DIALOG, 1
Apa yang kau makan siang ini?
“Nasi seadanya.”
Lauk?
“Doa yang belum sampai ke langit.”
Sayur?
“Sisa harapan yang direndam air tawar.”
Di mana kau makan?
“Di meja kayu yang sudah tua,
kakinya gemetar menahan bebannya sendiri.”
Siapakah yang menemanimu?
“Sepi, seperti biasa.”
Mengapa tak kau undang teman?
“Teman sedang sibuk menjemput janji-janji
yang tertinggal di jalan raya.”
Apakah kau kenyang?
“Perutku kenyang.
Tapi, hatiku seperti gelas retak,
tak bisa menampung kebahagiaan penuh.”
Mengapa begitu?
“Karena rasa lapar tak selalu ada di perut,
ada juga yang hidup di jantung & kepala.”
Lalu, apa yang kau lakukan setelah makan?
“Aku mencuci piring sambil bercakap dengan diriku sendiri.”
Apa yang dia katakan?
“Dia bertanya, ‘Mengapa kamu selalu memandang hidup
seperti jendela yang tertutup separuh?’”
Lalu, apa jawabanmu?
“Karena separuhnya sudah cukup
untuk melihat hari ini,
dan separuh lagi aku simpan
untuk esok.”
–
DIALOG, 2
Apa yang kau lakukan malam ini?
“Berbicara dengan dinding.”
Dinding itu berkata apa?
“Dia hanya mendengar,
tapi gema suaraku kadang kembali
seperti tamparan.”
Apa yang kau bicarakan?
“Hal-hal kecil:
tentang baju yang tak sempat dicuci,
tentang mimpi yang kusut di atas ranjang,
tentang hidup yang terjatuh di lantai
dan belum sempat kupungut.”
Apakah dinding menjawab?
“Tidak. Tapi dia bergeming,
seolah tahu aku hanya ingin ditemani.”
Mengapa kau tidak keluar?
“Di luar, terlalu banyak suara
yang tak tahu arah pulang.”
Lalu, apa yang kau inginkan sekarang?
“Sebuah pelukan,
tapi aku tak tahu dari siapa.”
Lalu apa yang akan kau lakukan?
“Aku akan tidur.
Kadang, tidur adalah cara terbaik
untuk melupakan percakapan.”
–
DIALOG, 3
Apa yang kau lakukan sore ini?
“Mendengar hujan bicara.”
Dia berkata apa?
“Dia menanyakan mengapa aku sering menangis
tanpa alasan yang jelas.”
Lalu apa jawabanmu?
“Aku bilang, mungkin aku sedang meniru hujan.”
Hujan tertawa?
“Tidak. Dia diam, tapi airnya makin deras,
seolah ingin mendebatku tanpa kata.”
Lalu, apa yang kau rasakan?
“Hujan seperti guru,
membasuh yang kotor,
meski tak semua bisa kembali bersih.”
Apa dia mengerti?
“Aku tak tahu. Tapi dia terus turun,
seperti doa yang tak pernah bosan mengulang.”
Jadi, apa yang kau lakukan sekarang?
“Aku membuka jendela,
biar bau tanah yang basah masuk ke kamarku.”
Untuk apa?
“….”
Hujan pamit?
“Tidak. Dia pergi begitu saja,
meninggalkan genangan kecil di depan pintu.”
Apa yang kau lakukan dengan genangan itu?
“Aku menatapnya sebentar,
lalu kulihat wajahku di dalamnya.”
–
DIALOG, 4
Apa yang kau lihat pagi ini?
“Seorang anak kecil,
membawa karung yang lebih besar dari tubuhnya sendiri.”
Dia mencari apa?
“Sisa-sisa yang tak pernah aku pedulikan.”
Dia menemukannya?
“Entahlah. Tapi aku melihat dia tersenyum
ketika menemukan botol plastik yang masih utuh.”
Apa kau bertanya padanya?
“Tidak. Aku hanya menatapnya dari jauh,
takut suaraku terlalu keras
dan menghancurkan mimpinya yang rapuh.”
Mengapa kau diam saja?
“Karena kadang, aku bingung
mana yang lebih melukai:
bertanya atau tak peduli sama sekali.”
–
DIALOG, 5
Ke mana kau berjalan pagi ini?
“Ke jalan yang penuh debu dan suara klakson.”
Apa yang kau cari di sana?
“Alasan mengapa manusia selalu terburu-buru.”
Apa kau menemukannya?
“Mungkin. Manusia berlari bukan karena tahu arah,
melainkan takut tertinggal sesuatu.”
Apa yang kau lihat di jalan?
“Seorang remaja dengan seragam sekolah,
berdiri di perempatan sambil menjual koran.”
Dia tersenyum?
“Tidak. Tapi matanya berbicara:
tentang angka-angka di sekolah yang tak pernah cukup
untuk membayar tagihan lapar di rumahnya.”
Apakah ada orang yang memerhatikannya?
“Tidak banyak.
Manusia terlalu sibuk menghitung langkah sendiri,
tak sempat berhenti untuk mendengar cerita orang lain.”
*****
Editor: Moch Aldy MA