Kemarin ayah memeriksa ponselku. Dia menemukan pesan-pesan Facebook dari ibu. Ayah menampar pipiku sekali dan tak mengajakku bicara semalaman.
Gadis itu mendorong pintu kaca kafe dan melangkah masuk dengan kikuk. Ditariknya nafas dalam-dalam. Suasana kafe cukup lengang. Malah terlalu sunyi untuk ukuran jam satu siang. Pramusaji yang sedang mengelap meja berbalik memperhatikannya berdiri di bawah kipas angin yang berputar malas di langit-langit. Pramusaji itu tersenyum kepadanya, sedikit kaget mendapati seorang gadis dalam seragam SMP muncul sendirian. Tapi dia seperti tersadar sesuatu dan menganggukkan kepala mengarah ke sudut ruangan. Terhalang oleh tangga yang menuju lantai atas, seorang perempuan sedang duduk di sebuah meja sambil merokok.
Perempuan itu tidak melihat si gadis masuk. Matanya tertuju pada layar ponsel sementara gadis itu berjalan ke arahnya dan menyapanya.
“Ah,” jawab si perempuan yang segera mematikan rokoknya di asbak. Sudah ada delapan puntung rokok, mata gadis itu menghitung dengan cepat. Itu artinya dia sudah berada di sana cukup lama. Sedikit tersenyum si gadis meminta maaf karena terlambat.
“Aku kira kamu gak jadi datang,” balas perempuan itu ramah.
“Aku harus menyiapkan makan siang untuk ayah dan memastikan dia meminum obatnya,” jawabnya sungkan. Tapi buru-buru ia menambahkan, “Beberapa hari ini ayah sering memuntahkan kembali apa pun yang masuk ke mulutnya.”
“Oh,” gumam perempuan itu. “Apa dia memukulmu lagi hari ini?”
Gadis itu tercekat di tempatnya. Dia bahkan belum duduk tapi sudah harus mendengar perkataan tak menyenangkan seperti itu.
“Ibu…” nada suara gadis itu seperti ingin memprotes. Tapi kata-kata tertahan di bibirnya.
“Sudah, lupakan saja. Mari sini dekatku. Duduklah dulu,” perempuan itu mencoba mengalihkan. Dia seharusnya bisa menahan diri sedikit untuk tidak menyinggung mantan suaminya itu.
Perempuan itu memeluknya, mengelus-elus pipinya. Diciuminya anak satu-satunya itu dan berkata bahwa dia tumbuh semakin mirip dengan dirinya.
“Seperti melihat diriku dua puluh tahun lalu,” katanya tersenyum. “Kenapa kau baru membalas pesanku, Sayang?
Gadis itu tak tahu harus menjawab apa. Dia berusaha menghindari tatapan perempuan yang tak hendak melepas pelukannya ini, mengatakan betapa dia begitu tersiksa oleh rindu kepadanya. Bau tembakau dari mulut perempuan itu membuat kepalanya pening.
Ayahku juga sering menciumiku dan berbau tembakau. Tapi itu dulu sekali, waktu aku masih kecil, setiap kali dia pulang kerja. Ayah akan menjemputku di apartemen Tante Nanna, tetangga kami yang dibayar ayah untuk menjagaku sampai sore. Ayah menaikkanku di pundaknya dan juga mengatakan jika dia merindukanku seharian dari tempat kerjanya.
“Bagaimana sekolahmu?” Tanya si perempuan lagi.
“Ibu melihat postinganmu di Facebook beberapa hari lalu. Kau mewakili sekolah lomba fisika dan juara satu. Ibu sangat bangga padamu.”
***
Dua hari sebelumnya, perempuan itu kembali mengirimi si gadis sebuah pesan. Itu bukan yang pertama sejak dia berhasil menemukan akun Facebook anaknya. Tapi gadis itu tak sekalipun membalasnya. Perempuan itu tahu bahwa setelah belasan tahun berlalu tidak mudah untuk mengambil kembali hati anaknya. Sepanjang waktu itu banyak hal bisa terjadi, mengingat mantan suaminya akan melakukan segala cara untuk menjauhkan mereka berdua.
