Kolam dalam Ikan

M. Isnaini Wijaya

9 min read

Saya tidak tahu, berada di mana dan jam berapa, tapi saya tahu kalau saat itu siang. Siang yang tidak seperti siang saban hari. Hawa benar-benar panas. Udara seperti yang ada di Surabaya, bahkan lebih dari itu.

Ketika saya coba menghidu, yang tercium hanya bau anyir darah dan pasir yang kerontang. Saya tidak cukup waktu memikirkan di tempat seperti apa saat itu. Udara yang panas, tenggorokan seperti sahara, dan matahari yang terasa seperti di atas kepala membikin otak saya tak mampu berpikir. Selain itu, dari sebelah kanan entah dari mana munculnya, Hib—nama lengkapnya Hibatullah—menjawil lengan kanan saya.

“Ini tempat apa, Sur? Kok aku seperti sedikit mengenalnya,” katanya memanggilku.

Nama saya Samsuri. Saya tak sempat kaget dan bertanya macam-macam soal keberadaannya yang tiba-tiba. Tempurung kepala seperti hendak meleleh begini mana sempat berpikir yang seperti itu.

“Bagaimana kamu bisa bertanya sesuatu pada seseorang yang sama bingungnya.”

Hib hanya mengikik, dia bertanya, kenapa rasa udara di sini panas sekali, dan kenapa angin membawa semilir kepingan matahari yang mampu membikin kulit melepuh.

Hib tampak meradang, beberapa kulitnya melepuh, merah. Kalau boleh saya bilang—maaf semoga ini tidak menunjukkan kalau saya rasis—Hib seperti babi yang gemuk sekali. Namun, saya tidak bisa melihat kondisi badan saya sendiri.

Perkara tak penting memikirkan lekuk tubuh saat itu, hawa benar-benar menyiksa. Kalau boleh diibaratkan mungkin seperti suasana perang di Kurusetra: pejal dan mencekam.

***

Hib dan saya sepantaran, dengan usia setengah usia negara ini. Kami sama-sama bergabung di Laskar Bintang Bulan, sebuah ormas yang memiliki cabang di kampung kami. Hanya saja, Hib terlihat lebih serius bergabung di laskar itu. Sementara saya—oleh Hib dikatakan—masih sibuk mencampurkan dengan urusan duniawi.

Bagaimanapun, saya memiliki urusan yang perlu diurus: istri, anak, dan pekerjaan. Namun, Hib—saya pikir— berbeda dengan para laki-laki kebanyakan. Ia rajin sekali mengurusi agama, meskipun memiliki tanggungan yang sama dengan saya. Yang bisa menyelamatkan kita cuma agama, Sur, katanya. Saya sedikit kagum dengan Hib.

Awalnya, Hib dan saya, pun dengan pemuda-pemuda desa yang lain sedikit tidak terjamah agama sewaktu kecil. Lalu, ketika Laskar Bintang Bulan itu masuk dan mulai mendirikan pengurus cabang di kampung kami, para pemuda mulai merasakan enaknya bersender pada agama.

Pemimpin laskar itu rajin mengadakan pengajian, dengan tema yang saya pikir-pikir sekarang cukup membosankan: yang dilakukan laki-laki di surga adalah memerawani bidadari; agama harus ditegakkan dengan lurus-selurusnya; selalu meminta dan pasrah kepada Tuhan; doa yang khusyu’ supaya dikabulkan, dan macam-macam.

Namun, entah kenapa kami waktu itu cukup tergiur. Terutama dengan poin pertama. Ya, saya mengakui jika poin pertama cukup menggoda kami, yang saat itu masih berusia remaja.

Dari tawaran pemimpin cabang itu, dapat saya simpulkan jika agama adalah sandaran paling nyaman bagi kami. Tetapi rasa nyaman yang melingkupi saya tidak berlangsung selama yang dialami Hib.

Sewaktu saya berusia kepala dua dan memutuskan menikah, di tahun ke tiga pernikahan, saya mendapati godaan berat: ekonomi ambruk dan tak kunjung mendapat buah hati.

