standar komunitas pada poin violence and incitement pada unggahannya yang berbunyi:
“Orang kayak gitu ndak usah diambil hati. Langsung tebas aja..” [Emotikon ketawa terbahak]
Sayang, robot Facebook tidak bisa diajak bercanda.
Akun Herawati Im*n tidak bisa memposting dan berkomentar, ia mengeluh dalam postingannya:
“Nulis ditembak doang dianggap melanggar standar komunitas.”
Kemudian, meski penulisannya dipisah dengan spasi, Facebook bisa mendeteksi kalimat ajakan atau ujaran yang mengandung kekerasan. Seperti pada komentar akun yang merespons cerita genre thriller:
“Ku liti saja mereka seperti yang dibuat Mrs. Newell.”
Menyiasati hal ini, banyak akun tidak lagi memberi spasi pada kata sensitif. Mereka menyiasatinya dengan mengganti huruf dengan objek lain, misalnya “k√liti” untuk “kuliti”. AI Facebook kurang bisa membaca konteks sehingga tulisan 4L@Y kembali membudaya demi menghindari ban.
Ada yang hanya dicap melakukan pelanggaran tanpa diberi tahu secara detail kasusnya apa. Memang membingungkan. Dalam sekejap, orang bisa kehilangan akun tanpa tahu pelanggaran apa yang dibuatnya. Kehilangan koneksi, memulai segala aktivitas dunia maya dari nol kembali. Namun, teguran dan pemblokiran akun nyatanya tidak membuat pengguna setia Facebook berpaling. Mereka hanya akan mengumpat, lalu kembali dengan membuat akun baru.
Baca juga:
Pembatasan kebebasan berekspresi dalam aplikasi yang digunakan lebih dari dua miliar orang ini sangat penting. Ada potensi timbulnya peluang dan celah baru penyalahgunaan internet. Pembuatan standar komunitas atas dasar empat nilai yang dijaga, yakni orisinalitas, keamanan, privasi, dan martabat, selayaknya diapresiasi dan terus didukung demi kenyamanan dan keamanan dunia maya.
Teguran Facebook dibutuhkan. Pembatasan berekspresi dalam standar komunitas sangat diperlukan. Catatan bagi Meta, sistem robot harus diperbaiki agar tidak baperan.
Editor: Emma Amelia