Perempuan itu berhasil menemukannya setelah dia mengetik di kolom pencarian nama Fadila, yang memunculkan puluhan rekomendasi dan baru cukup yakin setelah menemukan satu dengan nama Hasan—nama mantan suaminya—di belakang. Akun itu baru dibuat putrinya sekitar setahun lalu. Tapi dia segera mendapatkan teman dan pengikut ribuan. Dia termasuk siswi populer di sekolah. Mungkin karena kecantikannya atau kepintarannya.
Semula perempuan itu tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia sangat bahagia melihat anaknya telah tumbuh sebesar itu. Foto profilnya adalah potret gadis itu sendiri, sedang bersandar pada pagar besi bianglala di sebuah pasar malam. Rambut si gadis dipotong pendek, ia sedang memperlihatkan senyum ke kamera. Kemungkinan yang mengambil gambar itu adalah mantan suaminya sendiri.
Ibu menyuruhku memesan menu di kafe. Aku tak tahu harus memilih apa. Ayah tidak pernah mengajak aku ke tempat seperti ini. Aku memandangi daftar makanan yang dilaminating kaku. Harga-harganya sangat mahal. Segelas susu kocok seharga 20 ribu rupiah. Itu setara uang jajanku selama lima hari. Dengan uang yang sama aku bisa membeli telur setengah kilogram untuk sarapan bersama ayah selama seminggu.
Perempuan itu sedikit banyak tahu apa yang ada dalam kepala gadis kecilnya. Bukan karena intuisinya sebagai seorang ibu yang membuatnya awas, melainkan dia telah membaca hampir semua status Facebook si gadis sejak awal. Anak itu berbagi kegiatan sehari-hari; dari menu makan, sekolah, lelaki yang diam-diam disukainya, sampai-sampai perempuan itu berpikir putrinya terlalu berlebihan dalam berbagi cerita.
“Kamu tidak meminta izin kepadanya untuk bertemu denganku?”
Gadis itu mengangkat kepalanya. Mulutnya penuh dengan makanan. Dia mengunyah sambil mengangguk. Perempuan itu membuka botol air mineral untuknya.
“Aku bilang akan menemui Mba Jia.”
Mba Jia adalah penjaga apotek tempat si gadis biasa mengambil obat antidepresan pesanan ayahnya sepulang sekolah. Dari status-status Facebook putrinya, dia juga tahu jika mantan suaminya mengalami stres berat. Sering kali dia kesulitan tidur di malam hari dan meminta izin tempatnya bekerja untuk tidak masuk karena kepalanya sangat sakit. Suatu waktu, perempuan itu pernah ingin berkomentar pada sebuah postingan tentang konsultasi kejiwaan. Gadis itu meminta rekomendasi tempat jasa psikiater yang murah. Semula dia pikir putrinya yang membutuhkan itu, tapi setelah melihat balasan komentar dari teman-temannya, dia tahu itu untuk mantan suaminya. Dia baru saja memukuli orang karena mabuk dan putrinya takut sekali. Dia berpikir ayahnya sudah gila.
Mantan suami dan putrinya saat ini tinggal di sebuah apartemen sederhana. Rusun subsidi yang disediakan pemerintah dan terletak di pinggiran kota. Hanya ada sebuah kamar dan ruang depan sederhana dan satu kamar mandi kecil. Perempuan itu berpikir kondisi itu tidak cocok untuk anaknya yang sedang tumbuh dewasa. Dalam beberapa tahun dia akan membutuhkan ruang privasi sendiri. Putrinya harus berada di sebuah lingkungan baru yang sehat, bukannya tempat di mana dia memposting ketakutannya setiap malam di Facebook karena ternyata tetangga baru tepat di samping mereka adalah bandar sabu-sabu dan polisi baru saja menyerbu dengan mendobrak pintu dan melepaskan tembakan berkali-kali. Atau kekesalannya karena digoda oleh anak-anak nakal di lorong sepulang sekolah.