Saya—seperti yang dibilang oleh pemimpin Laskar Bintang Bulan—selalu berusaha untuk semakin dekat dengan Tuhan. Itu berlangsung hampir satu tahun, tapi tak ada perubahan yang jelas dalam hidup saya dan keluarga saya. Kemiskinan tetap membabi buta dan genting rumah tangga kami, karena tak lekas mendapat momongan, menjadi semakin runcing.

Saya lelah dengan kobaran Laskar Bulan Bintang untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dan tidak mendapatkan apa pun setelahnya. Saya sedikit-sedikit mulai mengendurkan sikap saya terhadap agama. Beragama yang biasa-biasa saja.

Saya tidak paham pada apa yang terjadi pada Hib. Hidupnya selalu mulus, dibarengi dengan semakin berkobarnya ia menegakkan falsafah yang ditanamkan Laskar Bintang Bulan.

Kehidupan keluarganya terbilang stabil dan lancar, mulai dari menikah, kemudian mendapat momongan, hingga pekerjaannya yang semakin terlihat sukses.

Jujur, saya kurang bisa memahami Tuhan, ataukah memang Dia tak mau dipahami. Saya merasa telah melakukan apa yang Hib lakukan, tapi tak memperoleh hasil yang sama. Akhirnya saya memilih kendor soal agama.

Sayangnya, keputusan saya untuk biasa-biasa saja, mendapat respons yang tidak biasa dari Hib. Puncak kemarahannya adalah mengatai saya sebagai pembelot, tidak serius, masih sibuk memikirkan dunia, dan macam-macam. Saya diam saja. Pun dengan hubungan kami yang seolah tak pernah bersitegang.

Karena saya disibukkan dengan berbagai urusan—yang kata Hib adalah urusan duniawi—saya jarang bertemu dengan Hib. Hib menjadi ahli hisab: karena kegemarannya merokok dan menghitung amal-dosa orang lain.

Terakhir sekali bertemu, saya tafsirkan jika Hib menganalogikan dosa dan amal seperti matematika. Dapat dihitung. Tata cara mengijir dosa dan amal itu, tentu saja oleh Hib didasarkan pada kitab-kitab yang pernah dipelajarinya. Saya tak tahu banyak selepas itu, yang jelas Hib semakin menggebu-gebu.

***

Pion-pion kecil, seperti ketika bermain catur, terlihat mengantre. Membentuk lekuk ular melata yang amat panjang. Saya mengasumsikan jika pion-pion itu adalah manusia—saya tak bisa melihat jelas—seperti saya dan Hib yang mengantre. Namun, ini antre untuk apa? Persoalan itu kemudian membingungkan saya kembali.

Saya menengok Hib sekali lagi, ia terlihat kepayahan. Jalur ular melata ini serasa tak bergerak. Lamat-lamat ingatan saya mengunjungi kisah-kisah yang dituturkan tetua zaman dulu, ya, ini seperti di Oro-Oro Mahsyar.

Berarti, apakah saat ini kiamat telah terjadi? Saya hanya membatin, tak berani bertanya, takut kalau benar-benar kejadian. Sementara Hib tambah meradang saja.

Angin tiba-tiba tidak hanya membawa kepingan matahari yang membikin kulit melepuh, ia membawa sebuah bisikan. Prasangka saya bisikan itu juga di bawa ke telinga semua manusia yang mengantre.

“Hush! Tidak percaya, Tuhan tidak terlihat, tidak pernah berbisik. Jangan percaya, ini bisikan iblis.” Hib yang kulitnya melepuh, matanya terlihat seperti tanda hubung bergelora meneriakkan apa yang diyakininya. Hib tak rela ada yang mengaku Tuhan lalu membisikkannya ke setiap pasang telinga yang berjejer membentuk lekuk ular.

Bisikan itu datang lagi. “Sepertinya kamu tidak bisa membedakan mana iblis dan Saya.”

