Tak Ada Masa Lalu Bagimu
Telah dihapuskan kesedihan
Yang menganga di bawah mataku
Menggoyang-goyang napas dan panas
Tak ada hari kemarin
Hanya esok, menjajal dadu baru
Kalah menang tak ada pilihan
Kan berulang
Sebab tak ada hari kemarin
Kisah-kisah terlupakan
Dari peradaban yang diamuk dewi-dewa
Dan petapa buta
Hanya saat ini
Mengais
Kedalaman dari keraguan
Sebab tak ada hari kemarin
Segalanya berjalan ke depan
Menatap ilalang panjang
Tempat para raksasa berpeluh luka
Dan kita berkabung atas gugurnya
Bunga-bunga waktu telanjang
–
Bila Ku Berumah di Langit
Kan kuintai indah dan ngerinya bulan
Saat malam minggu, dalam gelap
yang tersamar mantra para pecinta
Jika ku berumah di langit
Ranjangku adalah pelangi
Menembus warna di bola matamu
Andai saja ku berumah di langit
Puisiku tak lagi sia-sia, kan kukirimkan ke nabi-nabi
Mereka gemar membaca dan mencinta
Sebelum tidur kuberdoa
Agar Tuhan memberiku rumah di langit
Agar khayalku tak luntur di penggal waktu-waktu
Setelah Tuhan membikin rumahku di langit
Sambutan mereka adalah kenangan sahabat yang hangat
Serta keramahan tetangga yang bermukim lebih dulu di langit
Dan kehidupan ini tak sia-sia
–
Doa Pagi
Pagi izinkanlah burung-burung memakan berita hari ini
Mereka hanya menggores kebosanan
Pada siluet hitam, menyalak di pohon dan karbon
yang terasing dan tercemar tanpa lekas berutang
Memikul beban manusia, pagi, begitu jauh
Seperti nabi melesat ke langit tujuh
Kisahkan pada yang tertinggal: geram yang terbakar
Tanggal dan gugur pada perang yang tak dimenangkan
Pagi antar bisikku pada Tuhan
Membakar dan terbakar, di bawah hunusan ragu
Sebab pengetahuan semakin hilang
Sebab kegagalan menatap awan telanjang
Sebab telah meninggi perang
Dan aku basah darah
–
Sajak untuk Kawan
Sebelum semua terlupa, bacalah dengan diam, seperti khusyuk Maria:
Kawan sebagai gerombolan pulang dan pergi
Dekaplah sekali lagi diam kalian di batas kata yang tak terbaca
Tengadah sungai waktu, bahaya berganti bentuk
Tangkap keraguanku pada nyala harapan
Untuk tiap rokok dan percakapan yang kita bagi
Kita pernah melupakan masa lalu dan menelan patahan waktu
Namun teruslah berlari
Dikelilingi harapan, meski menyusut, meski kian kusut
Kawan, tukar kartumu denganku
Mari berjudi lagi dan lagi…
–
Menjelang Malam di Nganjuk
Gerimis bercumbu dengan padi dan gelisah petani
Setelah petang, hanya sepi memburu muda-mudi
Sebagai koboi kehilangan kuda, bermimpi menjajah kota
yang silau, terpecahkan matanya
Sebagai serbuk sari jam kerja buta
Singo Barong tertawa saat hewan hutan terbang ke langit
Setelah mimpinya remuk pada penantian Songgolangit
Di desaku para penari adalah rupa-rupa Singo Barong
yang tertawa tanpa taring
Malam menguap pada susuran angin, menelan desa-desa
Sedalam patahnya para petani, koboi dan penari
Menjelang malam di Nganjuk
Menyeka pekat luka di dada
*****
Editor: Moch Aldy MA