Ibu bertanya apa cita-citaku. Aku bilang mau jadi dokter. Ibu bilang berarti aku harus masuk sekolah yang bagus. Aku tak tahu apa maksudnya. Ibu telah menyiapkanku untuk masuk SMA elit. Jadi aku bertanya apakah itu bisa membantuku untuk menjadi seorang dokter ahli kejiwaan. Ibu terkejut mendengarnya.
“Kenapa kau mau menjadi dokter jiwa?”
“Aku ingin menyembuhkan ayah,” jawab gadis itu.
“Seberapa parah sakitnya?”
“Dia sering menangis histeris,” kata gadis itu. “Kapan pun dia melihatku merapikan pakaian atau membuka tas dia akan muncul di pintu kamar dan menuduhku akan meninggalkannya. Ayah bilang aku akan membiarkannya mati sendirian di sana. Itu sangat membuatku sedih. Ayah selalu meracau jika besok aku akan pergi. Esok apa, buktinya aku masih bersamanya sampai sekarang. Kadang aku merasa ayah menganggapku sebagai penjahat. Dia pikir aku akan mengkhianatinya.”
“Tapi itu sesuatu yang tak terhindarkan, Sayang,” kata perempuan itu. “Cepat atau lambat kau akan memiliki kehidupan sendiri. Tinggal jauh darinya dan mengejar cita-citamu.”
“Ibu, aku ingin menjadi dokter dan terus berada di samping ayah. Aku ingin dia sembuh.”
Perempuan itu memandangi anaknya dengan rasa iba. Gadis ini belum tahu apa-apa tentang kehidupan. Dia masih terlalu kecil untuk memahami bahwa ada hal-hal dalam hidup ini yang tak bisa diperbaiki. Sebagaimana pernikahannya yang hancur belasan tahun lalu.
***
Perempuan itu selalu yakin bahwa keputusan untuk meninggalkan suami dan anaknya bukanlah murni kesalahannya seorang. Seperti anak muda umumnya, cinta memang begitu membutakan. Usia mereka berdua masih belasan tahun waktu itu. Keduanya kabur dari rumah setelah lulus SMA, melawan kehendak orang tua masing-masing. Mereka pindah ke kota dan memulai kehidupan yang baru tanpa apa-apa, tapi dihibur harapan yang sedang tumbuh dalam perut perempuan itu.
Namun, seperti kata orang, kota bukanlah tempat untuk coba-coba. Mereka menikah dan pergi bekerja untuk melanjutkan hidup, si suami bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko eletronik dan si istri menjadi penerima tamu di sebuah rumah bernyanyi. Semula semuanya terasa seperti tantangan, suka duka dilalui bersama. Sampai lahirlah pertengkaran-pertengkaran kecil yang perlahan membesar dan menjadi tak tertanggungkan lagi.
Si istri selalu berpikir bahwa pekerjaan suaminya tak akan cukup untuk menyokong masa depan mereka. Sementara si suami mulai merasa istrinya berubah setelah melahirkan dan curiga dia menjalin hubungan dengan lelaki lain. Kekhawatiran keduanya benar terbukti. Dalam beberapa bulan si suami terlibat masalah kemudian dipecat dan perempuan itu ketahuan berhubungan dengan salah seorang pelanggan kaya di tempatnya bekerja.
Suatu malam, menggendong anak perempuan mereka yang masih berusia dua tahun, si suami memergoki istrinya di sebuah hotel bersama lelaki lain. Pintu terbuka dan seorang lelaki paruh baya berdiri hanya mengenakan handuk—lelaki yang kemudian hari menjadi suami baru istrinya. Si Suami melihat perempuan itu di ranjang, dengan ekspresi terkejut, tengah telanjang. Dengan suara bergetar dia berkata bahwa mereka berdua selamat karena dirinya tak akan mau menggunakan kekerasan di depan mata putrinya. Istrinya tidak boleh lagi pulang ke rumah dan semua pakaiannya akan dikirimkan ke hotel malam itu juga.