Saya yang mendengar bisikan itu—itu bisikan, bukan teriakan keras yang tak berwujud seperti di teve-teve—merinding betul. Saya, entah kenapa lekas meyakini jika itu benar-benar Tuhan. Tapi, kenapa secepat ini bertemu Dia. Loh, berarti apakah saya selama ini tak bertemu dengan-Nya sewaktu beribadah. Gimana, sih, saya jadi bingung sendiri.

“Saya rajin ke tempat yang menjadi tempat-Nya, tapi satu kali pun Dia tak pernah membisikkan saya yang seperti ini, tak menjumpai saya dengan bisikan, ini semacam mengaku-aku,” tukas Hib.

“Tempat-Ku yang mana yang kamu datangi? Yang ada kubahnya? Yang memiliki karpet berlembar-lembar? Yang memiliki mimbar kudus, atau yang manakah?” bisikan itu kembali menyasar pada telinga kami.

Hib diam.

Lalu pasir yang kerontang itu dibawa angin, tipis-tipis membentuk sebuah layar, yang menunjukkan keadaan jauh di depan sana.

Di kepala antrean, seorang perempuan tapi tak seperti perempuan, laki-laki tapi tak cocok dibilang laki—maaf sekali lagi kalau saya tak cukup baik menjabarkan wujud manusia itu—sedang melewati jembatan gantung. Jembatan yang saya pikir cukup unik konstruksinya.

Jangankan manusia atau bahkan semut, debu saja, saya pikir dapat merobohkan jembatan gantung tanpa tali penyangga itu.

“Itu Shinta, Sur!” Hib menggebu-gebu.

Aneh, mata Hib yang membentuk tanda hubung masih begitu tajam mengidentifikasi seseorang. Saya mencoba mengingat-ingat Shinta di tengah kondisi kepayahan dan kepanasan. Hanya ada satu Shinta yang kami—Saya dan Hib—kenal. Shinta yang itu, Shinta yang sangat dibenci Hib.

***

Shinta memiliki nama asli Agus. Tanpa alasan yang jelas, dia pergi bertahun-tahun dari kampung kami, dan kembali dengan nama Shinta. Katanya, ia bukan lagi Agus, ia murni Shinta.

Pendeknya, saya—mohon maaf jika ini terdengar menyinggung—menyebut Shinta sebagai waria. Memang, sewaktu masih menjadi Agus, perilaku dan bentuk fisiknya tak mendukung untuk disebut Agus. Kulitnya terlalu halus untuk ukuran laki-laki kebanyakan, bokongnya terlalu sintal, bibirnya yang ranum, dan perilakunya yang feminin membuat Agus menjadi bahan ejekan sewaktu kecil.

Seperti tidak cukup waktu kecil saja, hingga usianya layak dikatakan remaja akhir, Agus paten menjadi bahan olok-olokan. Setelah itu, ia menghilang beberapa tahun, dan kembali dengan wujud Shinta.

Orang-orang kampung tentu miris sekaligus risih dengan kedatangan Agus atau Shinta—selanjutnya terus kusebut Shinta.

Datangnya Shinta dianggap seperti wabah yang bakal menulari siapa saja di kampung. Nasib memang selalu seenaknya. Shinta tetap menjadi bahan olok-olokan, bahkan lebih parah, Shinta dianggap sebagai wabah; manusia menyimpang.

Namun, Shinta tetap bergeming. Diterpa hujan tidak basah, diterpa guntur tidak gentar. Sembari merawat rumah warisan satu-satunya, Shinta menampung anak-anak jalanan, menampung tangan-tangan yang biasanya hanya berguna untuk meminta-minta.

Perilaku Shinta yang seperti itu sedikit menjadi obat bagi kegatalan penduduk kampung, pun dengan Hib. Semenjak datangnya Agus menjadi Shinta di kampung, Hib tampak tak nyaman.