Sepanjang waktu perempuan itu terus berdalih bahwa kegilaan mantan suaminya bukanlah karena perbuatannya. Dia tak pantas disalahkan atas hal itu. Tentu ada rasa sedih juga melihatnya menderita begitu. Namun, satu-satunya yang bisa dipikirkan olehnya saat ini adalah mengurangi beban mantan suaminya dengan mengambil kembali putrinya. Dia akan menyekolahkannya, membayar lunas hutang masa lalunya dengan memanjakannya, membelikan apa pun yang diinginkan si gadis.
Tante Nanna menelepon. Ibu bilang jangan diangkat. Tapi aku harus mengangkatnya. Ibu memelukku, menciumku, bertanya apakah aku tidak mencintainya. Ibu menjauhkan tanganku dari ponsel. Aku berusaha menggapai-gapainya. Dia sungguh jahat melarangku menerima tujuh panggilan berulang dari Tante Nanna. Aku mulai menangis.
***
Perempuan itu menenggelamkan kepalanya di antara sikut di atas meja kafe. Dia mengutuki dirinya sendiri. Ini adalah pertarungan yang tak akan pernah dia menangkan. Perempuan itu tahu sejak awal bahwa tak ada satu pun cara untuk merebut kembali putrinya. Anak itu terlalu mencintai mantan suaminya. Dengan pipi dibasahi air mata, gadis itu berdiri, begitu tega melayangkan telunjuk ke wajahnya, mengharapkan dirinya enyah dari dunia. Gadis itu juga meminta perempuan itu untuk tidak menghubunginya lagi.
Maka sejak saat itu dan sepanjang sisa hidupnya yang bisa dia lakukan hanyalah memperhatikan postingan putrinya di Facebook.
Ayahku dilarikan ke rumah sakit oleh tetangga. Ayah selalu mengancam jika aku coba-coba menemui ibu dia akan bunuh diri. Hari ini ayah meminum cairan pembersih lantai. Tante Nanna menemukannya sekarat di WC.
Ayahku tahu aku pergi menemui ibu.
Dua belas jam di IGD. Aku tidak bisa tenang menunggui ayah. Jika dia mati aku tak akan memaafkan diriku sendiri.
Ayahku selamat! Alhamdulillah.
Maafkan aku baru bisa kembali update, teman-teman. Seminggu ini aku sibuk mengurus ayah. Dia sudah pulang ke rumah. Ayahku sekarang dalam kondisi stabil. Tapi aku masih harus selalu ada di dekatnya. Sekolahku agak terhambat. Ini memang sulit, sebentar lagi aku ujian akhir. Beberapa tetangga menyarankanku untuk mengambil les privat. Mereka mendatangkan seorang tutor muda ke rumah jadi aku bisa belajar sambil menjaga ayah. Terima kasih, orang-orang baik!
Pukul dua dini hari. Aku tidak bisa tidur memikirkan masa depanku. Perempuan itu pernah menawarkan SMA yang bagus agar aku bisa mewujudkan cita-citaku. Tapi aku telah mengambil keputusan dan tak akan menyesalinya. Aku akan mencari caraku sendiri untuk mewujudkannya.
Pernah suatu hari dalam hidupku masa depan terbentang begitu jelas dan indah. Ibarat hari esok yang menjelang. Yang perlu kulakukan hanyalah menyongsongnya dengan semangat. Tapi aku menolaknya dengan kesadaran penuh sebagai seorang anak perempuan yang tak akan pernah mengkhianati ayahku. Entah esok atau selamanya.
*****
Editor: Moch Aldy MA