Terus terang saja, Laskar Bintang Bulan mencekokkan paham-paham kaku kepada anggotanya, termasuk Hib. Yang tidak tertulis di dalam kitab, diyakini sebagai sesuatu yang salah. Pun dengan Shinta, ia seperti disajikan oleh Tuhan hanya untuk diceramahi; dibasmi; dan ditekan keberadaannya.

Namun, roman-roman perilaku Shinta yang peduli kasih itu membikin sedikit hati Hib jinak. Meskipun kenyataannya ia tetap sebal bukan kepalang.

Tetapi, tatkala teman-teman Shinta yang lain datang, sekonyong-konyong seperti menyiram bara pada muka Hib dengan minyak tanah. Bara itu menjadi api yang berkobar. Membakar siapa saja yang tidak mau ikut dengannya. Hib rajin mendakwa Shinta dengan berbagai gerendengan dalil, pernyataan, yang oleh Hib diupayakan untuk mengubah perilaku Shinta.

Mungkin tak apa jika hanya ada satu Shinta, tapi kalau ada Shinta-Shinta yang lain, justru mempercepat kiamat saja, begitu kata Hib.

Akhirnya, belum lama usia teman-teman Shinta datang, entah disebabkan apa, api melumat rumah Shinta. Redaksi menyatakan bila kelalaian pemakaian kompor gas adalah pemicunya. Dan Shinta, juga Shinta-Shinta yang lain hilang dari pendengaran orang-orang kampung.

***

Shinta tengah terombang-ambing melewati jembatan. Dan, seperti dugaan kami, Shinta pada akhirnya terjatuh.

Astaga, saya kaget bukan main ketika melihat dasar jembatan yang curam berisi api mendidih. Shinta, sekalipun benci, saya tak sebenci Hib dan penduduk kampung. Saya merasakan pilu yang sangat melihat Shinta ditelan didih api.

“Sur, itu Shinta berenang?”

Saya tak yakin betul, tapi setelah mengingat gejala Hib yang tajam pandangannya meskipun matanya hanya membentuk sebaris tipis, saya meyakini jika Shinta memang berenang.

Setelah saya perhatikan betul, Shinta memang benar-benar berenang. Badan wadagnya tak tertelan oleh didih api yang rajin mengurapi kulit-kulitnya. Sementara kami yang harus mengantre kepanasan, Shinta semakin dekat dengan ujung dari jembatan.

“Dia seperti Ibrahim yang tak termakan api.”

“Bukan. Ibrahim laki-laki, dia perempuan.”

“Dia bukan laki-laki bukan perempuan, Sur.”

“Bagiku dia perempuan, Hib. Ini mirip dengan adegan Shinta Obong. Karena Shinta suci; bersih, makanya api tak sampai melahapnya.” Saya memang menaruh kagum pada Shinta, terlepas dari apa yang ada pada dirinya, perilaku menghidupi teman-temannya memang tidak bisa dibilang biasa.

“Kamu tak memahami ajaran Tuhan. Dia menyalahi kodratnya sebagai laki-laki.”

Saya diam. Berdebat dengan Hib di suasana seperti ini hanya membikin hawa lebih panas saja. Dan, bisikan itu kembali datang.

Bagaimana, apakah kamu sudah melihatnya?

Sudah melihatnya? Apa yang dimaksud melihatnya? Saya tak mengerti apa yang dibisikkan oleh suara Tuhan itu. Apakah saya memang tak pernah mengerti apa yang dikatakan-Nya? Maksud saya, tak mau mencoba mengerti. Ataukah Dia memang tak mau dimengerti? Saya menoleh kepada Hib, dia tak kelihatan kebingungan, berarti mungkin dia melihatnya. Berarti mungkin dia mengerti.

Saya cepat menanyakan apa maksud dari bisikan itu. Tetapi, Hib hanya diam. Kemudian matanya yang tinggal segaris tipis itu mengeluarkan air, menganak sungai. Apa maksudnya ini?

Saya jadi kebingungan sendiri. Apakah ini karena saya mencampur urusan agama dengan dunia? Apakah karena saya tidak bisa setelaten Hib dalam menjalankan apa yang diperintahkan-Nya? Apakah karena saya sebenarnya tak tahu perintah-Nya yang benar? Saya jadi berpikir yang macam-macam.

“Kamu melihat Shinta, Sur?”

“Ya, dia berenang.”

“Apakah kamu mendengar bisikan lain, selain apakah kamu sudah melihatnya?

“Tidak sama sekali.”

Hib kembali diam. Saya kebingungan dengan apa yang ada di pikirannya. Hawa yang panas, dan pikiran yang penasaran ternyata cukup menyiksa, tapi apa yang bisa saya lakukan. Bisikan itu tak lagi terdengar di telinga saya, tapi saya tak tahu, seperti apa keadaan telinga yang lain. Sementara Hib terus mengucurkan air mata.

“Dia berkata melalui bisikan yang tadi kamu dengar, jika yang aku lakukan tak lebih berguna, bahkan tidak berguna, bahkan aku dikatakan keliru.”

Saya jadi bingung. Saya tidak mendengar bisikan semacam itu. Apakah artinya, ada bisikan-bisikan khusus yang disasarkan pada setiap telinga manusia yang mengantre hendak menyeberang jembatan? Mungkin seperti itu.

Saya tak tega menanyakan gerundelan yang ada di pikiran saya kepada Hib. Melihatnya menangis penuh sedan mengurungkan niat saya yang bisa saja menambah beban.

Intinya saya simpulkan, bahwa Dia membisikkan bisikan tertentu kepada setiap pasang telinga manusia.

“Aku benar-benar terpukul mendengar apa yang dikatakan-Nya. bagaimana bisa apa yang aku lakukan, yang ada di kitab, kitab yang merujuk pada ajaran-Nya dikatakan keliru. Aku menyangkalnya tadi, dengan mengatakan aku telah berusaha sekuat mungkin untuk menegakkan apa yang diperintahkan-Nya, tapi dari bisikan itu, aku mendengar jika yang aku lakukan hanyalah untuk kesenangan duniawi, untuk kepuasan hati. Bagaimana bisa dikatakan seperti itu? apakah keikhlasan tidak dapat terlihat di hadapan-Nya?”

“Katanya, bagaimana bisa kamu meyakini apa yang kamu lakukan benar? Kujawab, karena aku melakukan sesuai dengan perintah-Mu yang ada di kitab-kitab. Dia bertanya lagi, kitab yang mana yang aku baca. Aku menjawabnya, rujukan utamaku adalah satu kitab saja, kitab yang tidak berubah dari pertama kali terkumpul di sebuah gua.

“Lalu, Dia bertanya lagi, apa yang kamu dapat dari kitab itu? Kujawab, jika aku mendapat perintah yang harus dilakukan dan larangan yang harus ditinggalkan. Dia bertanya lagi, apakah Dia pernah memerintahkan untuk menyakiti satu sama lain. Aku jawab tidak. Lalu persoalan itu akhirnya sampai juga pada masalah Shinta yang mengarungi api mendidih. Dia menanyai kenapa Shinta berhasil menyeberangi api yang mendidih. Kujawab dengan melemparkan keberatan, kenapa Shinta dapat selamat dari api? Bukankah dia seharusnya melebur karena perbuatannya di dunia menyimpang dari ajaran-Mu?”

“Itu hak-Ku, kenapa kamu ikut mengurusnya? Dia bertanya seperti itu. Aku sedikit tersadar bila telah terlalu jauh bertanya. Gentar menghampiriku, seperti ada dorongan yang entah dari mana membuat seluruh tubuhku bergetar. Ini seperti perbuatan spontan seorang murid yang ditegur gurunya karena melakukan kesalahan, bedanya yang terjadi padaku lebih dahsyat. Dia berkata panjang, yang kira-kira seperti ini: kamu berada di dunia, bukan dunia yang berada pada dirimu. Kamu adalah ikan, ikan dalam kolam, bukan kolam dalam ikan. Apa yang kamu tangkap, apa yang kamu baca, apa yang kamu tafsirkan belum tentu sesuai tafsir-Ku. Jika ikan adalah dirimu dan air yang menghidupimu adalah Aku, maka ikan tak boleh menganggap bahwa dirinya yang dibutuhkan air. Ikan selalu membutuhkan air, tapi air tak butuh ikan. Sekalipun tak ada ikan, air tetap membiru di laut, mengalir di sungai, menghijau di danau.”

Hib masih tersedu-sedan. Antara terpukul dan tersadar. Saya tak tahu, perlakuan seperti apa yang dapat berguna bagi dirinya. Matanya yang membentuk tanda hubung menganak sungai.

Saya pikir, saya akan melakukan hal serupa jika ditegur secara langsung oleh Dia. Tapi bukankah teguran dapat diartikan jika Dia justru masih menyayangi Hib. Saya bingung, saya tak bisa apa-apa kepada Hib. Sementara hawa semakin menderas panas.

Kepingan matahari yang menyapa kulit seperti suntikan penggemuk badan, membikin semua kulit yang terkena menggembung lepuh. Belum selesai saya memikirkan cara untuk menenangkan Hib, semilir angin membawa pasir yang kerontang membentuk asap yang pekat. Pekat dan cepat sekali.

Saya tak lagi bisa mengetahui di mana letak Hib, seperti apa barisan yang membentuk lekuk ular. Saya—mungkin juga semuanya—tak dapat melihat apa-apa, selain warna cokelat susu yang terbentuk dari kepulan pasir kerontang.

Pasir itu menggiring kami yang mengular untuk berlari menuju tempat yang aman. Kami berlari, mencari aman, dengan mata menyipit, kulit melepuh, dan udara yang sesak.

Jembatan itu ternyata mampu menopang beban kami. Namun, saya melihat Hib, ia tak berada di barisan yang mengantre jembatan. Ia meronta-ronta kepanasan, di bawah sana, di jurang yang curam berisi air mendidih. Bagaimana bisa seperti ini.

Apa yang Dia lakukan kepada Hib? Bukankah teguran yang dikisahkan Hib tadi adalah bentuk rasa kasih sayang-Nya pada Hib. Hib tidak dapat mengarungi api mendidih itu, ia berteriak kesakitan, berbeda dengan Shinta. Ya berbeda sekali.

Saya kebingungan, saya hendak menolong Hib, tapi saya tak mungkin menceburkan diri ke dalam api yang mendidih. Saya kebingungan.

***

“Pak, bangun, Pak.”

Itu suara istri saya. Saya terbangun, saya seperti terlempar pada situasi yang aneh. Kasur saya benar-benar basah oleh keringat.

“Saya bermimpi, Bu.”

“Semua orang tidur pasti pernah bermimpi, Pak. Bagaimana, sih.”

Istri saya memang suka seperti itu, tidak suka ambil pusing. Saya lekas merapikan diri, sinar matahari jatuh berkeping-keping di jendela. Namun, ini matahari yang berbeda dari mimpi, matahari yang menghangatkan. Saya mensyukuri suasana yang seperti ini, suasana yang nyaman, tidak mencekam.

Selepas merapikan diri, saya lekas pergi menghampiri Hib, di rumahnya. Meskipun akhir-akhir ini jarang berserobok dengannya, tapi saya rasa perlu sekali menyampaikan cerita mimpi semalam. Sayangnya, rencana bisa dirakit tapi nasib selalu berkata lain.

Sesampainya di kediaman Hib, saya melihat ikan telah terlempar dari kolam. Sekali lagi saya merasakan penyesalan yang sangat. Kata tetangga sekitar rumah Hib yang saya tanyai, Hib sempat bermimpi dan mengigau keras sekali, tapi tak ada yang membangunkannya. Bukankah mengigau adalah sesuatu yang biasa, kata mereka. Tetapi, saya pikir igauan dan mimpi yang terjadi saat itu tidak biasa.

***

Editor: Ghufroni An’ars

M. Isnaini Wijaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email